Wednesday, June 24, 2015

Resensi: Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles

UMMAT, 21 Desember 1998
Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles
Buku ini berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU. Toh, beberapa faktanya mesti dikoreksi

Saifullah Ma’shum, (ed.), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, Bandung: 1998); 395 hlm.

K
iranya tak melesetlah apa yang dikatakan KH A. Mustofa Bisri dalam kata pengantarnya bahwa buku ini sudah lama dinanti dan sering diusulkan oleh banyak warga Nahdlatul Ulama (NU)  di berbagai kesempatan. Soalnya, sambung Kiai Mustofa Bisri, tradisi menulis sejarah kehidupan para tokohnya tak berkembang di kalangan pesantren NU.
 Walhasi, kondisi ini boleh dibilang memprihatinkan, mengingat NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia—dengan 30 juta anggota—dan telah berusia 72 tahun.
Mengapa hanya 26 tokoh? Bukankan NU memiliki ratusan tokoh lagi yang pantas dikenang riwayat hidupnya?
Pihak Yayasan Saifuddin Zuhri menjelaskan, jumlah 26 tokoh ini tak lain merupakan hasil kompromi tiga hal: (1) sejauhmana keberhasilan menghimpun informasi; (2) adanya keterbatasan waktu penelitian; (3) keterbatasan daya dukung lain yang diperlukan untuk penulisan.
Lalu, dirumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria tokoh ialah para kiai yang pernah menjadi pengurus syuriah, mutasyar atau jabatan struktural lain dalam NU pada tingkat nasional atau lokal. Juga mereka yang memimpin pesatren dan kini sudah wafat.
Boleh dibiliang buku ini relatif berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah meninggalkan jejak penting dalam dakwah dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh tokoh kiai dalam buku ini giat menenang penjajahan Belanda, sekaligus aktif dalam revolusi fisik.
Keberhasilan itu rupanya karena tim penulisnya mampu memaparkan riwayat sejumlah kiai yang kurang begitu terdengar namanya di luar tubuh NU, semisal Hasan Gipo, KH Abas, KH Thohr Bakri, dan KH Abdullah Ubaid. Jadi, bukan cuma memuat deretan nama kondang, seperti Kiai Cholil, KH R. Asnawi, KH Mas’shum, H Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri, KH Wahab Chasbullah, dan KH Wahid Hasyim.
Lewat riwayat ringkas mereka, terlihat pula dinamika internal NU dalam menghadapi perubahan zaman, suatu hal yang jarang ditelaah dalam buku lain tentang NU yang kebanyakan menyorot sisi politiknya. Simaklah riwayat KH Thohir Bakri. Pada dasawarsa 1930-an, ia adalah aktivis muda yang giat memikirkan pembentukan organisasi pemuda NU. Berkat ketekunannyalah NU kemudian memiliki barisan pemuda yang cukup dikenal: Ansoru Nahdlatoel Olema (ANO)—kini GP Ansor.
Toh, dalam perjalanan pembentukan ANO, Thohir sempat “bertabrakan” dengan para ulama sepuh yang mengharamkan drumband dan dasi yang justru merupakan atribut kebanggaan para pemuda. Alsannya, dasi menyerupai (tasyabbuh) orang kafir (Belanda). Akibatnya, persoalan ini menjadi sumber ketegangan empat kali muktamar NU, dari muktamar ke-12 (1937) sampai ke-15 (1940). Barulah pada muktamar ke-15, drumband dan dasi diperbolehkan. Ini pun melalui sidang yang alot dan melakukan voting (hlm. 252). Tentu perdebatan keras ini hanya pencerminan dinamika NU dalam menghadapi perubahan da bidang lain yang tak kalah pentingnya.  
Ditinjau dari metodologi sejarah, buku ini termasuk kategori biografi sumber, yaitu biografi pertama yang ditulis mengenai seorang tokoh. Dengan demikian, penulisnya tidak wajib membuat perbandingan dengan biografi lain dan tidak perlu membuat analisis atau deskripsi interpretatif. Yang penting adalah mengemukakan sebanyak mungkin fakta mengenai keidupan tokohnya yang disajikan dengan menarik.
Tentu dalam mengemukakan fakta tersebut, akurasi dan kelengkapan data dasar merupakan syarat yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Nah, dua hal inilah titik lemah buku Karisma Ulama. Sejumlah fakta dasar buku ini kurang lengkap dan tanpa standarisasi, malah ada yang keliru agak fatal. Misalnya, sejumlah kiai disebutkan nama istri dan anaknya, tapi ada pula yang “terlupakan”.  Berikutnya dalam riwayat KH Bisri Mustofa—ayahanda KH Mustofa Bisri—dituliskan ia sakit mata dan memerlukan kornea untuk pengobatan (hlm. 325). Kenyataannya yang sakit bukan KH Bisri, melainkan istrinya, Ny. Ma’rufah binti Cholil.
Mengingat langkanya biografi tokoh NU, sebenarnya kehadiran buku ini bak permata pengetahuan mengenai sejarah organisasi Islam terbesar di Nusantara itu. Sayang permata ini mesti dipoles lagi agar berkilau.*** (Edi Sudarjat)  




No comments:

Post a Comment