Saturday, June 6, 2015

“Asal-usul Pesantren” (The Origin of Pesantren), Suara Karya, April 1995 Book review of Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisitradisi Islam Indonesia (The Yellow Book, Pesantren and Tarekat, Islamic Traditionsin Indonesia) Bandung: Mizan, 1995.


Suara Karya, 28 April 1995
Asal-usul Pesantren

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam Indonesia (Mizan, Bandung: 1995); 382 hlm.

K
esimpulan Pigeaud dan de Graaf (1967) bahwa pesantren telah berdiri sejak awal abad ke-16 mendapat sanggahan keras dalam buku ini. Kedua peneliti senior itu berpendapat bahwa pesantren adalah sebuah perkampungan bebas yang tempatnya jauh di pegunungan dan berasal dari lembaga sejenis pada zaman sebelum Islam, yakni mandala dan asyrama.
Namun Bruinessen menyuguhkan data bahwa pesantren tertua, yakni pesantren Tegalsari sesungguhnya baru didirikan pada abad ke-18, tepatnya tahun 1742. Lagipula, survei pertama Belanda mengenai pendidikan bumiputra pada tahun 1819, juga memberikan kesan bahwa pesantren yang sebenarnya belum ada. Yang ada adalah lembaga pendidikan mirip pesantren, dan dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Di daerah lain, sama sekali tidak terdapat lembaga pendidikan resmi, kecuali pendidikan informal di rumah-rumah dan mesjid.
Sumber sejarah tradisional juga memperkuat pendapat Bruinessen. Sebuah naskah tua, Serat Centini, menyinggung tentang “pesantren” Karang di Banten. Dan seorang guru dari Karang, Seh Bari, disebutkan dalam Primbon Banyumas. Seorang peneliti terkemuka dari Belanda, Drewes (1969) menduga bahwa Seh Bari itu adalah tokoh yang nasihat-nasihatnya terdapat dalam Wejangan Seh Bari, salah satu dari dua naskah Islam Jawa tertua yang ditulis sekitar abad ke-16.
Sungguhpun demikian, naskah-naskah tersebut sama sekali tidak menyebut kata pesantren. Naskah Banyumas misalnya, hanya membicarakan seorang syaikh. Sedangkan Serat Centini, yang kadang-kadang membicarakan “perguruan”, tidak menyebut pesantren, melainkan “paguron” atau “padepokan”. Sedangkan sebuah kitab lainnya, Sejarah Banten, yang disusun sekitar paruh pertama abad ke-17 tidak menyebut “paguron” di Karang, maupun di tempat-tempat lainnya. Alih-alih menyatakan bahwa tempat itu banyak didatangi oleh orang-orang yang ingin bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan dalam kitab itu adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan kiai dukuh dan qadhi kesultanan.
Jadi, pada abad 16-17 pesantren belum muncul. Yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di mesjid atau istana, dan ahli tasawuf yang berpusat di tempat-tempat pertapaan atau makam keramat (hlm. 24-25).
Banten dan Cirebon
Kesimpulan menarik lain yang diajukan oleh peneliti kelahiran Schoonhoven tahun 1946 ini berkenaan dengan kedudukan qadhi atau paqih najmuddin (hakim tertinggi) di Banten. Pada kerajaan Islam tersebut, qadhi memainkan peran politik yang lebih menonjol dibandingkan para qadhi di berbagai kerajaan Islam lainnya di Jawa Tengah. Di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, qadhi memainkan peranan kunci dalam intrik-intrik istana. Pada saat terjadinya krisis suksesi pertama di Banten setelah wafatnya Maulana Yusuf (1580), suara hakim tertinggi itu terbukti menentukan dalam pemilihan Maulana Muhammad yang masih anak-anak sebagai pengganti.
Peran serupa juga dimainkan setelah kematian Muhammad (1596). Atas dorongan patih, qadhi membawa Pangeran Abdul Qadir dan memindahkan upacara kenegaraan ke mesjid. Lalu dengan suatu upacara singkat, ia melantik raja yang masih anak-anak itu. Kemudian tugas pembibingan terhadap raja diserahkan kepada Patih Mangkubumi, sedangkan qadhi berperan sebagai guru sang raja. Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa qadhi tidak semata-mata berperan sebagai pemberi pengesahan (legitimasi) kepada seorang penguasa—suatu hal yang umum terjadi pada kerajaan muslim—tetapi juga merupakan penentu raja (king maker) yang sebenarnya (hlm. 247-253).
Sayang, Bruinessen belum menelaah asal-usul aparat birokrasi qadhi atau pakih najmuddin di Banten ke masa yang lebih awal pada birokrasi kerajaan Cirebon. Sebagaimana diketahui, kerajaan Banten didirikan oleh raja Cirebon yang pertama, Sunan Gunung Jati atau Nurullah Ibrahim. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa birokrasi Banten meniru Cirebon. Kedudukan qadhi yang khas di Banten misalnya, boleh jadi berasal dari sana. Sampai hari ini masih ada beberapa desa di Cirebon, umpamanya Desa Timbang di dekat Kuningan, yang menghormati dan mengagungkan makam eyang Bukhori bin Aqal, seorang tokoh yang diyakini masyarakat sebagai qadhi yang hidup pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati.  
Keterangan semacam itu, yang disebut sebagai tradisi lisan, belum banyak diteliti. Padahal sumber sejarah mengenai Cirebon sangat melimpah. Sekalipun masih banyak naskah Cirebon yang belum didata, ditransliterasikan dan dianalisis isinya, usaha menginventarisasikan naskah dari cikal bakal kerajaan Islam di Jawa Barat itu pernah dilakukan oleh Titik Pudjiastuti, Maman S. Mahayana, dan Agus Arismunandar dalam sebuah riset yang disponsori Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Ternyata naskah Cirebon jumlahnya sangat banyak, hampir 1000 buah, baik yang berada di keraton maupun terserbar di masyarakat. Oleh sebab itu berbagai hal mengenai kerajaan Islam Cirebon, termasuk kedudukan qadhi atau pakih najmuddin, sedang menanti tangan-tangan lain untuk diteliti.
Multidimensi
Kumpulan tulisan Bruinessen di dalam buku ini mencakup berbagai topik, seperti tradisi naik haji di Nusantara, pengaruh ulama Kurdi di Indonesia, dan perincian mengenai kitab-kitab kuning yang digunakan di Indonesia dan Malaysia. Selain itu berbagai aliran tarekat di negeri ini, serta kedudukan perempuan dalam kitab kuning, juga dibahas. Luasnya ruang lingkup penelitian inilah yang menjadi salah satu keunggulannya.
Bruinessen juga menceriminkan figur seorang peneliti andal dari Belanda yang memiliki ciri ketekunan, keuletan, dan ketelitian menelusuri berbagai sumber pengetahuan. Ia “membongkar-bongkar” naskah-naskah tua Indonesia dan membandingkannya dengan sumber-sumber dari luar negeri, apakah itu Belanda, Inggris, Arab, India, ataupun Turki. Ia berhasil mengatasi kelangkaan informasi dan kerumitan untaian data yang senantiasa muncul pada sumber sejarah tradisional macam itu. Tambahan lagi, penelti yang mula-mula menamatkan sarjananya pada bidang matematika dan fisika di Universitas Utrech 1971 itu menggunakan pendekatan multidimensional. Sehingga ia mampu menemukan kesimpulan-kesimpulan baru mengenai seluk-beluk pesantren, kitab kuning dan tarekat di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa buku ini patut dibaca oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama pemerhati masalah sejarah, sosiologi, antropologi, dan keislaman di Indonesia. ***  (Edi S. Joesoef)



No comments:

Post a Comment