Tuesday, July 7, 2015

KH Sholeh Iskandar: Pejuang Bereputasi Internasional


KH R Abdullah bin Nuh: Sang Ulama Pejuang



KH. RADEN Abdullah bin Nuh:
Sang Ulama, Penyair dan
Pejuang Kemerdekaan RI


“Jika tidak ada kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun Kiai Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakry, rasanya saya tidak akan bisa berbahasa Arab,” ujar Prof. Dr. Machasin, MA pada tahun 2004. “Waktu saya kuliah, belum ada kamus Indonesia-Arab, yang ada kamus Arab-Melayu Mahmud Yunus. Tapi bahasa Melayu kan membingungkan,” sambung Prof. Machasin, yang juga pernah menjabat Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI.

Demikianlah arti penting kamus yang disusun Abdullah bin Nuh & Oemar Bakry. Kamus ini  pertama kali diterbitkan 1959, tebalnya 330 halaman dan dihiasi gambar ilustrasi 28 halaman. Pada 1990-an, kamus ini masih dicetak ulang.

Siapapun yang menyusun kamus, pastilah ia orang yang tekun dan terpelajar serta mencintai ilmu. Soalnya menyusun kamus tiga bahasa bukan pekerjaan gampang, diperlukan ketekunan, ketelitian, dan ilmu yang luas; lagipula pada dasawarsa 1950-an, honornya tidak seberapa besar. 

Sejak kecil, Abdullah bin Nuh memang dikenal sebagai pecinta ilmu, tekun dan jenius. Dalam usia 13 tahun, ia mampu menggubah syair berbahasa Arab. Rupanya bahasa Arab bukan hal asing bagi dirinya. Di usia balita, ia dibawa keluarganya bermukim di Makkah selama dua tahun. Ia tinggal bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek dari ayahnya yang kaya raya dari Cianjur dan ingin meninggal di Makkah. Pengalamannya tinggal di sana cukup meninggalkan kesan khusus. Ia seringkali bercerita pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang menjajakan barang dagangan sambil berseru El Batato ya Nas. “Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di Yogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru Gudege nggih den…. Gudege nggih den,tuturnya kepada keluarga.

Abdullah bin Nuh menimba ilmu pertama kali di  pesantren keluarganya, I‘anatut Talibil Muslimin di Cianjur, dilanjutkan ke Madrasah Syamailul Huda, Pekalongan, Jawa Tengah; lalu mengikuti gurunya ke Surabaya, Jawa Timur, untuk mendirikan Hadramaut School (1922-1926). Tidak tangung-tanggung, ia belajar lebih jauh lagi ke Jamiatul Azhar, Kairo, Mesir (1926-1928).

Sepulangnya dari Kairo, ia tingal di Ciwaringin, Bogor untuk mengajar Madrasah Islamiyah, lalu pulang ke Cianjur untuk mengajar di pesantren keluarganya (1930). Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan R. Mariyah binti R. Haji Abdullah. Saat itu ia pulang-pergi Cianjur-Bogor untuk mengajar di madrasah dan sekolah menengah umum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Tentu bukan perkara mudah dapat mengajar di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda seperti MULO.

Di masa itu, ia aktif menyebarkan semangat nasionalisme anti penjajahan melalui ceramah dan pengajaran di majelis taklim, pesantren dan di sekolah-sekolah.  Ia bersahabat dengan para ulama di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, antara lain dengan KH Ahmad Sanusi dari Cantayan, Sukabumi, yang sangat terkenal waktu itu. KH Ahmad Sanusi sempat dibuang ke Tanah Tinggi, Batavia Centrum selama enam tahun (1928-1934).

Sama halnya dengan Abdullah bin Nuh, KH Sanusi juga seorang yang tekun, jenius, dan pejuang kemerdekaan. KH Ahmad Sanusi menulis 480 (empat ratus delapan puluh!) karya tulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia.  Ia juga mendirikan organisasi agama dan pergerakan nasional Al-Ittihadiyyatul Islamiyyah (1930) yang kemudian berfusi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) serta dipilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945.

Pistol dan Tasbih
Dalam perjalanan berikutnya, Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, lalu Jepang menjalankan kebijakan politik yang berbeda dengan Belanda. Demi meraih dukungan dari bangsa Indonesia, Jepang berjanji akan memberi kemerdekaan. Demi meraih dukungan itu pula, Jepang merekrut banyak orang Indonesia dan tokoh ummat Islam untuk menjalankan pemerintahan dan menempati jabatan tinggi. Jepang kekurangan pegawai untuk mengelola birokrasi, karena kapal mereka yang membawa aparat birokrasi dari negerinya ditenggelamkan pasukan sekutu dengan senjata torpedo.  

KH Hasjim Asj’ari, hadratus syaikh Nahdlatul Ulama misalnya, diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama  (Shumubu) yang kegiatan sehari-hari dilaksanakan putranya KH Wahid Hasjim. Sedangkan KH Ahmad Sanusi diangkat sebagai wakil residen Bogor (Fuku Shucokan), yang membawahi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi.

Para tokoh Islam ditunjuk mengikuti pelatihan militer Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor (sekarang menjadi Pusat Pendidikan Zeni). Di antaranya ialah Soedirman, yang kelak menjadi Panglima Besar TNI; Kasman Singodimedjo yang kelak menjadi ketua Mahkamah Agung pertama RI; dan Abdullah bin Nuh, yang ditunjuk sebagai komandan batalyon (Daidanco) untuk wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, bermarkas di Ujung Genteng-Jampang Kulon, Sukabumi.  

Saat kemerdekaan tiba, Abdullah bin Nuh ditunjuk sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR)—cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI)--Sukabumi dan ketua Partai Masyumi se-Keresidenan Bogor. Penampilan Abdullah bin Nuh sebagai komandan dituturkan oleh rekan seperjuangannya, KH Dadun Abdul Qohhar. “Mama’ Abdullah bin Nuh sering terlihat naik kuda, dengan pistol di pinggang sambil memegang tasbih di tangan,” kata KH Dadun Abdul Qohhar. Sungguh sebuah kombinasi menarik: pistol dan tasbih. 

Dari komandan tentara, KH Abdullah bin Nuh diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): lembaga legislatif sebelum ada Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika Jakarta diduduki tentara Sekutu, ia ikut hijrah bersama pemerintah RI ke Yogyakarta. Di kota gudeg ini, ia ditunjuk sebagai kepala seksi siaran bahasa Arab di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogya, sekaligus koresponden Kantor Berita APB (Arabian Press Board). Melalui siaran berbahasa Arab inilah kemerdekaan Indonesia diketahui dan didukung bangsa-bangsa Arab. Di Yogya, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Guru dan Senat University Islam Indonesia (UII).

Namun Yogyakarta kemudian diduduki Belanda pada Agresi Militer II, Desember 1948.  Bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia menyingkir ke pedalaman dan ikut bergerilya. Di kala tinggal di Argosari, ia dinikahkan dengan Mursyidah binti H. Abdullah Sayuti di Kebarongan, Banyumas, pada 5 juni 1949.

Ilmuwan yang Mumpuni
Usai revolusi, Abdullah bin Nuh tinggal di Jakarta (1950-1970). Dunia pendidikan kembali memanggilnya. Ia mengajar di perguruan tinggi terkemuka, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada 1960-1967, tanpa meninggalkan mengajar di sejumlah pengajian serta majelis taklim. Ia juga menjabat kepala seksi bahasa Arab RRI Jakarta (1950-1964) dan menjadi pimpinan majalah Syunul Indonesia edisi bahasa Arab yang diterbitkan Departemen Penerangan. Sebagai ilmuwan, tak lupa pula ia  mendirikan Islamic Research Institute. 

Rekan-rekan dan mantan muridnya di FSUI mengenangnya sebagai dosen yang kaya ilmu, bertutur lemah-lembut dan mampu mengajar dengan terang-benderang, sebagaimana ia menulis dan menerjemahkan berbagai buku. Abdullah bin Nuh menerjemahkan karya Imam Al-Ghazali Pembebas dari Kesesatan (Al-Munqizu min adh-dhalal) setebal 79 halaman pada 1961, dengan menambahkan keterangan sekitar 200 catatan kaki. Keterangan tersebut begitu jelas dan rinci sehingga non-muslim pun dapat mengerti isi buku tersebut. Kendati diterjemahkan lebih dari 50 tahun silam, bahasa yang digunakannya nyaris tak ketinggalan zaman. Para pembaca di masa kini tetap dapat menikmati terjemahan itu.     

Abdullah bin Nuh memang dikenal sebagai ahli dan mencintai tasawuf Al-Ghazali. Tak heran bila ia mendirikan majelis taklim di Kota Paris, Bogor, yang dinamai Al-Ghazali pada 1968. Majelis ini kemudian berkembang menjadi pesantren dan sekolah. Setelah Al-Ghazali berdiri, ia menetap di Bogor sejak 1971 hingga akhir hayatnya tiba pada 26 Oktober 1987.

Namun pemerintah Orde Baru merintangi kegiatan dan pengembangan Pesantren Al-Ghazali karena  KH Abdullah bin Nuh tidak mendukung Golkar dalam seluruh Pemilihan Umum. Bahkan pada Pemilu 1982, ia sempat ditahan pemerintah sekitar dua pekan lamanya. “Saya yang menjemputnya pulang dari Korem di Bogor,” kata H. Ujang Damanhuri, pengurus Partai Persatuan Pembangunan Leuwiliang, Bogor.  

Di Kota Hujan itu, bersama rekan-rekan seperjuangannya sejak zaman revolusi, yakni,  KH Sholeh Iskandar, KH Noer Alie, KH Choer Affandi, KH Abdullah Syafi’i, dkk., ia mendirikan organisasi Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat pada 1972; lalu mendirikan majelis taklim Al-Ihya di Pasir Jaya, Bogor.

Sepanjang hayatnya, KH Abdullah bin Nuh menulis 28 buku dan menerjemahkan 8 buku, yang meliputi bidang bahasa (kamus), sastra, sejarah, tasawuf, dan fikih. Salah satu syairnya, “Persaudaraan Islam”, yang ditulisnya ketika mengajar di Hadramaut School tahun 1925, begitu terkenal hingga “diabadikan” para penggemarnya di dunia maya dan dapat ditemui dengan mudah melalui mesin pencari kata Google. Puisi ini dilukis di salah satu ruangan di Istana Raja Yordania.
Belasan tahun setelah kepergiannya, Pemerintah Kabupaten Cianjur mengusulkan KH Abdullah bin Nuh sebagai pahlawan nasional pada 2010.
***

Sumber:
1.   Abdullah bin Nuh & Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggeris (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1991).
2.   A. Dwi Pamudji (et.al), 60 Tahun Universitas Islam Indonesia Berkiprah dalam Pendidikan Nasional (Jakarta: Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, 2004)             
3.   Ika Nurmaya, K.H.R. Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Beberapa Pemikirannya (Skripsi Jurusan Asia Barat, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1992.
4.   Wawancara dengan K.H. Dadun Abdul Qohhar di Bogor, Maret 2004
5.   Wawancara dengan Prof. Machasin, Oktober 2008 di Jakarta.
6.   Wawancara dengan H. Ujang Damanhuri, di Warung Saptu, Cibungbulang, Bogor,17 Februari 2015

Sunday, July 5, 2015

JJ Rizal tentang Bogor Masa Revolusi



Jj Rizal
 menambahkan 3 foto baru.

Buku baru @komunitasbambu Bogor Masa Revolusi 1945-1950: Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi karya senior saya, Edi Sudarjat. Ia dulu seperti saya adalah mahasiswa sejarah di FSUI (kini FIB UI) dan terutama cemerlang dalam sejarah pergerakan nasional sampai revolusi Indonesia. Ia senior dari kelompok Islam yang kalau menulis mengingatkan saya pada alamarhum pak Deliar Noer. Sangat berwibawa karena kekuatan analisis dan datanya, tetapi menarik juga karena kang Edi, begitu saya memanggilnya, memiliki gaya narasi sastera. Sebagai mahasiswa ia termasuk yang banyak mendapat ruang menulis di Koran Republika pada masa-masa emasnya tahun 1990an yang melahirkan serta memanggungkan banyak intelektual Islam Indonesia.
Tahun lalu saya diundang dia untuk mengikuti presentasi risetnya tentang revolusi di Bogor yang di dalamnya memainkan peran penting intelektual tentara religius, Sholeh Iskandar. Seperti biasa selalu senang mendegarnya karena bukan saja berkisah, tetapi juga menunjukkan ekspresi total untuk memasuki dan memahami alam pikiran zaman bersiap serta perasaan tokoh-tokohnya bukan saja yang elit tetapi juga yang alit, sebut saja kisah laskar rakyat. Seperti biasa kekuatannya dalam data pustaka dan arsip diperkaya oleh wawancara yang luas yang menjadi basis sebuah sejarah lisan sebagai sumber yang memungkinkan suara dan kisah yang tidak tercatat bahkan dihapuskan tampil.
Alhasil buku bukan saja sapuan-sapuan besar tetapi juga petit histoire atau sejarah kecil berkelindan bersuara, bercerita sejarah. Apalagi dilengkapinya pula dengan sejumlah foto-foto dari arsip koran, majalah sezaman dan teristimewa foto koleksi pribadi orang-orang yang terlibat revolusi di Bogor itu. Sungguh buku kecil yang menggugah itu menggembirakan sekali bisa saya bantu penerbitannya, buku sejarah yang membacanya berasa mendapat pahala, kalo ga percaya silakan pesan ke pemasaran@komunitasbambu.com