Wednesday, June 24, 2015

"Hanura: Bakal Besar atau Gurem?" Koran Tempo, 22 Agustus 2008

Hanura: Bakal Besar atau Gurem?


Koran Tempo, 22 Agustus 2008
Edi Sudarjat, peneliti di Indonesian Research and Development Institute
Belakangan ini sering kita dengar pertanyaan berapa suara yang akan diraih Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)? Apakah Hanura akan menjadi partai besar yang mampu menerobos ke jajaran tujuh partai besar yang menguasai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat?
Pertanyaan di atas, berikut perhitungan orang bahwa Hanura akan menjadi partai besar, merupakan hal yang wajar. Pertimbangan orang adalah, pertama, Hanura dipimpin tokoh ternama, Wiranto, mantan Panglima TNI serta Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan. Dalam jagat politik di Indonesia, ketokohan atau kepemimpinan memang mampu menyedot suara pemilih. Demikian yang terungkap dalam penelitian mengenai perilaku pemilih (Liddle dan Mujani, 2007).
Kedua, ketika Wiranto maju menjadi calon presiden resmi dari Partai Golkar berpasangan dengan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden 2004, Wiranto sukses mendulang 22,15 persen suara. Cukup banyak orang yang berpikir, perolehan suara tersebut merupakan modal penting untuk bertarung dalam Pemilu 2009. Kemudian orang menggunakan matematika sederhana (yang sebenarnya menyesatkan) sebagai berikut: jika Wiranto berhasil mengumpulkan suara setengah dari suaranya di waktu pemilihan presiden dulu, Hanura bakal meraih 11 persen suara. Artinya, Hanura akan bertengger di posisi ketiga, setelah Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang pada Pemilu 2004 meraih 21,6 persen dan 18 persen suara.
Ketiga, Hanura berhasil menarik sejumlah tokoh masyarakat dan pengurus dari partai politik lainnya ke dalam jajaran pengurusnya. Keempat, para pengurus Hanura tampaknya memiliki dompet cukup tebal. Hal ini terlihat dari kantor-kantor Hanura di kota-kota besar di Indonesia, yang cukup megah dan terletak di jalan-jalan utama. Kegiatan Hanura juga berlangsung cukup meriah.
*
Berbeda dengan pertimbangan kebanyakan orang seperti di atas, kita akan menganalisis seberapa besar kemungkinan perolehan suara Hanura berdasarkan dua kali survei nasional Indonesian Research and Development Institute (IRDI), yang dilakukan pada Maret 2008 dan Juli 2008. Responden survei ini berjumlah 2.600 orang--jumlah responden terbesar dalam survei politik di Indonesia--yang tersebar secara proporsional di 33 provinsi dan di 260 desa/kelurahan. Responden adalah penduduk Indonesia berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah dan diwawancarai oleh pewawancara yang terlatih. Proporsi responden laki-laki berbanding perempuan adalah 50 : 50; proporsi pedesaan berbanding perkotaan 57,3 persen : 42,7 persen, dengan tingkat kepercayaan (significant level) 95 persen dan sampling error ± 1,9 persen.
Dari survei nasional IRDI pada Juli 2008, diketahui bahwa mayoritas responden (84,8 persen) tidak mengenal partai baru; yang mengenal hanya 15,2 persen. Yang menarik, partai baru yang paling mereka kenal adalah Hanura: 11,4 persen. Angka pengenalan ini meningkat dibanding survei IRDI pada Maret 2008. Saat itu Hanura dikenal 7 persen responden. Dengan demikian, kerja keras Hanura memperkenalkan dan mempopulerkan dirinya tergolong baik.
Dibanding lusinan partai baru lainnya, tingkat pengenalan orang atas Hanura sangat tinggi. Partai baru lainnya cuma dikenal segelintir responden, dengan perincian sebagai berikut: Gerindra dikenal 1,14 persen responden; Partai Kebangkitan Nasional Ulama dikenal 0,71 persen responden; Partai Demokrasi Pembaruan 0,51 persen; Partai Peduli Rakyat Nasional 0,39 persen; Partai Matahari Bangsa 0,24 persen; Partai Karya Perjuangan 0,08 persen; Partai Patriot 0,08 persen; Partai Republikan 0,08 persen; Partai Buruh 0,08 persen; dan Partai Demokrat Sejahtera 0,08 persen.
Berbeda dengan popularitasnya yang tinggi, tingkat kedekatan responden dengan Hanura sangat rendah, hanya 1,74 persen. Apalagi tingkat keterpilihan (elektabilitas) Hanura, benar-benar sangat rendah: 0,36 persen. Elektabilitas ini diukur dengan pertanyaan, "Jika pemilihan umum dilakukan hari ini, partai manakah yang akan Anda pilih?" Pada survei IRDI Juli 2008, responden yang memilih PDIP 26,3 persen; yang memilih Golkar 24,6 persen; Partai Demokrat (PD) 11,2 persen; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 9,12; dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 persen. Posisi berikutnya ditempati Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4 persen; Partai Amanat Nasional (PAN) 3,27 persen; Partai Bulan Bintang 0,5 persen; Partai Bintang Reformasi 0,38 persen; dan Hanura 0,36 persen.
Dengan demikian, jika pemilu dilakukan pada Juli 2008, Hanura akan memperoleh suara sekitar 0,36 persen. Untuk menyamai PAN, yang menempati urutan ketujuh pada Pemilu 2004 dan urutan ketujuh pada survei nasional IRDI Juli 2008 dengan elektabilitas 3,27 persen, Hanura mesti menggenjot elektabilitasnya dari 0,36 persen mencapai 3,27 persen. Artinya, Hanura harus meningkatkan elektabilitasnya sembilan kali lipat lebih atau 908 persen!
Mengingat Pemilu 2009 akan dilaksanakan sembilan bulan lagi, mampukah Hanura mendongkrak elektabilitas sekurang-kurangnya 908 persen dalam waktu sembilan bulan? Rasanya benar-benar sulit. Peningkatan elektabilitas ini, selain melalui kampanye, bisa dengan menyedot suara partai lain. Misalnya Hanura menyedot suara dari pemilih Golkar, mengingat Wiranto dulu kandidat presiden dari Golkar. Harapan lainnya adalah Hanura menampung suara yang lari dari PD. Sebagai partai baru, PD belum memiliki basis massa yang kukuh.
Namun, menyedot suara yang lari dari Golkar tidak mudah dilakukan. Soalnya, pemilih Golkar loyalitasnya sangat tinggi, 79,25 persen. Artinya, responden yang memilih Golkar pada Pemilu 2004 dan pada Juli 2008 telah memutuskan akan memilih Golkar lagi pada 2009 berjumlah 79,25 persen. Menyedot suara dari PD lebih mudah dilakukan lantaran loyalitas pemilih PD tidak begitu tinggi, yakni 44,3 persen.
Masalahnya, Hanura mesti berebut dengan partai-partai lain untuk memikat pemilih PD. Bersamaan dengan itu, mesti diasumsikan bahwa sampai Pemilu 2009 pengurus PD tidak banyak berbuat untuk menarik kembali pemilihnya. Rasanya asumsi ini juga sulit berlaku, mengingat menjelang pemilu seluruh partai pasti bergerak lebih cepat dan lebih lincah.
Alhasil, jika tidak ada momentum politik yang menguntungkan Hanura dalam sembilan bulan ke depan dan kondisi tetap stabil seperti sekarang, dapat diduga Hanura tidak akan mampu menerobos ke posisi tujuh partai besar.***




Resensi: Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles

UMMAT, 21 Desember 1998
Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles
Buku ini berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU. Toh, beberapa faktanya mesti dikoreksi

Saifullah Ma’shum, (ed.), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, Bandung: 1998); 395 hlm.

K
iranya tak melesetlah apa yang dikatakan KH A. Mustofa Bisri dalam kata pengantarnya bahwa buku ini sudah lama dinanti dan sering diusulkan oleh banyak warga Nahdlatul Ulama (NU)  di berbagai kesempatan. Soalnya, sambung Kiai Mustofa Bisri, tradisi menulis sejarah kehidupan para tokohnya tak berkembang di kalangan pesantren NU.
 Walhasi, kondisi ini boleh dibilang memprihatinkan, mengingat NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia—dengan 30 juta anggota—dan telah berusia 72 tahun.
Mengapa hanya 26 tokoh? Bukankan NU memiliki ratusan tokoh lagi yang pantas dikenang riwayat hidupnya?
Pihak Yayasan Saifuddin Zuhri menjelaskan, jumlah 26 tokoh ini tak lain merupakan hasil kompromi tiga hal: (1) sejauhmana keberhasilan menghimpun informasi; (2) adanya keterbatasan waktu penelitian; (3) keterbatasan daya dukung lain yang diperlukan untuk penulisan.
Lalu, dirumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria tokoh ialah para kiai yang pernah menjadi pengurus syuriah, mutasyar atau jabatan struktural lain dalam NU pada tingkat nasional atau lokal. Juga mereka yang memimpin pesatren dan kini sudah wafat.
Boleh dibiliang buku ini relatif berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah meninggalkan jejak penting dalam dakwah dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh tokoh kiai dalam buku ini giat menenang penjajahan Belanda, sekaligus aktif dalam revolusi fisik.
Keberhasilan itu rupanya karena tim penulisnya mampu memaparkan riwayat sejumlah kiai yang kurang begitu terdengar namanya di luar tubuh NU, semisal Hasan Gipo, KH Abas, KH Thohr Bakri, dan KH Abdullah Ubaid. Jadi, bukan cuma memuat deretan nama kondang, seperti Kiai Cholil, KH R. Asnawi, KH Mas’shum, H Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri, KH Wahab Chasbullah, dan KH Wahid Hasyim.
Lewat riwayat ringkas mereka, terlihat pula dinamika internal NU dalam menghadapi perubahan zaman, suatu hal yang jarang ditelaah dalam buku lain tentang NU yang kebanyakan menyorot sisi politiknya. Simaklah riwayat KH Thohir Bakri. Pada dasawarsa 1930-an, ia adalah aktivis muda yang giat memikirkan pembentukan organisasi pemuda NU. Berkat ketekunannyalah NU kemudian memiliki barisan pemuda yang cukup dikenal: Ansoru Nahdlatoel Olema (ANO)—kini GP Ansor.
Toh, dalam perjalanan pembentukan ANO, Thohir sempat “bertabrakan” dengan para ulama sepuh yang mengharamkan drumband dan dasi yang justru merupakan atribut kebanggaan para pemuda. Alsannya, dasi menyerupai (tasyabbuh) orang kafir (Belanda). Akibatnya, persoalan ini menjadi sumber ketegangan empat kali muktamar NU, dari muktamar ke-12 (1937) sampai ke-15 (1940). Barulah pada muktamar ke-15, drumband dan dasi diperbolehkan. Ini pun melalui sidang yang alot dan melakukan voting (hlm. 252). Tentu perdebatan keras ini hanya pencerminan dinamika NU dalam menghadapi perubahan da bidang lain yang tak kalah pentingnya.  
Ditinjau dari metodologi sejarah, buku ini termasuk kategori biografi sumber, yaitu biografi pertama yang ditulis mengenai seorang tokoh. Dengan demikian, penulisnya tidak wajib membuat perbandingan dengan biografi lain dan tidak perlu membuat analisis atau deskripsi interpretatif. Yang penting adalah mengemukakan sebanyak mungkin fakta mengenai keidupan tokohnya yang disajikan dengan menarik.
Tentu dalam mengemukakan fakta tersebut, akurasi dan kelengkapan data dasar merupakan syarat yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Nah, dua hal inilah titik lemah buku Karisma Ulama. Sejumlah fakta dasar buku ini kurang lengkap dan tanpa standarisasi, malah ada yang keliru agak fatal. Misalnya, sejumlah kiai disebutkan nama istri dan anaknya, tapi ada pula yang “terlupakan”.  Berikutnya dalam riwayat KH Bisri Mustofa—ayahanda KH Mustofa Bisri—dituliskan ia sakit mata dan memerlukan kornea untuk pengobatan (hlm. 325). Kenyataannya yang sakit bukan KH Bisri, melainkan istrinya, Ny. Ma’rufah binti Cholil.
Mengingat langkanya biografi tokoh NU, sebenarnya kehadiran buku ini bak permata pengetahuan mengenai sejarah organisasi Islam terbesar di Nusantara itu. Sayang permata ini mesti dipoles lagi agar berkilau.*** (Edi Sudarjat)  




Resensi: “Menguak Tabir Perempuan Kramat Tunggak” (Opening a Screen of Women inKramat Tunggak), at Republika, November 21, 1999. A book of review Endang R. Sedyaningsih-Mamahit, Perempuan-perempuan Kramat Tunggak (Women in Kramat Tunggak), Jakarta: Sinar Harapan, 1999.


Tuesday, June 23, 2015

Resensi: “Metode Penelitian bagi Remaja” (Research Methodology for Teenagers) Forum, Maret-April 1995. Book review of Andi Hakim Nasoetion, Berpikir dan Meneliti secara Ilmiah bagi Remaja (Guidance to Think and Academic Research for Teenagers), Jakarta: Grasindo, 1992



Kolom: Diplomasi RI di PBB: Catatan Sejarah yang Belum Terjamah” (RI DiplomaticAction in United Nations Organization: A History Note that Had Not Been Touched), Republika, January 20th, 1995


Kolom: Pelajaran dari Sampang


Resensi: Asal-usul Konflik Etnis Madura-Dayak



REPUBLIKA - Minggu, 30 Desember 2001     

Asal-usul Konflik Etnis Madura-Dayak

Inilah disertasi yang paling sering disebut orang ketika membicarakan konflik etnis Madura dan Dayak di Kalimantan Barat (Kalbar). Sejatinya, penelitian almarhum Hendro bukan membahas konflik etnis, melainkan migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar. Namun selain memaparkan latar belakang, faktor-faktor pendorong dan penarik migrasi, ia juga meneliti hubungan dan pandangan orang Madura terhadap suku lainnya di Kalbar.

Buku yang diterbitkan oleh ISAI (Isntitut Studi Arus Informasi) ini menjelaskan hubungan dan pandangan orang Madura terhadap orang Bugis, Melayu, Cina, dan Dayak. Tak alpa pula ia menelaah penyebab konflik antara etnis Madura dan Dayak yang berlangsung sebelum tahun 1984 --saat disertasi ini ditulis. Pada bagian inilah ia menyumbangkan pengetahuan yang sangat berharga.

Hendro menjaring informasi lewat pengumpulan sumber primer dan sekunder, serta menyebar 400 kuesioner tipe pilihan kepada para migran asal Madura, ditambah wawancara terhadap puluhan informan kunci. Ia menggunakan konsep yang kini marak dibicarakan orang, yakni prasangka, stereotipe, etnosentrisme, konflik, konsiliasi, asimilasi dan permusuhan terbuka. Kalaupun ada kelemahan dalam disertasi ini adalah: ia tidak menggunakan sumber informasi sezaman pada periode yang ia teliti, semisal arsip, koran, dan majalah.

Berdasarkan data dan pengamatan Hendro, migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar telah berlangsung lama, tepatnya sejak 1902. Kebanyakan mereka berasal dari dua kabupaten di bagian barat pulau garam itu, yakni Bangkalan dan Sampang. Mengapa? Pada dua kabupaten inilah penduduknya paling banyak (hlm. 50).

Penduduk Madura memang padat. Seperti diurai dalam disertasi Huub de Jonge (1989: 21), sejak 1815 sampai 1940 penduduk Madura malah lebih padat dari pulau Jawa. Artinya sampai 1940 Madura adalah pulau terpadat penduduknya di Indonesia. Kepadatan penduduk yang tinggi ini berakibat pada sempitnya pemilikan tanah: rata-rata 0,3 ha per orang (hlm. 57). Faktor pendorong migrasi lainnya adalah tanah di Madura tergolong gersang.

Kepadatan penduduk, tanah gersang, keberanian dan kebiasaan bermigrasi, ditambah satu pendukung berlangsungnya migrasi yang juga penting, yakni tersedianya armada kapal layar Madura yang mampu menjangkau wilayah jauh, sampai ke Semenanjung Malaya.

Adapun Kalbar menjadi daerah tujuan migrasi lantaran kepadatan penduduknya rendah. Pada 1980 hanya 17 jiwa per km persegi. Kalbar jelas membutuhkan pekerja untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infra struktur perekonomiannya. Dan kebutuhan ini, terutama pekerja kasar, diisi orang Madura.

Para juragan kapal yang sering bolak-balik ke Kalbarlah yang mula-mula membawa mereka ke sana. Bila calon migran tidak punya ongkos, juragan kapal bersedia menanggungnya lebih dahulu, dengan perjanjian akan dilunasi setelah mereka bekerja di Kalbar. Para migran ini dipikat lewat "janji surga" betapa gampangnya mencari kekayaan di tanah seberang. Pemeo yang kondang saat itu ialah, "Sejengkal memotong akar pinang, mendapat uang 50 ketip."

Ternyata mulut manis juragan kapal itu 'berbisa.' Sesampainya di Kalbar para migran tersebut 'dijual' layaknya perbudakan terselubung! Zaman penuh kepedihan dan penderitaan ini -- yang sangat jarang diceritakan kepada anak cucunya -- disebut 'Periode Perintisan' (1902-1942). Setelah itu disambung "Periode Surut" (1942-1950) lantaran masuknya Jepang dan meletusnya revolusi kemerdekaan.

Setelah bertahun-tahun membanting tulang akhirnya para migran itu tiba pada 'Periode Keberhasilan' (1950-1980). Pada masa ini mereka hidup layak. Mereka memiliki rumah dan kebun, bahkan menguasai sektor-sektor ekonomi informal tertentu, semisal penarik becak, penambang sampan, dan pekerja jalan darat (hlm. 84).

Apa yang membuat mereka berhasil? Hendro melihat sejumlah faktor, antara lain, pertama, mereka memiliki etos kerja dan jiwa wirausaha yang kuat sehingga sanggup bekerja keras, menderita, dan hidup hemat. Etos kerja ini didorong rasa malu (todus) yang tercermin dalam pepatah Ango'an potea tolang, e tebang pote mata (lebih baik putih tulang, daripada putih mata). Maknanya adalah lebih baik mati daripada gagal dalam kehidupan di rantau (hlm. 81).

Kedua, solidaritas sosial mereka sangat tinggi. Banyak migran Madura ke Kalbar tanpa membawa modal usaha sepeser pun. Mereka yakin, keluarga atau teman-temannya di rantau akan membantu. Kombinasi solidaritas dan kerja keras itu membuat mereka menguasai sektor-sektor perdagangan tertentu, sehingga orang-orang non Madura yang lebih dulu bergerak di bidang itu terdesak, bahkan terlempar keluar.

Belakangan, soal ini menjadi salah satu faktor penyebab meletusnya konflik etnis Madura melawan Melayu di Sambas, Kalbar. Pasalnya, migran Madura acap merebut kesempatan kerja dan pemilikan barang melalui kekerasan atau intimidasi --tidak lagi melalui jalan yang sah. (Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, "Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis", Antropologi Indonesia, Th XXIII, No. 58, 1999, hlm.41)

Lantas, faktor apa saja yang menimbulkan konflik? Hendro mencatat, pertama, sifat dan kelakuan dari 'tanah air' (rasa kesukuan atau ethnic urbanism) di Madura dibawa serta bermigrasi. Adat carok dan solidaritas kuat -meski acap membabi buta-- mereka bawa ke Kalbar. Akibatnya pertengkaran antar individu segera menjelma menjadi pertengkaran antar kelompok. Perkelahian antar kelompok kontan berkobar menjadi perang suku.

Kedua, pola pemukiman reng Madure kebanyakan pola kelompok, bukan pola sisipan. Ini membuat proses asimilasi dengan warga setempat terhalang.

Ketiga, tingkat pendidikan para migran sangat rendah. Otomatis mereka sulit mengunyah-nguyah informasi, beradaptasi, dan hanya mampu menguasai sektor formal. Dari 400 responden penelitian Hendro, 79 persen di antaranya tidak sekolah/buta huruf dan 10 persen lagi tidak tamat SD.

Hubungan etnis Madura-Dayak kurang harmonis antara lain karena faktor-faktor tersebut di atas. Sifat keras orang Madura, juga terdapat pada orang Dayak. Tingkat pendidikan dan posisi ekonomi kedua suku ini hampir sejajar: sama-sama rendah dan mengisi sektor informal. Sementara agama dan adat mereka berbeda. Di sisi lain hubungan etnis Madura-Bugis di Kalbar rukun lantaran faktor kesamaan agama.

Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada kedua suku itu menambah kekurangharmonisan. Orang Madura menggunakan bahasa Indonesia dialek Madura yang kurang sempurna. Sedangkan orang Dayak berbahasa Indonesia aksen Dayak yang juga kurang sempurna. Intonasi meledak-ledak sebagai pencerminan dari sifat etnis Madura yang keras, mudah menimbulkan salah paham.

Toh, kekurangharmonisan ini tidak berarti kedua suku itu tidak melakukan kontak sosial. Hubungan sosial mereka diwarnai sikap prasangka dan menjaga jarak. Yang menggembirakan bahwa di beberapa kampung, seperti di Sungai Ambawang dan Marga Mulia, terjadi perkawinan antara orang Madura dan Dayak. Hendro berharap, seandainya perkawinan macam ini makin banyak, lambat laun kekurangharmonisan dalam pergaulan sosial mereka akan berkurang (hlm. 140).

Ternyata harapan mulia penulis buku ini sekarang tinggal kenangan belaka. Setelah disertasi ini ditulis, konflik Madura-Dayak malah memuncak dan berlarut-larut hingga kini. Betapapun demikian, buku ini menjadi penting lantaran mampu menganalisis faktor-faktor penyebab konflik dan membuka jalan untuk rekonsiliasi.

Edi Sudarjat, Peneliti pada Centre for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS) Jakarta