Suara Karya, 28 April 1995
Asal-usul Pesantren
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam Indonesia (Mizan,
Bandung: 1995); 382 hlm.
K
|
esimpulan Pigeaud dan
de Graaf (1967) bahwa pesantren telah berdiri sejak awal abad ke-16 mendapat
sanggahan keras dalam buku ini. Kedua peneliti senior itu berpendapat bahwa
pesantren adalah sebuah perkampungan bebas yang tempatnya jauh di pegunungan
dan berasal dari lembaga sejenis pada zaman sebelum Islam, yakni mandala dan asyrama.
Namun
Bruinessen menyuguhkan data bahwa pesantren tertua, yakni pesantren Tegalsari
sesungguhnya baru didirikan pada abad ke-18, tepatnya tahun 1742. Lagipula,
survei pertama Belanda mengenai pendidikan bumiputra pada tahun 1819, juga
memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya belum ada. Yang ada adalah
lembaga pendidikan mirip pesantren, dan dilaporkan terdapat di Priangan,
Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain, sama
sekali tidak terdapat lembaga pendidikan resmi, kecuali pendidikan informal di
rumah-rumah dan mesjid.
Sumber
sejarah tradisional juga memperkuat pendapat Bruinessen. Sebuah naskah tua, Serat Centini, menyinggung tentang “pesantren”
Karang di Banten. Dan seorang guru dari Karang, Seh Bari, disebutkan dalam Primbon Banyumas. Seorang peneliti
terkemuka dari Belanda, Drewes (1969) menduga bahwa Seh Bari itu adalah tokoh
yang nasihat-nasihatnya terdapat dalam Wejangan
Seh Bari, salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua yang ditulis sekitar
abad ke-16.
Sungguhpun
demikian, naskah-naskah tersebut sama sekali tidak menyebut kata pesantren. Naskah
Banyumas misalnya, hanya membicarakan seorang syaikh. Sedangkan Serat Centini, yang kadang-kadang
membicarakan “perguruan”, tidak menyebut pesantren, melainkan “paguron” atau “padepokan”.
Sedangkan sebuah kitab lainnya, Sejarah
Banten, yang disusun sekitar paruh pertama abad ke-17 tidak menyebut “paguron”
di Karang, maupun di tempat-tempat lainnya. Alih-alih menyatakan bahwa tempat
itu banyak didatangi oleh orang-orang yang ingin bertapa. Satu-satunya pengajaran
agama yang disebutkan dalam kitab itu adalah pendidikan pribadi putra mahkota
di tangan kiai dukuh dan qadhi
kesultanan.
Jadi,
pada abad 16-17 pesantren belum muncul. Yang ada adalah guru yang mengajarkan
agama Islam di mesjid atau istana, dan ahli tasawuf yang berpusat di
tempat-tempat pertapaan atau makam keramat (hlm. 24-25).
Banten dan Cirebon
Kesimpulan
menarik lain yang diajukan oleh peneliti kelahiran Schoonhoven tahun 1946 ini
berkenaan dengan kedudukan qadhi atau
paqih najmuddin (hakim tertinggi) di
Banten. Pada kerajaan Islam tersebut, qadhi
memainkan peran politik yang lebih menonjol dibandingkan para qadhi di berbagai kerajaan Islam lainnya
di Jawa Tengah. Di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, qadhi memainkan peranan kunci dalam intrik-intrik istana. Pada saat
terjadinya krisis suksesi pertama di Banten setelah wafatnya Maulana Yusuf
(1580), suara hakim tertinggi itu terbukti menentukan dalam pemilihan Maulana
Muhammad yang masih anak-anak sebagai pengganti.
Peran
serupa juga dimainkan setelah kematian Muhammad (1596). Atas dorongan patih, qadhi membawa Pangeran Abdul Qadir dan
memindahkan upacara kenegaraan ke mesjid. Lalu dengan suatu upacara singkat, ia
melantik raja yang masih anak-anak itu. Kemudian tugas pembibingan terhadap
raja diserahkan kepada Patih Mangkubumi, sedangkan qadhi berperan sebagai guru sang raja. Dari contoh-contoh di atas,
jelaslah bahwa qadhi tidak
semata-mata berperan sebagai pemberi pengesahan (legitimasi) kepada seorang
penguasa—suatu hal yang umum terjadi pada kerajaan muslim—tetapi juga merupakan
penentu raja (king maker) yang
sebenarnya (hlm. 247-253).
Sayang,
Bruinessen belum menelaah asal-usul aparat birokrasi qadhi atau pakih najmuddin
di Banten ke masa yang lebih awal pada birokrasi kerajaan Cirebon. Sebagaimana diketahui,
kerajaan Banten didirikan oleh raja Cirebon yang pertama, Sunan Gunung Jati
atau Nurullah Ibrahim. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa birokrasi Banten
meniru Cirebon. Kedudukan qadhi yang
khas di Banten misalnya, boleh jadi berasal dari sana. Sampai hari ini masih
ada beberapa desa di Cirebon, umpamanya Desa Timbang di dekat Kuningan, yang
menghormati dan mengagungkan makam eyang Bukhori bin Aqal, seorang tokoh yang
diyakini masyarakat sebagai qadhi
yang hidup pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.
Keterangan
semacam itu, yang disebut sebagai tradisi lisan, belum banyak diteliti. Padahal
sumber sejarah mengenai Cirebon sangat melimpah. Sekalipun masih banyak naskah
Cirebon yang belum didata, ditransliterasikan dan dianalisis isinya, usaha
menginventarisasikan naskah dari cikal bakal kerajaan Islam di Jawa Barat itu
pernah dilakukan oleh Titik Pudjiastuti, Maman S. Mahayana, dan Agus
Arismunandar dalam sebuah riset yang disponsori Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia.
Ternyata
naskah Cirebon jumlahnya sangat banyak, hampir 1000 buah, baik yang berada di
keraton maupun terserbar di masyarakat. Oleh sebab itu berbagai hal mengenai
kerajaan Islam Cirebon, termasuk kedudukan qadhi
atau pakih najmuddin, sedang menanti
tangan-tangan lain untuk diteliti.
Multidimensi
Kumpulan
tulisan Bruinessen di dalam buku ini mencakup berbagai topik, seperti tradisi
naik haji di Nusantara, pengaruh ulama Kurdi di Indonesia, dan perincian
mengenai kitab-kitab kuning yang digunakan di Indonesia dan Malaysia. Selain itu
berbagai aliran tarekat di negeri ini, serta kedudukan perempuan dalam kitab
kuning, juga dibahas. Luasnya ruang lingkup penelitian inilah yang menjadi
salah satu keunggulannya.
Bruinessen
juga menceriminkan figur seorang peneliti andal dari Belanda yang memiliki ciri
ketekunan, keuletan, dan ketelitian menelusuri berbagai sumber pengetahuan. Ia “membongkar-bongkar”
naskah-naskah tua Indonesia dan membandingkannya dengan sumber-sumber dari luar
negeri, apakah itu Belanda, Inggris, Arab, India, ataupun Turki. Ia berhasil
mengatasi kelangkaan informasi dan kerumitan untaian data yang senantiasa
muncul pada sumber sejarah tradisional macam itu. Tambahan lagi, penelti yang
mula-mula menamatkan sarjananya pada bidang matematika dan fisika di
Universitas Utrech 1971 itu menggunakan pendekatan multidimensional. Sehingga ia
mampu menemukan kesimpulan-kesimpulan baru mengenai seluk-beluk pesantren,
kitab kuning dan tarekat di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah berlebihan
kiranya bila dikatakan bahwa buku ini patut dibaca oleh berbagai kalangan
masyarakat, terutama pemerhati masalah sejarah, sosiologi, antropologi, dan
keislaman di Indonesia. *** (Edi
S. Joesoef)
No comments:
Post a Comment