Menara Kudus, Kurban,
Soto, dan Sate Kerbau: Toleransi dan Kerukunan dalam
Islam
Pernahkah Anda mampir ke Kabupaten Kudus, Jawa Tengah? Kabupaten
seluas 425,16 km persegi yang bersih dan apik ini harum namanya di kalangan
ummat Islam. Di sinilah dahulu salah seorang wali songo (wali sembilan) yang disebut Sunan Kudus, menyebarkan agama
Islam. Sejak masa hidupnya, sekitar tahun 1500-an Masehi (M) hingga kini, 500
tahun kemudian, warisan dakwahnya tetap terpelihara.
Warisan dakwah Sunan Kudus tergolong istimewa. Ia bukan
hanya mewariskan seperangkat aturan syariah seperti para wali lainnya, namun meninggalkan
dua pusaka lagi: pertama, perpaduan
(akulturasi) budaya Hindu dan Islam; kedua,
toleransi dan kerukunan beragama. Perpaduan budaya itu tampak pada arsitektur bangunan
di kompleks mesjid Kudus. Sedangkan toleransi dan kerukunan beragama terlihat pada
adat-istiadat warga Kudus yang “mengharamkan” daging sapi.
Menara Mesjid Kudus
Menara Kudus merupakan pelengkap kompleks bangunan mesjid Kudus,
yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kudus
Kota. Mesjid ini sesungguhnya bernama al-Aqsa al-Manar, namun lebih dikenal
dengan nama mesjid Kudus.
Pengaruh budaya Hindu dapat dilihat dari bangunan bata pada
gapura bentar, gapura paduraksa dan menara Kudus bagian kaki dan tubuh.
Sedangkan budaya Islam dapat dilihat bangunan mesjid itu sendiri, meski sulit
untuk mengetahui bentuk aslinya, lantaran sudah berulangkali diperbaiki dan
tidak ada catatan tertulis mengenai perbaikan tersebut.
Konstruksi menara Kudus sama dengan bangunan candi Hindu,
yang terdiri dari kaki, badan dan atap. Sedangkan struktur bangunannya terdiri
dari bagian kaki, tubuh dan kepala. Bagian kaki dan tubuh menara tersusun dari
bata. Lalu pada bagian kepala terdapat sebuah bangunan kayu berukuran sekitar 4
x 4 meter yang berlantai kayu. Bangunan kayu ini beratap tajug yang ditopang empat
soko guru (tiang utama) di bagian tengah, dan 12 soko pendamping yang ada di
sekelilingnya.
Tidak ada keterangan pasti siapa dan kapan kompleks mesjid
ini dibangun. Juga tidak diperoleh keterangan yang kokoh secara ilmiah mengenai
siapa sesungguhnya Sunan Kudus. Maklum, sumber sejarah yang tersedia tidak
mencukupi. Para ahli sejarah dan arkeologi menggali informasi dari babad: karya
sastra Jawa yang mengandung unsur sejarah. Sebagai karya sastra, maka khayalan
dan kenyataan bercampur-baur di dalam babad. Sumber informasi lain yang dapat
dipercaya adalah laporan pengelana asing dari Eropa atau China, namun sangat
sedikit jumlahnya.
Lagipula, pada zaman itu tidak banyak orang yang mampu
menulis dan membaca. Mereka belum mengenal huruf Latin. Mereka menulis dengan
aksara Jawa atau Arab. Hanya segelintir orang yang mengenal kertas dan pena.
Dengan demikian, sudah pasti tidak ada toko buku seperti seperti sekarang. Umumnya,
orang menulis di daun lontar, kulit hewan atau kain. Wajarlah bila keterangan
tertulis tentang kehidupan di masa itu langka.
Sekalipun demikian,
orang berusaha memperkirakan kapan menara Kudus didirikan. Nah, di menara itu terdapat
candra sengkala berbunyi gapura rusak ewahing jagad, yang
dapat diartikan tahun 1609 Jawa atau 1685 M. Berdasarkan keterangan
ini, orang menduga menara Kudus dibangun
pada 1685 M.
Candra sengkala
adalah kata-kata atau simbol yang melambangkan angka. Kalau di zaman sekarang,
mirip dengan kode buntut. Misalnya kata pohon
berarti angka satu, kembang berarti
angka sembilan, monyet berarti angka 23.
Jadi, kalau di suatu gapura tertulis candra
sengkala “pohon dan kembang dirabut monyet”, maka dapat diartikan gapura
tersebut dibangun pada tahun 1923 Jawa atau 1999 M.
Mengapa orang menggunakan candra sengkala? Yah..., waktu itu orang Jawa belum banyak yang
mengenal angka Arab (١,٢,٣)
atau Latin (1,2,3 dst). Angka Arab dan Latin
baru dipergunakan orang Jawa setelah peradaban Islam dan Eropa diserap dalam
kehidupan sehari-hari.
Tetapi candra sengkala di menara itu rupanya
bukan keterangan tentang tahun pembangunan menara Kudus. Sebab, seorang musafir
dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678 M sempat
menyaksikan menara Kudus dan menyatakan kekagumannya. Dalam laporannya ia
menulis, “menara raksasa [Kudus adalah] suatu bangunan yang kukuh tampan dan
yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Kekaguman
Hurdt ini dikutip de Graaf dan Pigeaud dalam karyanya yang terkenal, Kerajaaan-kerajaan Islam di Jawa Hurdt menyampaikan bahwa
tahun 1678 M menara Kudus sudah berdiri kukuh. Dengan demikian, dugaan bahwa menara
Kudus dibangun pada 1685 M, sudah pasti keliru.
Toh, meskipun kita tidak tahu dengan pasti kapan dan siapa yang membangun
kompleks mesjid Kudus, kita tahu pasti bahwa orang-orang Islam di Kudus sejak
500 tahun lalu sangat menghargai budaya agama lain. Mereka juga memadukan
budaya Hindu dengan budaya Islam. Mereka tidak merusak atau menghancurkan
candi. Arsitektur candi Hindu yang indah dan berseni, dimanfaatkan sebagai
menara dan mesjid: sungguh sebuah teladan “bangunan” toleransi dan kerukunan
yang elok.
Kurban, Soto dan Sate Kerbau
Seperti terkisahkan dalam legenda dan karya
sastra tradisional, Sunan Kudus adalah sosok yang tegas menerapkan syariah
Islam. Ketegasan ini rupanya dibarengi dengan toleransi dan penghargaan kepada tradisi
non-Islam yang dianut penduduk setempat ketika ia mula-mula berdakwah.
Sebagaimana diketahui,
dalam agama Hindu, sapi adalah hewan suci. Demi menjaga perasaan orang yang
beragama Hindu, Sunan Kudus menganjurkan kepada yang orang Hindu sudah masuk
Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau
saja. Berkat anjuran tersebut, sampai sekarang ummat Islam di Kudus tidak
menyembelih sapi. Para makanan pun tidak menjual soto dan sate sapi, melainkan
soto dan sate kerbau. Agaknya, berkat anjuran itu pula banyak ditemukan penjual soto dan sate kerbau
di Kudus. Boleh dikatakan, soto dan sate kerbau adalah ciri kota Kudus.
Selain itu, sampai
sekarang warga Kudus tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban di hari Idul
Adha. Sebagai gantinya, mereka menyembelih kerbau. Di Kabupaten Kudus, orang
Hindu dan Budha sekarang tidak lebih dari 1.500 jiwa; sementara orang Islam
sekitar 734.000 jiwa. Artinya, jumlah orang Hindu dan Budha hanya 0,2 persen
dari orang Islam. Sungguhpun demikian, ummat Islam di Kudus tetap menghargai
dan sangat toleran kepada mereka. Buah dari penghargaan dan toleransi itu,
kiranya adalah terciptanya kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Kudus.***
(Edi Sudarjat)