Saturday, June 6, 2015

Gerakan Reformasi Birokrasi, Kiprah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


[Aktor Demokrasi] “Perlawanan Petani Nipah” [Nipah Farmer’s Resistance]”, SAREC-ISAI research report, published in Arief Budiman & Olle Tornquist, Aktor-Aktor Demokrasi Indonesia [Democratic Actors in Indonesia], Jakarta: ISAI, 2001.


Prof. Arief Budiman, Ph.D. comment: 



(Kika) Arief Budiman, Edi S, M. Qodari, Bimo N. Sekundatmo





Pengajaran Sejarah: Masalah dan Pemecahannya




“Memahami Watak Barat Modern” (Understanding to the West Modern Nature), Suara Karya, December 16, 1994. Book review of Seyyed Hossein Nasr, Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Guidance to the Young Moslem) Bandung: Mizan, 1994


“Biografi Tulen MAW Brouwer” (Pure Biography of MAW Brouwer), Suara Karya, November 25th, 1994. Book review of Myra Sidharta, MAW Brouwer, Antara Dua Tanah Air: Perjalanan Seorang Pastor (MAW Brouwer, between two Fatherland: AFather’s Journey) Jakarta: Grasindo, 1994


Edi Sudarjat, “Biografi Tulen MAW Brouwer, Suara Karya, Jumat, 25 November 1994.

 

“Dalam bahasa Belanda proses pembuatan bir disebut brouwen; orangnya dinamakan Brouwer. Dari sinilah namaku berasal; nenek moyangku suka minum bir dan menjadi kaya karena bir. Itulah sebabnya akupun senang bir!” Demikian Brouwer menuturkan riwayat hidupnya sambil terbahak-bahak dan meneguk bir dari gelasnya” (hlm. 11)

Sesungguhnya di balik popularitasnya sebagai pastor dan psikolog kreatif, sosok manusia Brouwer dikenal juga sebagai seorang periang, penyenda gurau, dan pencerita kelas wahid yang berwawasan luas. Sebagai manusia, ia pun dapat berubah menjadi seorang yang murung, acap kali menggerutu dan kadang mudah tersinggung. Itulah sebagian gambaran pastor kelahiran Delft, 14 Mei 1923, yang diangkat Myra Sidharta dengan amat mengesankan.

Nama Brouwer, bagi kita, memang sudah tak asing lagi. Sejumlah artikelnya sering muncul di harian Kompas selama 20 tahun. Di dalam artikel itu ia menyelipkan kritik sosialnya yang tajam yang ternyata ciri khasnya itu disukai banyak pembaca.

 Tak heran jika saat wafatnya di Belanda, 19 Agustus 1991, banyak orang merasa kehilangan. Hampir semua media massa ibukota memuat artikel tentang kepergiannya menuju Sang Pencipta.

*  *  *

Tiga tahun setelah meninggalnya, Myra Sidharta, mantan dosennya di Fakultas Psikologi UI, yang kemudian menjadi rekan sekerja dan sahabatnya, mengangkat kehidupan Martinus Anthonius Weselinus Brouwer dalam bentuk biografi yang disajikan dengan lancara dan amat menarik.

Berbagai informasi, mulai dari wawancara langsung dengan Brouwer semasa hidupnya, kesan dan pandangan rekan-rekan sejawatnya, arsip-arsip kotapraja Delft guna menelusuri silsilah keluarga Brouwer, karya-karyanya yang tersimpan di perpustakaan, sampai ke surat-surat pribadi Brouwer dan keluarganya, dimanfaatkan Myra dengan baik.

Hasil kerja kerasnya itu, tampak jelas dengan keberhasilannya menguak perjalanan sosok pribadi Brouwer sejak masa kecil (Bab II) hingga hari-hari terakhirnya (Bab XI), tanpa meninggalkan muatan sosiokultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Gambaran ini lalu dilengkapi pula “Krisis-krisis dalam kehidupan Brouwer” (Epilog).

Kedekatan Myra dengan Brouwer ternyata tidak pula membuatnya kehilangan sikap obyektif. Ia tetap menjaga jarak dengan obyeknya.

Dengan empati yang cukup kuat, ia juga berhasil melukiskan konflik-konflik yang dihadapi pastor dari Ordo Fransiskan ini. Bahkan diungkapkan pula konflik Brouwer dengan dirinya. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Brouwer memilih bergabung dengan misi dan bertugas di tempat yang jauh dari kampung halamannya. Rupanya ada faktor lain, yaitu hasrat melepaskan diri dari “cengkeraman” ibunya yang sering memamerkan kesalehan dan kepastoran sang anak.

Myra Sidharta juga berhasil memaparkan rasa kesal dan kecewanya ketika mesti pensiun dari Unpad tanpa sempat menjadi guru besar. Sayang, lantaran kewarganegaraan Brouwer yang masih Belanda dan gelar doktor yang belum diraihnya, gelar guru besar tidak berhasil diperoleh. “Saya akan kembali menggembala” (hlm. 113), begitulah bunyi artikelnya sehubungan masa pensiunnya.

Perjuangan Brouwer melewati hari-hari terakhirnya juga digambarkan dengan baik. “Menurut sesama biarawannya, seluruh penampilannya mencerminkan keputusasaan… ia terus dilanda rasa takut akan kematian.” (hlm. 132).

Menjelang akhir hayatnya, ia menjadi pemurung, selalu menggerutu, mudah tersinggung, duduk termenung dan hanya memikirkan penyakitnya. Ia tak berdaya melepaskan diri dari depresi yang melanda batinnya.

Padahal Brouwer seorang psikolog. Pada waktu membuka klinik konsultasi psikologi di Bandung, kliniknya selalu dipenuhi orang karena ia dapat memberi jalan keluar yang tepat terhadap kesulitan yang dialami pasiennya. “Memang sulit untuk memberi solusi yang baik bagi seorang yang mengalami depresi. Pandangan mereka ditutup awan gelap dan mereka tidak dapat menemukan jalan keluar.” (hlm. 131).

Mesti diakui, berbagai usaha yang telah dilakukan Fr. Renald Brouwer—namanya di biara Fransiskan—tetaplah menampakannya sebagai seorang besar. Ia telah menyumbangkan begitu banyak kepada bangsa ini. Dan kita tetaplah akan mengenangnya dengan takzim, mengingat tidak sedikit karya yang telah dihasilkannya; artikel yang tersebut di media massa, buku filsafat, psikologi dan budaya; para sarjana hasil bimbingannya, serta klinik konsultasi yang dibukanya di sejumlah Rumah Sakit di Bandung. Itulah ungkapan rasa cintanya yang luar biasa terhadap bangsa Indonesia.

*  *  *

Dibanding buku sejenis, biografi ini jelas punya nilai lebih; ada keunggulan tersendiri. Ini buku biografi tulen yang berhasil mengungkapkan berbagai dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri obyeknya; bukan semacam hagiografi yang cenderung berisi pemujaan terhadap tokohnya.

Yang menarik, deskripsi mengeni kondisi poleksosbud yang terjadi di Kota Delft, yang mengagawali biografi ini, ternyata bukan sekedar ilustrasi, melainkan sebagai bahan yang justru membantu pemahaman kita mengenal wadah struktural tempat Brouwer dilahirkan dan dibesarkan. Pada gilirannya, membantu kita untuk memahami sikap, cara berpikir, dan pilihan-pilihan hidupnya yang sangat dipengaruhi berbagai faktor sosiokultural itu.

Kemampuan Myra menyelami kepribadian Brouwer, yang dalam metodologi sejarah disebut hermeneutika—memungkinannya memahami perubahan yang terjadi dalam diri obyeknya.

Dalam bab XI “Hari-hari Terakhir” misalnya, Myra mencermati adanya perubahan bentuk tulisan tangannya. “Tulisannya memberikan suatu petunjuk tentang keadaan batinnya; hurufnya makin lama makin kecil, baris-barisnya makin pendek; ia seolah-olah tak berani menyentuh pinggir kanan kertas dan sudah berhenti di tengah-tengah baris” (hlm. 131). Disiplin ilmu yang disebut graphologi ini berguna dalam penulisan riwayat hidup seseorang, yang dalam banyak buku biografi jarang dimanfaatkan penulisnya.

Myra menyimpulkan sahabatnya seperti ini: “Sejak kecil ia dikonfrontasi dengan banyak masalah—yang harus dilawan dan dilupakan—yang tidak pernah dialami manusia biasa… ia seorang yang problematis…” (hlm. 157).

Di luar persoalan itu, biografi yang disasjikan dengan bagus ini, sayang sekali kurang didukung kecermatan editor buku ini yang mestinya mampu membersihkan salah cetak.*** 

 

 

 

 

 

 

 

 


“Sejumput Petasan dari Soe Hok Gie [A pinch of firecracker from Soe Gie]”, TEMPO, November 4, 2001. A book review of John Maxwell, Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani [Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual] Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001).


Resensi, Ajip Rosidi et.all., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi [Sundaneese Encyclopedia: Nature, Human, and Culture, Including Cirebon’s and Betawi’s Culture], Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dan The Toyota Foundation, 2000. “Buah Cinta Sang Budayawan [The Outcome of Cultural Observer’s Love]”, TEMPO, March 4, 2001.




Tempo, 4 Maret 2001 hlm. 54-55

 Buah Cinta Sang Budayawan


Ajip Rosidi, dkk., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, PT Dunia Pustaka Jawa, bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan kebudayaan Rancage, 2000. Tebal 714 hlm.


Inilah eksiklopedi etnis terlengkap pertama di Indonesia. Berisi sekitar 3500 lema, ia memaparkan segala rupa perihal Sunda. Tentu sja ensiklopedi ini masih memiliki beberapa kelemahan.

Dari 465 suku bangsa di Indonesia (M. Junus Melalatoa, 1995), ternyata baru etnis Sunda yang sudah memiliki ensiklopedi lengkap. Warga Sunda memang suku terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah sekitar 40 juta jiwa pada tahun 2000. Kehadiran ensiklopedi ini adalah hasil kerja keras tim redaksi dan pengagas utamanya: Ajip Rosidi, yang mengerahkan 40 orang, termasuk para penulis Belanda, Jepang, dan India.
Tanpa memeras otak dan keringat disertai kecintaan kepada budaya Sunda, niscaya ensiklopedi ini tak kan pernah terbit. Waktu pengerjaan yang semula diperkirakan lima tahun ternyata molor sampai hampir sepuluh tahun. Tim redaksi terbentur kenyataan bahwa ahli suatu bidang tidak banyak terlatih menulis, apalagi menulis eksiklopedi, yang memerlukan persiapan khusus. Akibatnya, hampir semua naskah yang masuk harus ditulis ulang atau disunting berat.
Persoalan lain adalah beberapa orang yang semula bersedia duduk sebagai anggota redaksi mengundurkan diri dengan berbagai sebab dan alasan. Dalam perjalanan penyusunan selama hampir satu dasawarsa itu, beberapa orang yang memberi bantuan tidak sempat melihat hasilnya. Mereka antara lain ialah H.K.S. Kostaman, Haryoto Kunto, dan Sayudi, yang telah lebih dulu meninggal dunia.
Toh, banting tulang mereka berbuah manis. Ensiklopedi yang memuat sekitar 3.500 lema ini dipuji pakar senior sastra dan budaya Indonesia dari Leiden, Prof. Dr. A. Teeuw.  “Saya sangat terkesan oleh kualitas ilmiah ensiklopedi ini, berdasarkan pengetahuan luas dan mendalam mengenai hal-hal yang dibahas. Ditulis informatif dan jelas, bahasa Indonesia yang dipergunakannya enak dibaca,” begitu komentarnya.
Acungan jempol datang pula dari Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah, yang mengatakan, “Sungguh suatu pekerjaan raksasa. Merupakan sumbagan besar bagi dunia ilmu.”
Tak dapat dimungkiri, tulisan mendalam, jernih, dan enak dibaca menjadi salah satu kelebihannya, terutama bila dibandingkan dengan ensiklopedi lain, semisal Ensiklopedi Nasional Indonesia (PT Cipta Adi Pustaka, 1988). Tema yang dikemukakan memang sangat luas. Diawali dengan lema Aam Amilia, seorang pengarang merangkap wartawan, diakhiri dengan lema Zainal Asikin Kusumah Atmaja, pensiunan hakim agung. Aneka ragam tradisi rakyat, religi, pantun, kesusastraan, peralatan sehari-hari, makanan, pencak silat, permainan anak-anak, sejarah, biografi singkat tokoh, majalah, koran, dan pelbagai manifestasi kebudayaan Sunda tercakup di dalamnya.
Banyak hal yang belum pernah kita dengar sebelumnya, misalnya Agrabintana, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Tanjungkidul—sekarang disebut Ujung Genteng, Surade, Sukabumi Selatan, suatu kerajaan yang jarang didengar orang. Ensiklopedi ini juga memaparkan aneka religi di tanah Sunda, seperti agama Jawa-Sunda yang diajarkan Madrais dari Cigugur, Kuningan, dan agama Sunda Wiwitan yang dianut komunitas Baduy di Kanekes Banten. Yang lebih unik lagi, pelbagai permainan anak-anak tradisional seperti pacici-cici putri, paciwit-ciwit lutung, dan oray-orayan, juga dimasukkan dalam entri.
Komposisi tokoh Sunda yang mencakup 497 tokoh, 274 (55,1 persen) di antaranya adalah seniman yang terdiri dari 110 sastrawan, 85 penyanyi dan penari, 35 pelukis, 31 orang pekerja dan pemain film dan teater, 12 orang dalang, dan 1 orang pematung. Sementara itu, tokoh lain yang berjumlah lumayan banyak adalah imuwan/akademisi, yang berjumlah 55 orang (11 persen), tokoh militer berjumlah 32 orang, ulama 35 orang, aktivis kemasyarakatan 31 orang, politisi 21 orang, dan seterusnya.
Menyimak data di atas, wajarlah bila muncul kesimpulan yang agak berbau spekulatif: warga Sunda mencapai puncak prestasi di bidang kesenian dan tercecer di bidang politik dan ekonomi.
Menurut Ajip Rosidi, saat peluncuran ensiklopedi ini, memang ada perasaan rendah diri di kalangan orang Sunda, karena pengalaman masa lampau mereka yang suram. Sejak kerajaan Sunda jatuh oleh pasukan gabungan Kesultanan Cirebon dan Banten pada 1579, orang Sunda Priangan  “pareum obor” (“kehilangan obor”). Tanah Sunda terkoyak-koyak di antara kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan Mataram Islam (sejak 1625). Perlahan tapi pasti, tanah Sunda jatuh ke genggaman orang Belanda. Dan dimulai eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan ekonomi dan demografi Sunda. Kepedihan orang Sunda bukan hanya datang dari penjajah Belanda, melainkan juga dari penguasa lokal mereka sendiri, seperti yang terungkap dalam novel kondang Max Havelaar dan disertasi sejarah Nina Herlina Lubis berjudul Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (1997).
Tak mengherankan bila menghadapi kondisi ini, salah satu jalan keluar yang diambil adalah menenggelamkan diri dalam kegiatan kesenian. Gejala utama serupa terjadi pula di keraton-keraton Mataram Islam.  Setelah Kerajaan Mataam terbelah dua dalam Perjanjian Giyanti pada 1755, lantas terbelah empat—dan wilayahnya makin sempit dicaplok Belanda—seni adiluhung keraton mencapai puncaknya.
Tak ada gading yang tak retak. Seperti diutarakan Ajip Rosidi, “Tentu saja kami sendiri sangat tidak puas dengan hasil yang kami sampaikan karena masih banyak segi manusia, lama dan budaya Sunda yang belum ditulis.”
Barangkali itu sebabnya dalam eksiklopedi ini hanya tercantum tiga olahragawan Sunda.  Kampiun lainnya, seperti almarhum Popo Hartopo, juara moto-cross tingkat Asia; Tonton Suprapto, juara balap sepeda tingkat Asia pula: Ricky Subagja dan Susy Susanti, keduanya mencapai puncak prestasi olah raga dunia, antara lain di All England dan Olimpiade Atlanta; tidak muncul. Kekurangan ain adalah tidak adanya lema  suku Naga, yang tinggal di Desa Negasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Mereka diakui memiliki sistem kepercayaan dan sistem norma yang khas bila dibandingkan dengan yang berlaku pada orang Sunda umumnya (Junus Melalatoa, 1995: 615-617).
Dapat ditemukan pula ketidak-konstenan data demografi suatu kabupaten, misalnya Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Masalah lain yang agak mengganggu adalah ketidakjelasan konsep etnisitas dan geografi Sunda. Siapakah orang Sunda? Apakah mereka yang mewarisi budaya Sunda, atau semata-mata karena ia lahir di tanah Sunda? Ketidakjelasan konsep ini mengakibatkan munculnya lema yang agak janggal.  Misalnya tercantumnya lema Eros Djarot, orang Jawa yang dilahirkan di Rangkasbitung, Slamet Rahardjo Djarot, yang dilahirkan di Serang, dan Teguh Karya, yang dilahirkan dengan nama Steve Lim Tjoan Hok di Pandeglang,  yang kemudian digolongkan sebagai tokoh Sunda.
Dalam antropologi mutakhir, kriteria suatu kelompok etnis lazimnya didasarkan pada budaya dominan dan pengakuan orang tersebut. Ketiga tokoh tadi boleh saja disebut orang Sunda, asalkan buaya Sunda tampak dominan dalam perilaku mereka sehari-hari, atau mereka mengakui dirinya sebagai orang sunda.
Betapapun, sekelumit kekurangan di atas hanyalah bak sebutir debu di sekeranjang permata. (Edi Sudarjat)






“Bangun Istana, Hancurkan Kota, Jangan Abaikan Wasiat Hadratus Syeikh KHHasjim Asj’ari” (Building a Palace, Damaging a City, Don’t Ignore the Last Will and Testament of Hadratus Syeikh KH Hasjim Asj’ari), article in Rakyat Merdeka,February 24, 2001



“Membantah Tesis Kaum Islam Modernis” (Disputing Modernis Islam’s Thesis), TEMPO, July 23, 2000. A book review of Latiful Khuluq, M.A., Fajar Kebangunan Ulama (The Dawn of Resurgence of Ulama) Yogyakarta: LKIS, 2000



“Kesaksian Cendekiawan Tulen (A Testimony of Pure Intellectual’s)”, Suara Karya,November 29, 1996. Book review of Deliar Noer, Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (I am a Part of Ummat, I am a part of Nation: DeliarNoer’s Autobiography), Bandung: Mizan, 1996)


“Asal-usul Pesantren” (The Origin of Pesantren), Suara Karya, April 1995 Book review of Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisitradisi Islam Indonesia (The Yellow Book, Pesantren and Tarekat, Islamic Traditionsin Indonesia) Bandung: Mizan, 1995.


Suara Karya, 28 April 1995
Asal-usul Pesantren

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam Indonesia (Mizan, Bandung: 1995); 382 hlm.

K
esimpulan Pigeaud dan de Graaf (1967) bahwa pesantren telah berdiri sejak awal abad ke-16 mendapat sanggahan keras dalam buku ini. Kedua peneliti senior itu berpendapat bahwa pesantren adalah sebuah perkampungan bebas yang tempatnya jauh di pegunungan dan berasal dari lembaga sejenis pada zaman sebelum Islam, yakni mandala dan asyrama.
Namun Bruinessen menyuguhkan data bahwa pesantren tertua, yakni pesantren Tegalsari sesungguhnya baru didirikan pada abad ke-18, tepatnya tahun 1742. Lagipula, survei pertama Belanda mengenai pendidikan bumiputra pada tahun 1819, juga memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya belum ada. Yang ada adalah lembaga pendidikan mirip pesantren, dan dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain, sama sekali tidak terdapat lembaga pendidikan resmi, kecuali pendidikan informal di rumah-rumah dan mesjid.
Sumber sejarah tradisional juga memperkuat pendapat Bruinessen. Sebuah naskah tua, Serat Centini, menyinggung tentang “pesantren” Karang di Banten. Dan seorang guru dari Karang, Seh Bari, disebutkan dalam Primbon Banyumas. Seorang peneliti terkemuka dari Belanda, Drewes (1969) menduga bahwa Seh Bari itu adalah tokoh yang nasihat-nasihatnya terdapat dalam Wejangan Seh Bari, salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua yang ditulis sekitar abad ke-16.
Sungguhpun demikian, naskah-naskah tersebut sama sekali tidak menyebut kata pesantren. Naskah Banyumas misalnya, hanya membicarakan seorang syaikh. Sedangkan Serat Centini, yang kadang-kadang membicarakan “perguruan”, tidak menyebut pesantren, melainkan “paguron” atau “padepokan”. Sedangkan sebuah kitab lainnya, Sejarah Banten, yang disusun sekitar paruh pertama abad ke-17 tidak menyebut “paguron” di Karang, maupun di tempat-tempat lainnya. Alih-alih menyatakan bahwa tempat itu banyak didatangi oleh orang-orang yang ingin bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan dalam kitab itu adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan kiai dukuh dan qadhi kesultanan.
Jadi, pada abad 16-17 pesantren belum muncul. Yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di mesjid atau istana, dan ahli tasawuf yang berpusat di tempat-tempat pertapaan atau makam keramat (hlm. 24-25).
Banten dan Cirebon
Kesimpulan menarik lain yang diajukan oleh peneliti kelahiran Schoonhoven tahun 1946 ini berkenaan dengan kedudukan qadhi atau paqih najmuddin (hakim tertinggi) di Banten. Pada kerajaan Islam tersebut, qadhi memainkan peran politik yang lebih menonjol dibandingkan para qadhi di berbagai kerajaan Islam lainnya di Jawa Tengah. Di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, qadhi memainkan peranan kunci dalam intrik-intrik istana. Pada saat terjadinya krisis suksesi pertama di Banten setelah wafatnya Maulana Yusuf (1580), suara hakim tertinggi itu terbukti menentukan dalam pemilihan Maulana Muhammad yang masih anak-anak sebagai pengganti.
Peran serupa juga dimainkan setelah kematian Muhammad (1596). Atas dorongan patih, qadhi membawa Pangeran Abdul Qadir dan memindahkan upacara kenegaraan ke mesjid. Lalu dengan suatu upacara singkat, ia melantik raja yang masih anak-anak itu. Kemudian tugas pembibingan terhadap raja diserahkan kepada Patih Mangkubumi, sedangkan qadhi berperan sebagai guru sang raja. Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa qadhi tidak semata-mata berperan sebagai pemberi pengesahan (legitimasi) kepada seorang penguasa—suatu hal yang umum terjadi pada kerajaan muslim—tetapi juga merupakan penentu raja (king maker) yang sebenarnya (hlm. 247-253).
Sayang, Bruinessen belum menelaah asal-usul aparat birokrasi qadhi atau pakih najmuddin di Banten ke masa yang lebih awal pada birokrasi kerajaan Cirebon. Sebagaimana diketahui, kerajaan Banten didirikan oleh raja Cirebon yang pertama, Sunan Gunung Jati atau Nurullah Ibrahim. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa birokrasi Banten meniru Cirebon. Kedudukan qadhi yang khas di Banten misalnya, boleh jadi berasal dari sana. Sampai hari ini masih ada beberapa desa di Cirebon, umpamanya Desa Timbang di dekat Kuningan, yang menghormati dan mengagungkan makam eyang Bukhori bin Aqal, seorang tokoh yang diyakini masyarakat sebagai qadhi yang hidup pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.  
Keterangan semacam itu, yang disebut sebagai tradisi lisan, belum banyak diteliti. Padahal sumber sejarah mengenai Cirebon sangat melimpah. Sekalipun masih banyak naskah Cirebon yang belum didata, ditransliterasikan dan dianalisis isinya, usaha menginventarisasikan naskah dari cikal bakal kerajaan Islam di Jawa Barat itu pernah dilakukan oleh Titik Pudjiastuti, Maman S. Mahayana, dan Agus Arismunandar dalam sebuah riset yang disponsori Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Ternyata naskah Cirebon jumlahnya sangat banyak, hampir 1000 buah, baik yang berada di keraton maupun terserbar di masyarakat. Oleh sebab itu berbagai hal mengenai kerajaan Islam Cirebon, termasuk kedudukan qadhi atau pakih najmuddin, sedang menanti tangan-tangan lain untuk diteliti.
Multidimensi
Kumpulan tulisan Bruinessen di dalam buku ini mencakup berbagai topik, seperti tradisi naik haji di Nusantara, pengaruh ulama Kurdi di Indonesia, dan perincian mengenai kitab-kitab kuning yang digunakan di Indonesia dan Malaysia. Selain itu berbagai aliran tarekat di negeri ini, serta kedudukan perempuan dalam kitab kuning, juga dibahas. Luasnya ruang lingkup penelitian inilah yang menjadi salah satu keunggulannya.
Bruinessen juga menceriminkan figur seorang peneliti andal dari Belanda yang memiliki ciri ketekunan, keuletan, dan ketelitian menelusuri berbagai sumber pengetahuan. Ia “membongkar-bongkar” naskah-naskah tua Indonesia dan membandingkannya dengan sumber-sumber dari luar negeri, apakah itu Belanda, Inggris, Arab, India, ataupun Turki. Ia berhasil mengatasi kelangkaan informasi dan kerumitan untaian data yang senantiasa muncul pada sumber sejarah tradisional macam itu. Tambahan lagi, penelti yang mula-mula menamatkan sarjananya pada bidang matematika dan fisika di Universitas Utrech 1971 itu menggunakan pendekatan multidimensional. Sehingga ia mampu menemukan kesimpulan-kesimpulan baru mengenai seluk-beluk pesantren, kitab kuning dan tarekat di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa buku ini patut dibaca oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama pemerhati masalah sejarah, sosiologi, antropologi, dan keislaman di Indonesia. ***  (Edi S. Joesoef)



“Kemenangan Islam Kultural?” (Islamic Cultural Victory?), Kompas, April 7 , 1996. Book review of M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, SebuahKajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Islamic Thinking and IslamicAction in Indonesia, An Examine of Muslim Intellectuals New Order Politics) Jakarta:Paramadina, 1995.


Kompas, 7 April 1996
Kemenangan “Islam Kultural”?

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Paramadina, Jakarta: 1995); xiii + 353 hlm.

D
ari sejumlah buku tentang Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang terbit belakangan ini, boleh dikatakan buku ini termasuk yang serius. Alasannya buku yang lumayan tebal ini berasal dari tesis untuk meraih gelar magister pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI). Lagipula penulisnya, M. Syafi’i Anwar, adalah seorang wartawan intelektual yang telah lama mengamati tingkah laku politik umat islam. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Panji Masyarakat (1986-1988), Wakil Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Quran (1990-1994), dan kini menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi majalah Ummat.
Karya mantan Wakil Direktur Pelaksana Lembaga Studi Agama dan Filsafat (1989-1993) ini berudaha memetakan dan menganalisis politik terhadap hubungan antara Islam dan birokrasi Orde Baru (Orba) dalam kurun waktu 1996-1993. Secara garis besar hubungan ini dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, periode awal Orba sampai 1970-an. Saat itu pemerintah bersifat hegemonis terhadap Islam. Dengan ciri kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalangan masyarakat. Waktu itu umat Islam bersikap reaktif dan banyak menolak konsep modernisasi yang diajukan pemerintah. Akibanya, terjadi ketegangan serta konflik antara kedua belah pihak.
Periode kedua berlangsung pada dasawarsa 1980-an yang ditandai dengan hubungan resiprokal. Yakni hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik dan pemahanan antara kedua belah pihak. Saat inilah muncul kelas menengah santri baru yang berperan aktif dalam pembangunan. Sehingga ketegangan antara kedua belah pihak mulai mencair.
Sedangkan periode ketiga berlangsung pada dekade 1990-an. Saat itu, berkat peranan kelas menengah santri baru tersebut, hubungan antara Islam dan Orba semakin serasi. Ini ditandai dengan makin tanggapnya birokrasi Orba kepada Islam dan yang paling mendapat perhatian adalah persetujuan dan dukungan pemerintah terhadap ICMI.
*  *  *
DALAM pandangan cendekiawan muslim yang pernah menuntut ilmu di The School of Journalism, Columbia University, New York, AS (1988-1989) ini terjadinya kemesraan antara pemerintah dan Islam itu merupakan hasil usaha kelas menengah santri baru, sebuah kelas yang tumbuh pesat karena keberhasilan pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Adapun kelas ini bercirinya: (1) bersikap pragmatis dalam menyuarakan aspirasi politiknya; (2) memiliki pandangan keagamaan yang substansialis; (3) ikatan primordial tidak kuat; (4) perhatian perjuangan pada “Islam Kultural”, dan; (4) kepemimpinan yang dikembangkannya bersifat intelektual.
Ciri “Islam Kultural” yang melekat pada kelas menengah santri baru itu juga membuat mereka meninggalkan ide negara Islam—salah satu ide pokok kelompok “Islam politik”—yang di masa lalu dimotori partai Masyumi. Tak ketinggalan, mereka berupaya membumikan gagasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam bahasa populer, rasional, kontekstual, serta jauh dari semangat “ideologi” yang ekstrem (hlm. 129).
Kemudian, sebagian anggota kelas ini yang berada dalam birokrasi berhasil melakukan “perubahan dari dalam”. Mereka mempengaruhi alam pikiran birokrasi terhadap Islam yang dulunya didominasi kalangan priyayi. Sehingga terjadilah proses “santrinisasi priyayi”, yang pada dekade 1980-an terkenal dengan sebutan “Islamisasi birokrasi”. Inilah pertanda kemenangan ide “Islam kultural” ketimbang Islam politik” yang berorientasi langsung pada pusat kekuasaan.
*  *  *
KEBERHASILAN “Islam kultural” menurut putra angkat Buya Hamka ini, tidak terlepas dari semakin diterimanya ide-ide pembaruan Islam yang disuarakan Nurcholis Madjid sejak 1970-an. Sayang, dalam uraian pentingnya ide pembaruan ini, Syafi’i Anwar kurang teliti. Dikatakannya pada,

“Pidato pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish menyampaikan pidto berjudul, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sebuah pidato yang bersejarah, tapi juga kontroversial dan menjadi pemicu bagi perdebatan dan polemik yang panjang.” (hlm. 49).

Dalam kenyataannya, pidato itu tidak mendapatkan perhatian besar di media massa. Peristiwa 3 Januari 1970 itu hanya diliput harian Abadi dalam berita kecil. Sementara koran lainnya, semisal Kompas, Pedoman, Indonesia Raya, harian Kami, dan Pemandangan, sejak Januari sampai Maret 1970 tidak menggubris pidato maupun ide pembaruan tersebut.
Sesungguhnya, perhatian besar kepada kelompok pembaruan itu terjadi setelah majalah Tempo menurunkannya dalam laporan utama berjudul, Pembaharu ’70 pada Sebuah Tebing (Tempo, 29 Djuli 1972; 44-48). Majalah inilah yang menulis, “...apa jang kemudian diutjapkan Nurcholish pada 3 Djanuari 1970 yang bersedjarah itu djuga bermula dari sana: Andjuran pada perlunya sekularisasi.” Setelah itu Nurcholish tambah berkibar setelah ia diundang membacakan pidato oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada 28 Oktober 1972.  Selepas pidato ini, barulah ia mendapatkan tanggapan cukup besar.
Tampaknya, kekurangtelitian Syafi’i itu—yang secara metodologis disebut anakronisme—terjadi karena ia tidak meneliti secara langsung sumber primernya, namun hanya bersandar pada sumber sekunder. Dan bila kita lihat daftar pustaka buku ini, ia memang tidak meneliti koran para tahun 1970.
Di samping itu, kesimpulan buku ini bahwa telah terjadi pergeseran pemikiran dan orientasi perjuangan kalangan Islam dari format “Islam politik” menjadi “Islam kultural”, tampaknya perlu dipertanyakan. Bukankah ada tesis terkenal dari sejarawan politik terkemuka Hary J. Benda, bahwa apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan kekuasaan lain, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Dan siapapun yang mencoba menggunakan Islam untuk tujuan politiknya, akan dimanfaatkan politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan mereka (Hary J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, 1980: 10).
Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan bahwa “Islam kultural” pun memiliki tujuannya sendiri, selain dari orientasi yang telah disebutkan di atas. dan sangat besar pula kemungkinannya “Islam kultural” itu akan kembali berubah menjadi “Islam politik”.***  (Edi S. Joesoef, alumnus Jurusan Sejarah FSUI dan Guru SMA Taman Islam, Bogor)  


Book review of Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Discovering History: Islamic Movement Discourse in Indonesia), Bandung: Mizan, 1995. Ketika Sejarah Menjadi Semiotika” (When History Became a Semiotic), Kompas,October 1st, 1996.


Kompas, 1 Oktober 1995.
Ketika Sejarah Menjadi Semiotika

Resensi: Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Mizan, Bandung, 1995), 335 halaman.

M
eski sudah cukup lama berkecimpung di bidang sejarah, baru kali ini Ahmad Mansur Suryanegara menerbitkan kumpulan tulisannya menjadi sebuah buku. Dalam bunga rampai ini dimuat 27 artikel yang ditulisnya sejak tahun 1975 sampai 1994. Dan untuk mempermudah pembaca, kumpulan tulisan itu dikelompokkan menjadi lima bagian, yakni: (1) Umat Islam dalam Problem Penulisan Sejarah; (2) Seputar Masuknya Islam ke Nusantara; (3) Masa-Masa Perlawanan Bersenjata terhadap Imperialis Barat; (4) Peranan Umat Islam dalam Kebangkitan Kesadaran Nasional; (5) Peranan Umat Islam dalam Mempertahankan Proklamasi.

Di kalangan sejarawan sendiri, Suryanegara dikenal sebagai seorang yang kontroversial. Salah satu pendapatnya yang kontroversial adalah tentang Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada artikelnya, “Upaya-upaya Depolitisasi Umat Islam Indonesia: Masa Penjajahan Belanda” (hlm. 235-253), ia menyatakan SDI didirikan H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Karena itu, dalam ceramahnya, ia kerapkali mengutarakan Hari Kebangkitan Nasional sepantasnya diperingati pada saat kelahiran SDI tahun 1905, bukan pada saat berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.  

Sesungguhnya, pernyataan tentang SDI itu mula-mula dipelopori Tamar Djaja dan telah dikoreksi ahli sejarah politik terkemuka di Indonesia, Deliar Noer. Dalam polemik panjang lebar antara Deliar Noer dan Tamar Djaja di harian Abadi pada Juli-September 1957, Deliar Noer menolak kesimpulan itu dengan mengajukan sejumlah bukti bahwa Sarekat Islam jelas-jelas didirikan pada 1911, bukan pada 1905. Secara ringkas, hasil penelitian Noer itu diutarakan dalam bukunya yang terkenal, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (1980: 117). Sedangkan Tamar Djaja sendiri tidak dapat mempertahankan argumentasinya. Dengan demikian, di mata para sejarawan, pernyataan itu dianggap tidak dapat digunakan lagi.

Yang juga tidak kalah kontroversial adalah kesimpulan Suryanegara tentang Faletehan atau Fatahillah, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Jawa Barat. Pada artikel “Masuk dan Meluasnya Agama Islam di Jawa Barat” (hlm. 95-102), ia menolak hasil penelitian Hoesein Djajadidingrat yang berkesimpulan Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang berbeda dari orang yang sama. Sebaliknya, ia berpendapat Sunan Gunung Jati bukanlah Fatahillah atau Faletehan. Nama yang disebut belakangan itu, menurutnya adalah tokoh yang dilahirkan di Pasal pada 1490, dan kemudian hari menjadi mantu Sunan Gunung Jati (hlm. 99-102). Tetapi untuk mendukung pendapat ini, pengajar sejarah di Universitas Pajajaran ini itu hanya mengambil data dari satu sumber saja, yakni kitab Carita Purwaka Caruban Nagari. Padahal kitab tersebut berupa babad. Jadi, bukan sumber sejarah yang dapat dipercayai kebenarannya.

Sesungguhnya, babad adalah karya “sastra bersejarah”, demikian istilah yang digunakan pakar sejarawan Sartono Kartodirdjo. Fakta-fakta yang ada di dalamnya seringkali dibesar-besarkan hingga sulit diterima akal sehat. Karena itu, ditinjau dari metodologi sejarah, menggunakan data semata-mata dari satu judul  babad, tidak dapat dibenarkan. Umumnya, para sejarawan menggunakan sumber lain yang ditulis sezaman untuk menguji kebenaran suatu fakta. Cara kerja seperti ini ditunjukkan dengan baik oleh sejarawan seior asal Belanda dan Prancis, H.H. de Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (1985).
Kemudian, pada artikel lainnya, “Fatahillah, Pembangunan Jayakarta” (hm. 119-128), Suryanegara melangkah lebih jauh lagi. Ia mengutarakan informasi yang belum pernah disampaikan sejarawan lainnya, yakni Fatahillah telah membuat Bendera Pusaka Jayakarta dengan motif Alquran. Namun demikian Suryanegara tidak menjelaskan sumber datanya hingga pembaca buku ini akan bertanya-tanya.

Umum diketahui, dalam penelitian sejarah ilmiah pencantuman sumber data sangat penting dilakukan. Dengan cara itulah peneliti lain dapat menelusuri dan menguji kebenaran data dan fakta yang digunakan seseorang. Dengan demikian, tanpa sumber data yang jelas, sulit bagi sejarawan lainnya mempercayai kebenaran suatu informasi.
*  *  *

Ide-ide kontroversial yang dilontarkan penulis buku ini, tampaknya merupakan konsekuensi logis keyakinannya, fakta sejarah memiliki muatan makna beragam. Dengan demikian, ia mencoba melakukan re-interpretasi suatu fakta untuk dituliskan ulang. Ia juga berusaha menampilkan pesan yang tersirat dari suatu fakta (hlm. 9). Namun sayang, usaha itu menyebabkannya lupa akan satu kriteria utama dalam metode penulisan sejarah, yakni kritik intern dan ekstern. Seperti contoh di atas, tidak jarang Suryanegara menerima fakta sejarah tanpa kritik.

Usaha Suryanegara menampilkan fakta-fakta tersirat dalam sejarah, justru menggiringnya mengesampingkan kriteria akademis dalam historiografi. Lantas, ia terperangkap membuat penafsiran sendiri terhadap fakta yang ada. Suatu tindakan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan seara ilmiah. Lagi pula, masalah tafsir-menafsir macam itu sudah tentu bukan “lahan garapan” ilmu sejarah, melainkan bidang studi semiotika.***

(Edi S. Joesoef, alumnus Jurusan Sejarah FSUI-Depok dan guru SMA Taman Islam, Bogor).  



“Jalan Keluar Penanganan Pekerja Seks Komersial di Jabotabek [Solution in Handling the Commercial Sex Workers]”, published at Jurnal Perempuan No. 14., 2001, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.





“Si Buruk Rupa dan Sang Agitator: Citra PKI dalam Novel Masa Orde Baru” [The Bad Face and The Agitator: PKI’s Images at Novels in New Order Era], Horison Literature Magazine, July 2011




“Perempuan Pemecah Batu dari Cikahuripan, Mozaik Kerjadan Kebersahajaan [Pounded Stones Women’s from Cikahuripan, Working EthicMosaic and Simple of Living]”, in depth reporting in Kompas, September 24, 2001.


Mengapa Survey Pilkada DKI Jakarta Meleset [Why Jakarta’s Governor Survey Miss,” Detik.com, 13 Juli 2012


“Biografi Dekade 1990-an, Kembali ke Abad Victoria” (1990s Biography Decade,Return to Victorian Century), Kompas, Desember 3 , 1994.


“Sejarah Lokal dan Biografi Kyai” (Local History an Kyai’s Biography) Republika, December 4, 1994


“Pergolakan “Negara” Banten 1945” (Banten’s ‘State’ Upheaval in 1945), Republika, December 4th, 1994


“Mohammad Hatta: Sosok Manusia yang Manusiawi” (Mohammad Hatta: A Humanwho was humanistic), Republika, February 20th, 1995


“Gunting Syafruddin” 1950: Sebuah Kebijakan Ekonomi yang Berani (Syafruddin Cutting in 1950: The Brave Economical Policy), Republika, March 13, 1995.



“Berdirinya SDI 1905: Mitos atau Realitas, Tanggapan untuk Anwar Harjono”Republika, August 3, 1996.




“Mitos Keunggulan Ekonomi Syariah (The Myths of Superiority Syariah Economic System) ”, TEMPO, July 6, 2003


“Ngruki, Kecurigaan tanpa Akhir,” (Ngruki, Never Ending Suspected), Koran Tempo, Kamis, 22 Desember 2005


Koran Tempo, Kamis, 22 Desember 2005
http://korantempo.com/korantempo/2005/12/22/Opini/krn,20051222,73.id.html

Ngruki, Kecurigaan tanpa Akhir




Edi Sudarjat
ANGGOTA BADAN KERJA SAMA PONDOK PESANTREN INDONESIA

Departemen Agama pernah menyatakan akan meneliti kurikulum pengajaran di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, dan Pondok Pesantren Al-Islam, Lamongan, Jawa Timur. Penelitian ini untuk membuktikan benar atau tidaknya kecenderungan paham radikalisme di dua pesantren tersebut. Rencana penelitian terhadap Pesantren Ngruki itu terasa aneh. Soalnya, Departemen Agama sudah melakukan penelitian serupa dua tahun lalu dan hasilnya menyatakan bahwa kurikulum pengajaran di Pesantren Ngruki tidak keliru alias oke-oke saja.

Riset oleh tim Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama itu dilakukan berbulan-bulan lamanya dan dipublikasikan di bawah judul Rangkuman Hasil Penelitian Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Sukoharjo, Surakarta (Studi tentang Sistem Pendidikan, Paham, dan Jaringan Keagamaan). Keseriusan riset ini tampak dari proses yang dijalankan, seperti pengamatan terlibat, wawancara mendalam, diskusi, dan studi dokumen. Pengumpulan data lapangan dilaksanakan 15 hari (9-23 Februari 2003) di Ngruki dan sekitarnya. Tim peneliti juga melakukan proses member check, audiensi dengan dosen dan peneliti Pusat Penelitian UMS Surakarta serta pejabat Departemen Agama di Kabupaten Sukoharjo.

Mengenai sistem pengajaran di Ngruki, riset ini melaporkan, "Dalam proses pembelajarannya senantiasa ditanamkan semangat dakwah dan jihad (kurikulum tersembunyi). Khotbah Idul Adha, khotbah Jumat, tausiyah, dan taklim cukup sarat dengan pesan-pesan semangat dakwah dan jihad, menantang kebatilan dan kezaliman. Dalam kurikulum formal memang tidak ada fikih jihad dan qital, tapi dalam proses pembelajaran tidak luput dari materi jihad dan qital" (halaman 6).

Kemudian pada bab Kesimpulan dan Rekomendasi (halaman 15) dinyatakan, "Pesantren Ngruki sebagai lembaga pendidikan Islam yang berdasarkan paham keagamaan salafi haraki telah mendidik generasi muda Islam yang memiliki pandangan yang bersifat tekstual literal sehingga memiliki pandangan kritis dan memiliki semangat istiqamah (konsistensi) dalam mengamalkan keyakinan dan pandangan agamanya. Semangat istiqamah dan jihad untuk melakukan dakwah yang ditanamkan Pesantren Ngruki kepada para santri ini yang perlu terus dihidupkan. Namun, pada sisi lain semangat istiqamah dan jihad tersebut tidak mengarah pada menafikan kebenaran atau menghargai pendapat orang yang berbeda. Di sinilah perlunya pemimpin Ngruki membuka diri untuk mengembangkan kurikulum dengan kajian lintas mazhab (muqaranatul mazahib) sekaligus memperkuat kajian metodologi penetapan hukum syar'i (syariah) serta tarikh tasyr'i (sejarahnya)."

Riset Departemen Agama ini menjelaskan bahwa tidak ada unsur radikalisme yang berbahaya di Ngruki. Ia malah merekomendasikan bahwa semangat istiqamah dan jihad untuk melakukan dakwah yang ditanamkan Pesantren Ngruki perlu terus dihidupkan, seraya tidak menafikan kebenaran atau menghargai pendapat orang yang berbeda. Kalau begitu, perlukah penelitian yang sama dilakukan? Tidakkah ini hanyalah kecurigaan tiada akhir terhadap Ngruki?
*  *  *
Di sisi lain, benarlah ada segelintir alumnus Ngruki yang terlibat dalam aksi pengeboman di Indonesia dan Filipina. Tapi kenyataan ini tidak dapat membenarkan tuduhan ICG dalam “Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but Still Dangerous” (halaman 5) bahwa Ngruki adalah kepala para pesantren yang berkaitan erat dengan organisasi teroris Jemaah Islamiyah dan menyebarkan ajaran jihad (ekstrem).

Argumentasi dan buktinya, pertama, mereka yang terlibat aksi pengeboman itu telah lama meninggalkan Pesantren Ngruki. Kebanyakan mereka meninggalkan Ngruki lebih dari 10 tahun yang lalu. Sebagian besar dari mereka ikut berperang di Afganistan melawan Uni Soviet atau ikut berlatih di kamp militer di Filipina serta belajar di lembaga pendidikan agama formal atau nonformal lainnya. Dengan demikian, lebih tepat bila diduga kuat bahwa pola pikir dan tindakan mereka dibentuk oleh lembaga lain di luar Ngruki.

Kedua, sejak Pesantren Ngruki berdiri pada 1972 hingga sekarang terdapat sekitar 5.000 orang yang pernah belajar di sana. Dari ribuan alumni itu, yang terlibat dalam tindakan kekerasan hanya lusinan orang. Tindakan itu pun dilakukan sekitar 10 tahun setelah mereka meninggalkan pesantren. Jika benar Ngruki adalah pusat pengajaran teroris, mengapa hanya lusinan orang yang terlibat dalam aksi kekerasan? Lusinan orang dibanding 5.000 orang, jelas menunjukkan Ngruki tidak mengajarkan terorisme.

Selain itu, mengapa mesti menunggu sampai sekitar 10 tahun? Jika Ngruki mengajarkan kekerasan, tentu dalam satu atau dua tahun mereka akan aktif dalam gerakan itu.

Berbagai pihak yang mencurigai Ngruki terkait dengan jaringan teroris internasional, atau setidak-tidaknya mengajarkan paham jihad yang salah, seyogianya mencermati dua bukti dan argumentasi ini. Sejauh riset yang sedang dikerjakan oleh penulis mengenai Ngruki, ditemukan fakta-fakta penting yang mampu menjelaskan bahwa Ngruki tidak terkait dengan aksi terorisme. *