UMMAT, 21 Desember 1998
Biografi Tokoh NU: Permata
yang Belum Dipoles
Buku ini berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU. Toh, beberapa
faktanya mesti dikoreksi
Saifullah Ma’shum, (ed.), Karisma Ulama:
Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, Bandung:
1998); 395 hlm.
K
|
iranya tak melesetlah apa yang dikatakan KH A.
Mustofa Bisri dalam kata pengantarnya bahwa buku ini sudah lama dinanti dan
sering diusulkan oleh banyak warga Nahdlatul Ulama (NU) di berbagai kesempatan. Soalnya, sambung Kiai
Mustofa Bisri, tradisi menulis sejarah kehidupan para tokohnya tak berkembang
di kalangan pesantren NU.
Walhasi, kondisi ini boleh dibilang
memprihatinkan, mengingat NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia—dengan
30 juta anggota—dan telah berusia 72 tahun.
Mengapa
hanya 26 tokoh? Bukankan NU memiliki ratusan tokoh lagi yang pantas dikenang
riwayat hidupnya?
Pihak
Yayasan Saifuddin Zuhri menjelaskan, jumlah 26 tokoh ini tak lain merupakan
hasil kompromi tiga hal: (1) sejauhmana keberhasilan menghimpun informasi; (2)
adanya keterbatasan waktu penelitian; (3) keterbatasan daya dukung lain yang
diperlukan untuk penulisan.
Lalu,
dirumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria tokoh ialah para kiai yang
pernah menjadi pengurus syuriah, mutasyar atau jabatan struktural lain dalam NU
pada tingkat nasional atau lokal. Juga mereka yang memimpin pesatren dan kini
sudah wafat.
Boleh
dibiliang buku ini relatif berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU, yang
dengan caranya sendiri-sendiri telah meninggalkan jejak penting dalam dakwah
dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh tokoh kiai dalam buku ini
giat menenang penjajahan Belanda, sekaligus aktif dalam revolusi fisik.
Keberhasilan
itu rupanya karena tim penulisnya mampu memaparkan riwayat sejumlah kiai yang
kurang begitu terdengar namanya di luar tubuh NU, semisal Hasan Gipo, KH Abas,
KH Thohr Bakri, dan KH Abdullah Ubaid. Jadi, bukan cuma memuat deretan nama
kondang, seperti Kiai Cholil, KH R. Asnawi, KH Mas’shum, H Hasyim Asy’ari, KH
Bisri Syansuri, KH Wahab Chasbullah, dan KH Wahid Hasyim.
Lewat
riwayat ringkas mereka, terlihat pula dinamika internal NU dalam menghadapi
perubahan zaman, suatu hal yang jarang ditelaah dalam buku lain tentang NU yang
kebanyakan menyorot sisi politiknya. Simaklah riwayat KH Thohir Bakri. Pada dasawarsa
1930-an, ia adalah aktivis muda yang giat memikirkan pembentukan organisasi
pemuda NU. Berkat ketekunannyalah NU kemudian memiliki barisan pemuda yang
cukup dikenal: Ansoru Nahdlatoel Olema (ANO)—kini GP Ansor.
Toh,
dalam perjalanan pembentukan ANO, Thohir sempat “bertabrakan” dengan para ulama
sepuh yang mengharamkan drumband dan
dasi yang justru merupakan atribut kebanggaan para pemuda. Alsannya, dasi
menyerupai (tasyabbuh) orang kafir
(Belanda). Akibatnya, persoalan ini menjadi sumber ketegangan empat kali
muktamar NU, dari muktamar ke-12 (1937) sampai ke-15 (1940). Barulah pada
muktamar ke-15, drumband dan dasi
diperbolehkan. Ini pun melalui sidang yang alot dan melakukan voting (hlm. 252). Tentu perdebatan
keras ini hanya pencerminan dinamika NU dalam menghadapi perubahan da bidang
lain yang tak kalah pentingnya.
Ditinjau
dari metodologi sejarah, buku ini termasuk kategori biografi sumber, yaitu
biografi pertama yang ditulis mengenai seorang tokoh. Dengan demikian,
penulisnya tidak wajib membuat perbandingan dengan biografi lain dan tidak
perlu membuat analisis atau deskripsi interpretatif. Yang penting adalah
mengemukakan sebanyak mungkin fakta mengenai keidupan tokohnya yang disajikan
dengan menarik.
Tentu
dalam mengemukakan fakta tersebut, akurasi dan kelengkapan data dasar merupakan
syarat yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Nah, dua hal inilah titik lemah
buku Karisma Ulama. Sejumlah fakta
dasar buku ini kurang lengkap dan tanpa standarisasi, malah ada yang keliru
agak fatal. Misalnya, sejumlah kiai disebutkan nama istri dan anaknya, tapi ada
pula yang “terlupakan”. Berikutnya dalam
riwayat KH Bisri Mustofa—ayahanda KH Mustofa Bisri—dituliskan ia sakit mata dan
memerlukan kornea untuk pengobatan (hlm. 325). Kenyataannya yang sakit bukan KH
Bisri, melainkan istrinya, Ny. Ma’rufah binti Cholil.
Mengingat
langkanya biografi tokoh NU, sebenarnya kehadiran buku ini bak permata
pengetahuan mengenai sejarah organisasi Islam terbesar di Nusantara itu. Sayang
permata ini mesti dipoles lagi agar berkilau.*** (Edi Sudarjat)
No comments:
Post a Comment