Saturday, June 6, 2015

Book review of Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Discovering History: Islamic Movement Discourse in Indonesia), Bandung: Mizan, 1995. Ketika Sejarah Menjadi Semiotika” (When History Became a Semiotic), Kompas,October 1st, 1996.


Kompas, 1 Oktober 1995.
Ketika Sejarah Menjadi Semiotika

Resensi: Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Mizan, Bandung, 1995), 335 halaman.

M
eski sudah cukup lama berkecimpung di bidang sejarah, baru kali ini Ahmad Mansur Suryanegara menerbitkan kumpulan tulisannya menjadi sebuah buku. Dalam bunga rampai ini dimuat 27 artikel yang ditulisnya sejak tahun 1975 sampai 1994. Dan untuk mempermudah pembaca, kumpulan tulisan itu dikelompokkan menjadi lima bagian, yakni: (1) Umat Islam dalam Problem Penulisan Sejarah; (2) Seputar Masuknya Islam ke Nusantara; (3) Masa-Masa Perlawanan Bersenjata terhadap Imperialis Barat; (4) Peranan Umat Islam dalam Kebangkitan Kesadaran Nasional; (5) Peranan Umat Islam dalam Mempertahankan Proklamasi.

Di kalangan sejarawan sendiri, Suryanegara dikenal sebagai seorang yang kontroversial. Salah satu pendapatnya yang kontroversial adalah tentang Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada artikelnya, “Upaya-upaya Depolitisasi Umat Islam Indonesia: Masa Penjajahan Belanda” (hlm. 235-253), ia menyatakan SDI didirikan H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Karena itu, dalam ceramahnya, ia kerapkali mengutarakan Hari Kebangkitan Nasional sepantasnya diperingati pada saat kelahiran SDI tahun 1905, bukan pada saat berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.  

Sesungguhnya, pernyataan tentang SDI itu mula-mula dipelopori Tamar Djaja dan telah dikoreksi ahli sejarah politik terkemuka di Indonesia, Deliar Noer. Dalam polemik panjang lebar antara Deliar Noer dan Tamar Djaja di harian Abadi pada Juli-September 1957, Deliar Noer menolak kesimpulan itu dengan mengajukan sejumlah bukti bahwa Sarekat Islam jelas-jelas didirikan pada 1911, bukan pada 1905. Secara ringkas, hasil penelitian Noer itu diutarakan dalam bukunya yang terkenal, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (1980: 117). Sedangkan Tamar Djaja sendiri tidak dapat mempertahankan argumentasinya. Dengan demikian, di mata para sejarawan, pernyataan itu dianggap tidak dapat digunakan lagi.

Yang juga tidak kalah kontroversial adalah kesimpulan Suryanegara tentang Faletehan atau Fatahillah, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Jawa Barat. Pada artikel “Masuk dan Meluasnya Agama Islam di Jawa Barat” (hlm. 95-102), ia menolak hasil penelitian Hoesein Djajadidingrat yang berkesimpulan Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang berbeda dari orang yang sama. Sebaliknya, ia berpendapat Sunan Gunung Jati bukanlah Fatahillah atau Faletehan. Nama yang disebut belakangan itu, menurutnya adalah tokoh yang dilahirkan di Pasal pada 1490, dan kemudian hari menjadi mantu Sunan Gunung Jati (hlm. 99-102). Tetapi untuk mendukung pendapat ini, pengajar sejarah di Universitas Pajajaran ini itu hanya mengambil data dari satu sumber saja, yakni kitab Carita Purwaka Caruban Nagari. Padahal kitab tersebut berupa babad. Jadi, bukan sumber sejarah yang dapat dipercayai kebenarannya.

Sesungguhnya, babad adalah karya “sastra bersejarah”, demikian istilah yang digunakan pakar sejarawan Sartono Kartodirdjo. Fakta-fakta yang ada di dalamnya seringkali dibesar-besarkan hingga sulit diterima akal sehat. Karena itu, ditinjau dari metodologi sejarah, menggunakan data semata-mata dari satu judul  babad, tidak dapat dibenarkan. Umumnya, para sejarawan menggunakan sumber lain yang ditulis sezaman untuk menguji kebenaran suatu fakta. Cara kerja seperti ini ditunjukkan dengan baik oleh sejarawan seior asal Belanda dan Prancis, H.H. de Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (1985).
Kemudian, pada artikel lainnya, “Fatahillah, Pembangunan Jayakarta” (hm. 119-128), Suryanegara melangkah lebih jauh lagi. Ia mengutarakan informasi yang belum pernah disampaikan sejarawan lainnya, yakni Fatahillah telah membuat Bendera Pusaka Jayakarta dengan motif Alquran. Namun demikian Suryanegara tidak menjelaskan sumber datanya hingga pembaca buku ini akan bertanya-tanya.

Umum diketahui, dalam penelitian sejarah ilmiah pencantuman sumber data sangat penting dilakukan. Dengan cara itulah peneliti lain dapat menelusuri dan menguji kebenaran data dan fakta yang digunakan seseorang. Dengan demikian, tanpa sumber data yang jelas, sulit bagi sejarawan lainnya mempercayai kebenaran suatu informasi.
*  *  *

Ide-ide kontroversial yang dilontarkan penulis buku ini, tampaknya merupakan konsekuensi logis keyakinannya, fakta sejarah memiliki muatan makna beragam. Dengan demikian, ia mencoba melakukan re-interpretasi suatu fakta untuk dituliskan ulang. Ia juga berusaha menampilkan pesan yang tersirat dari suatu fakta (hlm. 9). Namun sayang, usaha itu menyebabkannya lupa akan satu kriteria utama dalam metode penulisan sejarah, yakni kritik intern dan ekstern. Seperti contoh di atas, tidak jarang Suryanegara menerima fakta sejarah tanpa kritik.

Usaha Suryanegara menampilkan fakta-fakta tersirat dalam sejarah, justru menggiringnya mengesampingkan kriteria akademis dalam historiografi. Lantas, ia terperangkap membuat penafsiran sendiri terhadap fakta yang ada. Suatu tindakan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan seara ilmiah. Lagi pula, masalah tafsir-menafsir macam itu sudah tentu bukan “lahan garapan” ilmu sejarah, melainkan bidang studi semiotika.***

(Edi S. Joesoef, alumnus Jurusan Sejarah FSUI-Depok dan guru SMA Taman Islam, Bogor).  



No comments:

Post a Comment