Subject: IN: RPK - Penjara bagi Tokoh Islam di Orde Lama
PENJARA BAGI TOKOH ISLAM: PENGALAMAN DI ZAMAN ORDE LAMA
Oleh Edi Sudarjat
Menjelang
akhir masa Orde Lama (Orla), tidak sedikit tokoh Islam yang
dipenjara tanpa alasan dan tanpa pengadilan. Pengalaman pahit ini
dialami almarhum Hamka, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Mohammad Roem,
Prawoto Mangkusesmito, K.H. M. Isan Ashary, K.H. E.Z. Muttaqien, K.H.
Sholeh Iskandar dan Ghazali Syahlan; sekadar menyebut nama mereka.
dipenjara tanpa alasan dan tanpa pengadilan. Pengalaman pahit ini
dialami almarhum Hamka, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Mohammad Roem,
Prawoto Mangkusesmito, K.H. M. Isan Ashary, K.H. E.Z. Muttaqien, K.H.
Sholeh Iskandar dan Ghazali Syahlan; sekadar menyebut nama mereka.
Selayaknya
orang penjara, berbagai perlakuan tidak pantas dan tidak
manusiawi, mau tidak mau harus mereka terima. Kepedihan mereka seolah
disuarakan oleh almarhum Soemarso Soemarsono, dalam kata pengantar
bukunya Pengalaman dari Tiga Pendjara (1971).
manusiawi, mau tidak mau harus mereka terima. Kepedihan mereka seolah
disuarakan oleh almarhum Soemarso Soemarsono, dalam kata pengantar
bukunya Pengalaman dari Tiga Pendjara (1971).
Aktivis Gerakan
Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang sempat mendekam
tiga tahun lebih (1963-1966) dalam penjara itu menyatakan:
tiga tahun lebih (1963-1966) dalam penjara itu menyatakan:
"Penjara merupakan
perkataan yang tidak sedap didengar, sebab selalu
dihubungkan dengan dosa dan kejahatan. Tetapi suatu waktu orang
baik-baik, tanpa dosa dan bahkan tanpa berbuat sesuatu apa pun yang
mengganggu orang lain; dijebloskan juga dalam penjara. Orang-orang ini
diperlakukan di luar hukum, tanpa keadilan, dan bahkan dirampas
hak-haknya yang azasi. Mereka itulah orang-orang politik,
manusia-manusia pejuang yang sering tidak punya apa-apa, kecuali
keyakinan pendirian politiknya. Dan akhirnya, kekayaan yang
satu-satunya itu pulalah yang tidak bisa lagi dirampas dan
dihilangkan, walaupun dipenjara!"
dihubungkan dengan dosa dan kejahatan. Tetapi suatu waktu orang
baik-baik, tanpa dosa dan bahkan tanpa berbuat sesuatu apa pun yang
mengganggu orang lain; dijebloskan juga dalam penjara. Orang-orang ini
diperlakukan di luar hukum, tanpa keadilan, dan bahkan dirampas
hak-haknya yang azasi. Mereka itulah orang-orang politik,
manusia-manusia pejuang yang sering tidak punya apa-apa, kecuali
keyakinan pendirian politiknya. Dan akhirnya, kekayaan yang
satu-satunya itu pulalah yang tidak bisa lagi dirampas dan
dihilangkan, walaupun dipenjara!"
Berkaitan dengan
itulah, di bawah ini akan
dipaparkan secara ringkas penahanan dan pemenjaraan yang dialami oleh Hamka,
Kasman Singodimejo dan Soemarso Soemarsono.
Pengalaman Hamka
Hampir semua
tokoh Islam tersebut dipenjara karena tuduhan palsu. Hamka misalnya, ditangkap
di Jakarta, 27 Januari 1964. Ia dituduh mengadakan
rapat gelap di Tangerang pada 1 Oktober 1963. Tampaknya, penangkapan ini merupakan puncak
serangan terhadap Hamka. Karena sejak 5
Oktober 1962, lembaran kebudayaan Lentera pada harian Bintang Timur, yang
dipimpin Pramoedya Ananta Toer dan S. Rukiah, secara bersambung menurunkan tulisan
berjudul "Aku Mendakwa Hamka Plagiat!" Novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, ditelanjangi habis-habisan dan dituduh sebagai jiplakan
terang-terangan dari karya pengarang Mesir, Lutfi
Al-Manfalutfi (1876-1924).
Serangan yang
berlangsung berbulan-bulan dengan bahasa sangat kasar
dan sama sekali tidak pantas itu, kemudian meningkat menjadi fitnah terhadap pribadi Hamka dan keluarganya. Belakangan hari, ia malah dituduh berkomplot akan membunuh Presiden Sukarno dan Menteri Agama (DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: 40).
dan sama sekali tidak pantas itu, kemudian meningkat menjadi fitnah terhadap pribadi Hamka dan keluarganya. Belakangan hari, ia malah dituduh berkomplot akan membunuh Presiden Sukarno dan Menteri Agama (DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: 40).
Ulama terkemuka
ini lalu ditahan di bungalow di daerah Puncak selama
empat hari. Sementara di bungalow lain yang tidak terlalu jauh
jaraknya, Mr. Kasman Singodimejo telah ditahan dua bulan lamanya.
Kedua tokoh Islam itu lantas dibawa ke kompleks kepolisian di
Sukabumi. Di tempat ini, Hamka diinterogasi secara bergantian oleh 20
orang pemeriksa yang bersikap kasar. Mereka memaki dan mencerca.
Kadang Hamka ditelanjangi sampai tinggal celana kolornya saja
dan --seperti yang sering diceritakannya kepada Deliar Noer -- tangannya
disundut rokok. Tangan yang biasanya menghasilkan kitab tasauf,
sejarah, politik, dan pendidikan itu, seolah berubah fungsinya menjadi
asbak.
empat hari. Sementara di bungalow lain yang tidak terlalu jauh
jaraknya, Mr. Kasman Singodimejo telah ditahan dua bulan lamanya.
Kedua tokoh Islam itu lantas dibawa ke kompleks kepolisian di
Sukabumi. Di tempat ini, Hamka diinterogasi secara bergantian oleh 20
orang pemeriksa yang bersikap kasar. Mereka memaki dan mencerca.
Kadang Hamka ditelanjangi sampai tinggal celana kolornya saja
dan --seperti yang sering diceritakannya kepada Deliar Noer -- tangannya
disundut rokok. Tangan yang biasanya menghasilkan kitab tasauf,
sejarah, politik, dan pendidikan itu, seolah berubah fungsinya menjadi
asbak.
Hamka
mula-mula bertahan menolak semua tuduhan palsu itu, namun ia
takut juga melihat kebengisan tim pemeriksa. Atas nasihat Letkol
Nasuhi --yang juga ditahan di sana dan berkali-kali dipukuli serta
disiksa dengan listrik--Hamka terpaksa mengakui apa saja yang
dituduhkan kepadanya, kendati ia bermaksud mencabut kembali semua
pengakuannya bila dihadapkan ke muka pengadilan nanti. Pernah juga
terpikir oleh Hamka, ia akan mencabut pengakuannya sebelum sampai ke
meja hijau. Tetapi, tim pemeriksa menyatakan bahwa bila ia berani
berbuat demikian, ia akan berhadapan dengan tim yang lebih kejam lagi.
takut juga melihat kebengisan tim pemeriksa. Atas nasihat Letkol
Nasuhi --yang juga ditahan di sana dan berkali-kali dipukuli serta
disiksa dengan listrik--Hamka terpaksa mengakui apa saja yang
dituduhkan kepadanya, kendati ia bermaksud mencabut kembali semua
pengakuannya bila dihadapkan ke muka pengadilan nanti. Pernah juga
terpikir oleh Hamka, ia akan mencabut pengakuannya sebelum sampai ke
meja hijau. Tetapi, tim pemeriksa menyatakan bahwa bila ia berani
berbuat demikian, ia akan berhadapan dengan tim yang lebih kejam lagi.
Dari Sukabumi,
Hamka dipindahkan ke pos polisi Cimacan, pada 8 April
1964. Dua hari berikutnya, ia dibawa ke sebuah villa di Puncak. Di
sini ia diintegroasi tentang kepergiannya ke Pontianak pada 31 Agustus
1963, berikut isi kuliah yang disampaikannya di IAIN Ciputat, Jakarta.
Padahal, ulama yang dianugrahi gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar itu, pergi ke Pontianak karena ada kegiatan
konperensi Muhammadiyah dan atas undangan majelis Islam setempat
(Deliar Noer, 1987:418).
1964. Dua hari berikutnya, ia dibawa ke sebuah villa di Puncak. Di
sini ia diintegroasi tentang kepergiannya ke Pontianak pada 31 Agustus
1963, berikut isi kuliah yang disampaikannya di IAIN Ciputat, Jakarta.
Padahal, ulama yang dianugrahi gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar itu, pergi ke Pontianak karena ada kegiatan
konperensi Muhammadiyah dan atas undangan majelis Islam setempat
(Deliar Noer, 1987:418).
Setelah ditahan
di Puncak selama dua bulan, Hamka dipindahkan ke
peristirahatan Brimob di Megamendung. Saat itulah penyakit ambeiennya
kambuh, hingga sejak 20 Agustus 1964, ia dirawat di RS. Persahabatan,
Rawamangun, Jakarta. Ulama kelahiran Maninjau 17 Februari 1908 ini
dirawat oleh dokter yang bersimpati kepadanya. Sang dokter inilah yang
menyatakan pada pihak berwenang bahwa Hamka memerlukan perawatan
lanjutan sampai 21 Januari 1966, kendati ia sebenarnya telah sembuh
(H. Rusydi Hamka, 1981: 109-234).
peristirahatan Brimob di Megamendung. Saat itulah penyakit ambeiennya
kambuh, hingga sejak 20 Agustus 1964, ia dirawat di RS. Persahabatan,
Rawamangun, Jakarta. Ulama kelahiran Maninjau 17 Februari 1908 ini
dirawat oleh dokter yang bersimpati kepadanya. Sang dokter inilah yang
menyatakan pada pihak berwenang bahwa Hamka memerlukan perawatan
lanjutan sampai 21 Januari 1966, kendati ia sebenarnya telah sembuh
(H. Rusydi Hamka, 1981: 109-234).
Pengalaman Mr. Kasman Singodimejo
Sebagai Jaksa Agung pertama RI, penahanan terhadap Kasman terasa cukup aneh. Mula-mula ia hanya mendapat panggilan untuk menghadap Komandan Korps Intelejen, di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya pada 9 November 2963. Dengan tenang, datanglah ia memenuhi panggilan itu. Ternyata, ia langsung ditahan di Jl. Darmawangsa VI No. 12, Kebayoran Baru, Jakarta.
Di dalam bukunya,
Renungan dari Tahanan (1967: 26), Kasman mengenang pengalaman buruk
ini, katanya:
".... aku tidak membawa apa-apa (sebagai persiapan dalam
penjara), sehingga dalam waktu 50 jam aku mandi,
aku tidur, buang air dan sembahyang hanya dengan pakaian itu-itu juga yang telah melekat
pada badanku. Mau tak mau aku teringat pada
waktu ditangkap dan ditahan oleh imperialis kolonialis Belanda bulan Mei 1940.
Caranya sama! Oh, nasib!"
Mantan Ketua
Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) ini, lalu dipindahkan ke Ciloto, Kabupaten Cianjur,
pada 16 November 1963. Dari sini, ia dibawa ke kompleks sekolah kepolisian Sukabumi,
bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan.
Pemerintah Orla menuduh Kasman bersalah, karena melanggar pasal 169 KUHP ayat 1,2 dan 3 yaitu:
"turut serta dalam perkumpulan atau
perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam
hukuman penjara setinggi-tingginya enam
tahun."
Dalam pemeriksaan di tempat ini, Kasman diancam, dihina, diejek dan pernah disiksa sampai jatuh pingsan. Namun, ia berhasil menolak tuduhan para pemeriksa dan membuktikan bahwa saksi yang diajukan untuk memberatkan tuduhan kepadanya itu keliru.
Dalam pemeriksaan di tempat ini, Kasman diancam, dihina, diejek dan pernah disiksa sampai jatuh pingsan. Namun, ia berhasil menolak tuduhan para pemeriksa dan membuktikan bahwa saksi yang diajukan untuk memberatkan tuduhan kepadanya itu keliru.
Sungguhpun
demikian, tokoh yang pernah menjadi Menteri Muda Kehakiman tahun 1947 ini tetap ditahan. Ia
lalu menyanggah tim pemeriksa dan mengatakan
bahwa cara kerja mereka yang kejam itu tidak sah. Pada puncak kemarahannya, Kasman
sampai-sampai berdiri dan berteriak-teriak.
Ia menyatakan tidak mau dipaksa-paksa untuk berdosa kepada Allah
untuk menyatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Sambil menjerit ia berkata," ...silakan
cabut pistol Tuan-tuan dan tembaklah aku! Percuma aku hidup dan dihina
begini macam! Aku lebih takut kepada Allah
daripada kepada Tuan-tuan! Silakan tembak! Tembak! Tembak!"
Kasman memang
pemberani.
Sejak muda ia menjadi aktivis pergerakan nasional. Lagipula, pengalaman kemiliterannya pun cukup. Ia sempat menjadi komandan Batalyon PETA di Jakarta, bahkan melatih Bung Karno dan Bung Hatta dalam bidang militer. Tidak heran bila salah seorang pendiri TNI, Jendral (Purn) Abdul Haris Nasution menyatakan, "Di waktu proklamasi adalah lazim bagi kami di kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, saat itu Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan."
Sejak muda ia menjadi aktivis pergerakan nasional. Lagipula, pengalaman kemiliterannya pun cukup. Ia sempat menjadi komandan Batalyon PETA di Jakarta, bahkan melatih Bung Karno dan Bung Hatta dalam bidang militer. Tidak heran bila salah seorang pendiri TNI, Jendral (Purn) Abdul Haris Nasution menyatakan, "Di waktu proklamasi adalah lazim bagi kami di kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, saat itu Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan."
Rupanya, tim
pemeriksa gagal memaksakan tuduhan
tersebut, hingga Kasman dipindahkan ke penjara Bogor. Di kota hujan
inilah ia dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek,
bersama-sama dengan. K.H. Sholeh Iskandar. Tuduhan ini
dibesar-besarkan oleh sebuah harian milik kelompok kiri, Warta Bogor,
yang sekaligus menuduhnya sebagian Ketua Kelompok Empat yang berniat
membunuh presiden. Tidak ketinggalan, Kasman juga dituduh
menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak
orang untuk memusuhi pemerintahan Sukarno. Karena itu, ia dituduh
melanggar Penetapan Presiden No. 11/1963 dan No. 5/1963. Lantas
turunlah vonis pengadilan pada 14 Agustus 1964, Kasman dihukum penjara
selama 8 tahun.
tersebut, hingga Kasman dipindahkan ke penjara Bogor. Di kota hujan
inilah ia dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek,
bersama-sama dengan. K.H. Sholeh Iskandar. Tuduhan ini
dibesar-besarkan oleh sebuah harian milik kelompok kiri, Warta Bogor,
yang sekaligus menuduhnya sebagian Ketua Kelompok Empat yang berniat
membunuh presiden. Tidak ketinggalan, Kasman juga dituduh
menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak
orang untuk memusuhi pemerintahan Sukarno. Karena itu, ia dituduh
melanggar Penetapan Presiden No. 11/1963 dan No. 5/1963. Lantas
turunlah vonis pengadilan pada 14 Agustus 1964, Kasman dihukum penjara
selama 8 tahun.
Suatu hal yang
menyedihkan adalah ketika mantan Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah ini menghadapi hari-hari berat pada sidang-sidang di
Pengadilan Negeri Bogor, berbagai pihak mengirimkan surat dan kawat
kepada pengadilan itu agar menghukum Kasman dengan berat. Termasuk di
antaranya adalah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI),
Sulastomo, yang mendesak agar "terdakwa Kasman Singodimedjo dijatuhi
hukuman seberat-beratnya, karena jelas tindakan-tindakan terdakwa
bersifat kontra revolusi," (Deliar Noer, 1987:420).
Muhammadiyah ini menghadapi hari-hari berat pada sidang-sidang di
Pengadilan Negeri Bogor, berbagai pihak mengirimkan surat dan kawat
kepada pengadilan itu agar menghukum Kasman dengan berat. Termasuk di
antaranya adalah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI),
Sulastomo, yang mendesak agar "terdakwa Kasman Singodimedjo dijatuhi
hukuman seberat-beratnya, karena jelas tindakan-tindakan terdakwa
bersifat kontra revolusi," (Deliar Noer, 1987:420).
Terhadap
keputusan pengadilan itu Kasman tidak menyerah, ia memutuskan untuk naik banding. Lantas, pengadilan
memutuskan hukuman penjara selama
2 tahun 6 bulan. Dengan perincian "kesalahan" sebagai berikut: 2 tahun 5 bulan untuk
kegiatan politik tidak sah; dan 1 bulan untuk mengadakan rapat tanpa izin. Begitulah vonis Pengadilan Tinggi pada 13
April 1966, di saat rezim Sukarno tidak berkuasa lagi. Akhirnya Kasman mendekam di penjara untuk menjalani seluruh hukuman tersebut, karena permohonan kasasinya ditolak.
April 1966, di saat rezim Sukarno tidak berkuasa lagi. Akhirnya Kasman mendekam di penjara untuk menjalani seluruh hukuman tersebut, karena permohonan kasasinya ditolak.
Pengalaman Soemarso Soemarsono
Sekalipun
Soemarsono berstatus sebagai wartawan harian Abadi dan
mahasiswa Universitas Indonesia, namun para petugas yang
"menjemputnya" di Surabaya, 9 Desember 1963, sama sekali tidak peduli.
Ia dijebloskan ke penjara Kalisosok yang terkenal itu dan ditempatkan
bersama para pencuri serta penipu dalam sel yang beratap jari-jari
besi.
Mengenai sel ini, ia bercerita,"... dari dalam (sel) saya dapat
melihat langit. Di waktu siang sinar matahari masuk dan di waktu malam
cahaya bintang tampak berkedipan di atas. Kenangan saya tak terlepas
juga mengingat kurungan beruang yang ada di Kebun Binatang Wonokromo."
mahasiswa Universitas Indonesia, namun para petugas yang
"menjemputnya" di Surabaya, 9 Desember 1963, sama sekali tidak peduli.
Ia dijebloskan ke penjara Kalisosok yang terkenal itu dan ditempatkan
bersama para pencuri serta penipu dalam sel yang beratap jari-jari
besi.
Mengenai sel ini, ia bercerita,"... dari dalam (sel) saya dapat
melihat langit. Di waktu siang sinar matahari masuk dan di waktu malam
cahaya bintang tampak berkedipan di atas. Kenangan saya tak terlepas
juga mengingat kurungan beruang yang ada di Kebun Binatang Wonokromo."
Selayaknya
"kandang beruang," maka: "Kalau malam hari, coco dan kecoak pada keluar dari
lubangnya, seperti berpesiar dan berdansa-dansa layaknya. Biasanya saja jijik dengan binatang itu. Tetapi
sekarang rasanya seperti berteman saja (1971:6)."
Kemudian, ia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta. Ternyata, di tempat itu cukup banyak anggota Masyumi yang ditahan, hingga di antara sesama tahanan sering tercetus kelakar bahwa RTM itu kepanjangannya adalah Rumah Tahanan Masyumi. Di tempat inilah ia bertemu dengan Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, K.H. Sholeh Iskandar, Ventje Sumual dan Dolf Runturambi.
Kemudian, ia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta. Ternyata, di tempat itu cukup banyak anggota Masyumi yang ditahan, hingga di antara sesama tahanan sering tercetus kelakar bahwa RTM itu kepanjangannya adalah Rumah Tahanan Masyumi. Di tempat inilah ia bertemu dengan Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, K.H. Sholeh Iskandar, Ventje Sumual dan Dolf Runturambi.
Awalnya, Soemarsono ditempatkan di sel
yang gelap dan lembap. Ia harus bertayamum
dengan debu di dinding, karena tidak disediakan air. Malah untuk buang air
kecil, ia harus "mencurahkannya" di dekat pintu.
Saat itu, secara
resmi ia didakwa melakukan kegiatan subversif yang
membahayakan keamanan dan keselamatan negara. Secara tidak resmi, ia
didesas-desuskan akan menggranat Presiden Sukarno. Tidak heran bila ia
diperiksa terus menerus selama dua bulan dan diisolasi dari tahanan
lain dalam ruangan kosong: tidak berbangku, berkursi, maupun berbalai.
Mau tak mau, ia duduk dan di tidur di lantai yang dingin, hingga
kerapkali masuk angin dan perut kembung. Pada hari Idul Fitri pun
keluarganya tidak diperkenankan menengok.
membahayakan keamanan dan keselamatan negara. Secara tidak resmi, ia
didesas-desuskan akan menggranat Presiden Sukarno. Tidak heran bila ia
diperiksa terus menerus selama dua bulan dan diisolasi dari tahanan
lain dalam ruangan kosong: tidak berbangku, berkursi, maupun berbalai.
Mau tak mau, ia duduk dan di tidur di lantai yang dingin, hingga
kerapkali masuk angin dan perut kembung. Pada hari Idul Fitri pun
keluarganya tidak diperkenankan menengok.
Suatu
ketika, Somarsono sakit. Ia dibawa ke rumah sakit untuk operasi
bahu. Sebagai tahanan istimewa, ia ditempatkan di blok khusus yang
dilingkungi tembok berkawat duri, dengan satu pintu kecil untuk keluar
masuk dan dijaga oleh 4-6 tentara bersenjata lengkap. Tak ada orang
yang ingin menjenguk, karena ruangan itu khusus untuk orang gila!
"Masya Allah. Di alam bebas saja, dalam keadaan normal, saya sulit
berdekatan dengan orang gila.... Tetapi, kini saya seorang diri dalam
keadaan sakit, ditempatkan justru di tengah-tengah orang gila, yang
kira-kira berjumlah 40 orang," demikianlah ungkap Soemarsono
(1971:1984).
Wajarlah bila ia sangat gembira ketika dipulangkan ke
RTM. "Kali ini memasuki penjara rasanya seperti memasuki suatu gedung
yang indah dalam suasana yang menyenangkan; seperti datang di sebuah
hotel yang gratis," kenang Soemarsono.
bahu. Sebagai tahanan istimewa, ia ditempatkan di blok khusus yang
dilingkungi tembok berkawat duri, dengan satu pintu kecil untuk keluar
masuk dan dijaga oleh 4-6 tentara bersenjata lengkap. Tak ada orang
yang ingin menjenguk, karena ruangan itu khusus untuk orang gila!
"Masya Allah. Di alam bebas saja, dalam keadaan normal, saya sulit
berdekatan dengan orang gila.... Tetapi, kini saya seorang diri dalam
keadaan sakit, ditempatkan justru di tengah-tengah orang gila, yang
kira-kira berjumlah 40 orang," demikianlah ungkap Soemarsono
(1971:1984).
Wajarlah bila ia sangat gembira ketika dipulangkan ke
RTM. "Kali ini memasuki penjara rasanya seperti memasuki suatu gedung
yang indah dalam suasana yang menyenangkan; seperti datang di sebuah
hotel yang gratis," kenang Soemarsono.
Namun penderitaan aktivis GPII ini belum berakhir. Di saat pergantian
kekuasaan dari Orla menuju Orde Baru (Orba), ia dipindahkan lagi ke
Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Keadaan ini tentu saja sangat
memilukannya, karena yang ditahan dalam penjara itu sebenarnya
hanyalah orang-orang yang terlibat dalam G.30.S/PKI. Padahal, sejak
awal orang-orang GPII berusaha membendung dan melawan PKI, namun kini
mereka sama-sama bertemu sebagai tahanan.
Walaupun di dalam penjara, para kader PKI itu tetap berhasrat
"mengganyang" lawan-lawannya. Kelompok Islam yang datang dari RTM,
kerapkali mereka teror. Sambil berlari-lari, berteriak-teriak tak
karuan, mereka datang bergerombol ke blok tahanan RTM. Lantas,
pintu-pintu kamar dipukuli, digoyang-goyang seperti memaksa membuka
pintu. Lagipula, mereka membawa tongkat pemukul dari kayu atau besi.
Tentang RTC ini, Soemarsono menuturkan, "Pada waktu itu rasanya
menyeramkan sekali.... Kami 30 orang dari RTM, berada di tengah-tengah
pengalaman saya di Salemba ini lebih neraka lagi. Dari segi fisik dan
mental kami benar-benar disiksa (1971:165)."
Perubahan nasib bagi Soemarsono akhirnya datang juga. Ia dipindahkan
ke rumah tahanan Kejaksaan Agung di gang Keagungan, Jakarta. Di tempat inilah ia
bertemu lagi "rekan-rekan sejawatnya" dari RTM. Kemudian, dengan
berubahnya iklim politik, ditambah lagi usaha keras dari Lembaga
Pembela Hak-Hak Azasi Manusia, yang anggotanya antara lain adalah:
Aisjah Amini, Anwar Harjono dan Harjono Tjitrosubono, ia dibebaskan
pada 16 Juni 1966.
Beberapa catatan tertinggal
Dari pengalaman
para tokoh Islam yang dipenjara, terdapat beberapa hal
yang patut kita catat:Pertama, sekalipun mereka dipenjara tanpa alasan
selama bertahun-tahun, namun mereka tidak pernah mendendam kepada
pemerintah Sukarno. Alih-alih, mereka senantiasa memaafkan "dosa-dosa
Sang Pemimpin Besar Revolusi" itu. Hamka misalnya, berulangkali
menyatakan bahwa ia tidak punya rasa dendam. Bahkan, sambil berkelakar
ia berkata, "Alhamdulillah saya ditahan, sehingga dapat menyelesaikan
tafsir Al-Azhar." Sedangkan Mohammad Roem --yang juga sempat
dipenjara oleh rezim Sukarno-- malah mati-matian membela Sang
Proklamator itu, ketika terjadi perdebatan mengenai "Surat-surat
Sukamiskin" pada 1981.
yang patut kita catat:Pertama, sekalipun mereka dipenjara tanpa alasan
selama bertahun-tahun, namun mereka tidak pernah mendendam kepada
pemerintah Sukarno. Alih-alih, mereka senantiasa memaafkan "dosa-dosa
Sang Pemimpin Besar Revolusi" itu. Hamka misalnya, berulangkali
menyatakan bahwa ia tidak punya rasa dendam. Bahkan, sambil berkelakar
ia berkata, "Alhamdulillah saya ditahan, sehingga dapat menyelesaikan
tafsir Al-Azhar." Sedangkan Mohammad Roem --yang juga sempat
dipenjara oleh rezim Sukarno-- malah mati-matian membela Sang
Proklamator itu, ketika terjadi perdebatan mengenai "Surat-surat
Sukamiskin" pada 1981.
Di samping itu,
dalam buku-buku yang mereka tulis -- seperti yang
tercantum pada bagian berikut -- tidak tergambar perasaan murka,
apalagi kutukan. Alih-alih, mereka selalu berusaha mendapatkan hikmah
dari peristiwa pahit itu. Boleh jadi, demikianlah sikap seseorang yang
beriman kepada Allah. Berbeda hanya dengan tokoh-tokoh golongan kiri,
yang dipenjara akibat peristiwa G.30.S/PKI. Rasa marah dan dendam
mereka, jelas tampak pada buku yang mereka tulis. Buku Pramudya Ananta
Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), merupakan contoh yang baik
mengenai hal ini.
tercantum pada bagian berikut -- tidak tergambar perasaan murka,
apalagi kutukan. Alih-alih, mereka selalu berusaha mendapatkan hikmah
dari peristiwa pahit itu. Boleh jadi, demikianlah sikap seseorang yang
beriman kepada Allah. Berbeda hanya dengan tokoh-tokoh golongan kiri,
yang dipenjara akibat peristiwa G.30.S/PKI. Rasa marah dan dendam
mereka, jelas tampak pada buku yang mereka tulis. Buku Pramudya Ananta
Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), merupakan contoh yang baik
mengenai hal ini.
Kedua, kendati cukup banyak tokoh Islam yang dipenjara, namun sangat
sedikit di antara mereka yang menuliskan pengalamannya secara utuh.
Tidak banyak buku yang mengisahkan kehidupan dalam penjara, seperti
karya M. Yunan Nasution, Kenang-kenangan di Belakang Tirai Besi di
Zaman Rezim Orla (1967); dan Soemarso Soemarsono, Pengalaman dari Tiga
Pendjara (1971). Namun demikian, sekelumit kisah kehidupan mereka
dalam penjara, biasanya terserak dalam beberapa buku. Umpamanya karya
Prof. M.R.H. Kasman Singodimejo, Renungan dari Tahanan (1967) dan
Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimejo 75 Tahun (1982). Juga pada
biografi Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang (1980), dan
Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981).
Sedikitnya buku semacam ini, tentu merugikan umat Islam karena
pemahaman umat mengenai betapa beratnya tantangan dan perjuangan
dakwah di akhir masa pemerintahan Sukarno menjadi tidak lengkap.
Lagipula, para aktivis muda Islam masa kini akan kehilangan contoh
mengenai keteguhan memegang prinsip dan sikap pantang menyerah seperti yang telah ditunjukkan pemuka Islam tersebut.
Yang juga memprihatinkan adalah buku-buku itu kini sulit didapatkan,
karena penerbitnya belum mencetak ulang. Malah ada penerbit yang kini
sama sekali tidak memiliki buku itu. "Buku saya dipinjam-pinjam orang
entah ke mana," kata A.M. Fatwa, yang menerbitkan buku Pengalaman dari
Tiga Pendjara (1971). Boleh jadi, kenyataan ini menunjukkan betapa
lemahnya perhatian umat Islam terhadap pentingnya menyimpan
dokumentasi.
Ketiga, seperti diutarakan Delier Noer (1987: 415) bahwa pemenjaraan
dan penahanan terhadap tokoh Islam di zaman Orde Lama membawa akibat
positif dan negatif. Di satu pihak masyarakat menjadi sadar bahwa
pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin adalah penguasa
yang zalim dan perlu ditumbangkan. Di pihak lain, masyarakat hidup
dalam suasana ketakutan. Hampir-hampir tak ada keberanian lagi untuk
berbeda pendapat dengan Sukarno, apalagi menentang kebijaksanaan
politik Nasakomnya.
Salah satu cermin ketakutan itu adalah saling menghindar ketika ada
teman atau sahabat yang masuk penjara. Rumah tokoh Islam yang
dipenjara, menjadi sepi dari tamu-tamu yang biasanya banyak
berkunjung. Bila berkunjung saja sudah segan, apalagi ikut memikirkan
masalah ekonomi yang dihadapi keluarga para tokoh itu. Padahal,
sementara sang kepala keluarga berada dalam penjara, tentu istri dan
anak-anak mereka mempunyai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, selain
dari makan dan minum. Dari manakah mereka mendapatkan bantuan? Apakah semuanya harus ditanggung keluarganya? Tampaknya, ini menunjukkan tipisnya solidaritas dalam diri umat Islam.
Kiranya, beberapa hal positif dari pendahulu kita, dapat dilanjutkan.
Namun, lemahnya dokumentasi dan tipisnya solidaritas tersebut,
seyogianya ditinggalkan. ***
No comments:
Post a Comment