Kompas, 1 Oktober 1995.
Ketika Sejarah
Menjadi Semiotika
Resensi:
Prof. Drs. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Mizan, Bandung, 1995), 335
halaman.
M
|
eski
sudah cukup lama berkecimpung di bidang sejarah, baru kali ini Ahmad Mansur
Suryanegara menerbitkan kumpulan tulisannya menjadi sebuah buku. Dalam bunga
rampai ini dimuat 27 artikel yang ditulisnya sejak tahun 1975 sampai 1994. Dan untuk
mempermudah pembaca, kumpulan tulisan itu dikelompokkan menjadi lima bagian,
yakni: (1) Umat Islam dalam Problem Penulisan Sejarah; (2) Seputar Masuknya
Islam ke Nusantara; (3) Masa-Masa Perlawanan Bersenjata terhadap Imperialis
Barat; (4) Peranan Umat Islam dalam Kebangkitan Kesadaran Nasional; (5) Peranan
Umat Islam dalam Mempertahankan Proklamasi.
Di kalangan sejarawan sendiri, Suryanegara dikenal
sebagai seorang yang kontroversial. Salah satu pendapatnya yang kontroversial
adalah tentang Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada artikelnya, “Upaya-upaya
Depolitisasi Umat Islam Indonesia: Masa Penjajahan Belanda” (hlm. 235-253), ia
menyatakan SDI didirikan H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Karena itu, dalam
ceramahnya, ia kerapkali mengutarakan Hari Kebangkitan Nasional sepantasnya
diperingati pada saat kelahiran SDI tahun 1905, bukan pada saat berdirinya
Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Sesungguhnya, pernyataan tentang SDI itu mula-mula
dipelopori Tamar Djaja dan telah dikoreksi ahli sejarah politik terkemuka di
Indonesia, Deliar Noer. Dalam polemik panjang lebar antara Deliar Noer dan
Tamar Djaja di harian Abadi pada
Juli-September 1957, Deliar Noer menolak kesimpulan itu dengan mengajukan
sejumlah bukti bahwa Sarekat Islam jelas-jelas didirikan pada 1911, bukan pada
1905. Secara ringkas, hasil penelitian Noer itu diutarakan dalam bukunya yang
terkenal, Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942 (1980: 117). Sedangkan Tamar Djaja sendiri tidak dapat
mempertahankan argumentasinya. Dengan demikian, di mata para sejarawan,
pernyataan itu dianggap tidak dapat digunakan lagi.
Yang juga tidak kalah kontroversial adalah kesimpulan
Suryanegara tentang Faletehan atau Fatahillah, seorang tokoh legendaris dalam
sejarah Jawa Barat. Pada artikel “Masuk dan Meluasnya Agama Islam di Jawa Barat”
(hlm. 95-102), ia menolak hasil penelitian Hoesein Djajadidingrat yang
berkesimpulan Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang
berbeda dari orang yang sama. Sebaliknya, ia berpendapat Sunan Gunung Jati
bukanlah Fatahillah atau Faletehan. Nama yang disebut belakangan itu,
menurutnya adalah tokoh yang dilahirkan di Pasal pada 1490, dan kemudian hari
menjadi mantu Sunan Gunung Jati (hlm. 99-102). Tetapi untuk mendukung pendapat
ini, pengajar sejarah di Universitas Pajajaran ini itu hanya mengambil data
dari satu sumber saja, yakni kitab Carita
Purwaka Caruban Nagari. Padahal kitab tersebut berupa babad. Jadi, bukan
sumber sejarah yang dapat dipercayai kebenarannya.
Sesungguhnya, babad adalah karya “sastra bersejarah”,
demikian istilah yang digunakan pakar sejarawan Sartono Kartodirdjo.
Fakta-fakta yang ada di dalamnya seringkali dibesar-besarkan hingga sulit
diterima akal sehat. Karena itu, ditinjau dari metodologi sejarah, menggunakan
data semata-mata dari satu judul babad,
tidak dapat dibenarkan. Umumnya, para sejarawan menggunakan sumber lain yang
ditulis sezaman untuk menguji kebenaran suatu fakta. Cara kerja seperti ini
ditunjukkan dengan baik oleh sejarawan seior asal Belanda dan Prancis, H.H. de
Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud dalam bukunya Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa (1985).
Kemudian, pada artikel lainnya, “Fatahillah,
Pembangunan Jayakarta” (hm. 119-128), Suryanegara melangkah lebih jauh lagi. Ia
mengutarakan informasi yang belum pernah disampaikan sejarawan lainnya, yakni
Fatahillah telah membuat Bendera Pusaka Jayakarta dengan motif Alquran. Namun demikian
Suryanegara tidak menjelaskan sumber datanya hingga pembaca buku ini akan
bertanya-tanya.
Umum diketahui, dalam penelitian sejarah ilmiah
pencantuman sumber data sangat penting dilakukan. Dengan cara itulah peneliti
lain dapat menelusuri dan menguji kebenaran data dan fakta yang digunakan
seseorang. Dengan demikian, tanpa sumber data yang jelas, sulit bagi sejarawan
lainnya mempercayai kebenaran suatu informasi.
* * *
Ide-ide kontroversial yang dilontarkan penulis buku
ini, tampaknya merupakan konsekuensi logis keyakinannya, fakta sejarah memiliki
muatan makna beragam. Dengan demikian, ia mencoba melakukan re-interpretasi
suatu fakta untuk dituliskan ulang. Ia juga berusaha menampilkan pesan yang
tersirat dari suatu fakta (hlm. 9). Namun sayang, usaha itu menyebabkannya lupa
akan satu kriteria utama dalam metode penulisan sejarah, yakni kritik intern
dan ekstern. Seperti contoh di atas, tidak jarang Suryanegara menerima fakta
sejarah tanpa kritik.
Usaha Suryanegara menampilkan fakta-fakta tersirat
dalam sejarah, justru menggiringnya mengesampingkan kriteria akademis dalam
historiografi. Lantas, ia terperangkap membuat penafsiran sendiri terhadap
fakta yang ada. Suatu tindakan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan seara
ilmiah. Lagi pula, masalah tafsir-menafsir macam itu sudah tentu bukan “lahan
garapan” ilmu sejarah, melainkan bidang studi semiotika.***
(Edi S.
Joesoef, alumnus Jurusan Sejarah FSUI-Depok dan guru SMA Taman Islam,
Bogor).
No comments:
Post a Comment