Saturday, June 6, 2015

Penjara bagi Tokoh Islam


From: apakabar@clark.net
Date: Mon Sep 11 1995 - 15:44:00 EDT


From: John MacDougall <apakabar@clark.net> 
Subject: IN: RPK - Penjara bagi Tokoh Islam di Orde Lama 


            PENJARA BAGI TOKOH ISLAM: PENGALAMAN DI ZAMAN ORDE LAMA
    Oleh Edi Sudarjat

   Menjelang akhir masa Orde Lama (Orla), tidak sedikit tokoh Islam yang 
   dipenjara tanpa alasan dan tanpa pengadilan. Pengalaman pahit ini 
   dialami almarhum Hamka, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Mohammad Roem, 
   Prawoto Mangkusesmito, K.H. M. Isan Ashary, K.H. E.Z. Muttaqien, K.H. 
   Sholeh Iskandar dan Ghazali Syahlan; sekadar menyebut nama mereka. 
 Selayaknya orang penjara, berbagai perlakuan tidak pantas dan tidak 
   manusiawi, mau tidak mau harus mereka terima. Kepedihan mereka seolah 
   disuarakan oleh almarhum Soemarso Soemarsono, dalam kata pengantar 
   bukunya Pengalaman dari Tiga Pendjara (1971). 


Aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang sempat mendekam 
   tiga tahun lebih (1963-1966) dalam penjara itu menyatakan:


"Penjara merupakan perkataan yang tidak sedap didengar, sebab selalu 
   dihubungkan dengan dosa dan kejahatan. Tetapi suatu waktu orang 
   baik-baik, tanpa dosa dan bahkan tanpa berbuat sesuatu apa pun yang 
   mengganggu orang lain; dijebloskan juga dalam penjara. Orang-orang ini 
   diperlakukan di luar hukum, tanpa keadilan, dan bahkan dirampas 
   hak-haknya yang azasi. Mereka itulah orang-orang politik, 
   manusia-manusia pejuang yang sering tidak punya apa-apa, kecuali 
   keyakinan pendirian politiknya. Dan akhirnya, kekayaan yang 
   satu-satunya itu pulalah yang tidak bisa lagi dirampas dan 
   dihilangkan, walaupun dipenjara!"


Berkaitan dengan itulah, di bawah ini   akan dipaparkan secara ringkas penahanan dan pemenjaraan yang dialami oleh Hamka, Kasman Singodimejo dan Soemarso Soemarsono. 

Pengalaman Hamka 
Hampir semua tokoh Islam tersebut dipenjara karena tuduhan palsu.   Hamka misalnya, ditangkap di Jakarta, 27 Januari 1964. Ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 1 Oktober 1963. Tampaknya, penangkapan ini merupakan puncak serangan terhadap Hamka. Karena sejak   5 Oktober 1962, lembaran kebudayaan Lentera pada harian Bintang Timur, yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer dan S. Rukiah, secara bersambung   menurunkan tulisan berjudul "Aku Mendakwa Hamka Plagiat!" Novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, ditelanjangi habis-habisan dan dituduh sebagai jiplakan terang-terangan dari karya pengarang Mesir, Lutfi Al-Manfalutfi (1876-1924).  

Serangan yang berlangsung berbulan-bulan dengan bahasa sangat kasar 
   dan sama sekali tidak pantas itu, kemudian meningkat menjadi fitnah terhadap pribadi Hamka dan keluarganya. Belakangan hari, ia malah dituduh berkomplot akan membunuh Presiden Sukarno dan Menteri Agama  (DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, 1995: 40). 


Ulama terkemuka ini lalu ditahan di bungalow di daerah Puncak selama 
empat hari. Sementara di bungalow lain yang tidak terlalu jauh
 
jaraknya, Mr. Kasman Singodimejo telah ditahan dua bulan lamanya.
 
Kedua tokoh Islam itu lantas dibawa ke kompleks kepolisian di
 
Sukabumi. Di tempat ini, Hamka diinterogasi secara bergantian oleh 20
 
orang pemeriksa yang bersikap kasar. Mereka memaki dan mencerca.
 
Kadang Hamka ditelanjangi sampai tinggal celana kolornya saja 

dan --seperti yang sering diceritakannya kepada Deliar Noer -- tangannya 
disundut rokok. Tangan yang biasanya menghasilkan kitab tasauf,
 
sejarah, politik, dan pendidikan itu, seolah berubah fungsinya menjadi
 
asbak.


 Hamka mula-mula bertahan menolak semua tuduhan palsu itu, namun ia 
takut juga melihat kebengisan tim pemeriksa. Atas nasihat Letkol 
Nasuhi --yang juga ditahan di sana dan berkali-kali dipukuli serta 
disiksa dengan listrik--Hamka terpaksa mengakui apa saja yang 
dituduhkan kepadanya, kendati ia bermaksud mencabut kembali semua 
pengakuannya bila dihadapkan ke muka pengadilan nanti. Pernah juga 
terpikir oleh Hamka, ia akan mencabut pengakuannya sebelum sampai ke 
meja hijau. Tetapi, tim pemeriksa menyatakan bahwa bila ia berani 
berbuat demikian, ia akan berhadapan dengan tim yang lebih kejam lagi. 


Dari Sukabumi, Hamka dipindahkan ke pos polisi Cimacan, pada 8 April 
1964. Dua hari berikutnya, ia dibawa ke sebuah villa di Puncak. Di 
sini ia diintegroasi tentang kepergiannya ke Pontianak pada 31 Agustus 
1963, berikut isi kuliah yang disampaikannya di IAIN Ciputat, Jakarta. 
Padahal, ulama yang dianugrahi gelar Doktor Honoris Causa dari 
Universitas Al-Azhar itu, pergi ke Pontianak karena ada kegiatan 
konperensi Muhammadiyah dan atas undangan majelis Islam setempat 
(Deliar Noer, 1987:418).


Setelah ditahan di Puncak selama dua bulan, Hamka dipindahkan ke 
peristirahatan Brimob di Megamendung. Saat itulah penyakit ambeiennya 
kambuh, hingga sejak 20 Agustus 1964, ia dirawat di RS. Persahabatan, 
Rawamangun, Jakarta. Ulama kelahiran Maninjau 17 Februari 1908 ini 
dirawat oleh dokter yang bersimpati kepadanya. Sang dokter inilah yang 
menyatakan pada pihak berwenang bahwa Hamka memerlukan perawatan 
lanjutan sampai 21 Januari 1966, kendati ia sebenarnya telah sembuh 
(H. Rusydi Hamka, 1981: 109-234). 
       
   Pengalaman Mr. Kasman Singodimejo 

Sebagai Jaksa Agung pertama RI, penahanan terhadap Kasman terasa cukup    aneh. Mula-mula ia hanya mendapat panggilan untuk menghadap Komandan  Korps Intelejen, di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya pada 9 November 2963. Dengan tenang, datanglah ia memenuhi panggilan itu.  Ternyata, ia langsung ditahan di Jl. Darmawangsa VI No. 12, Kebayoran Baru, Jakarta.

Di dalam bukunya, Renungan dari Tahanan (1967: 26), Kasman mengenang    pengalaman buruk ini, katanya:

".... aku tidak membawa apa-apa   (sebagai persiapan dalam penjara), sehingga dalam waktu 50 jam aku    mandi, aku tidur, buang air dan sembahyang hanya dengan pakaian  itu-itu juga yang telah melekat pada badanku. Mau tak mau aku teringat    pada waktu ditangkap dan ditahan oleh imperialis kolonialis Belanda    bulan Mei 1940. Caranya sama! Oh, nasib!"

Mantan Ketua Komite Nasional    Indonesia Pusat (KNIP) ini, lalu dipindahkan ke Ciloto, Kabupaten  Cianjur, pada 16 November 1963. Dari sini, ia dibawa ke kompleks  sekolah kepolisian Sukabumi, bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Pemerintah Orla menuduh Kasman bersalah, karena melanggar pasal 169 KUHP ayat 1,2 dan 3 yaitu: "turut serta dalam perkumpulan atau perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun."

Dalam pemeriksaan di tempat ini, Kasman diancam, dihina, diejek dan pernah disiksa sampai jatuh pingsan. Namun, ia berhasil  menolak tuduhan para pemeriksa dan membuktikan bahwa saksi yang diajukan untuk memberatkan tuduhan kepadanya itu keliru. 

Sungguhpun demikian, tokoh yang pernah menjadi Menteri Muda Kehakiman  tahun 1947 ini tetap ditahan. Ia lalu menyanggah tim pemeriksa dan mengatakan bahwa cara kerja mereka yang kejam itu tidak sah. Pada puncak kemarahannya, Kasman sampai-sampai berdiri dan berteriak-teriak. Ia menyatakan tidak mau dipaksa-paksa untuk berdosa  kepada Allah untuk menyatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Sambil menjerit ia berkata," ...silakan cabut pistol Tuan-tuan dan tembaklah aku! Percuma aku hidup dan dihina begini macam! Aku lebih takut kepada  Allah daripada kepada Tuan-tuan! Silakan tembak! Tembak!  Tembak!"
Kasman memang pemberani. 

Sejak muda ia menjadi aktivis    pergerakan nasional. Lagipula, pengalaman kemiliterannya pun cukup. Ia    sempat menjadi komandan Batalyon PETA di Jakarta, bahkan melatih Bung    Karno dan Bung Hatta dalam bidang militer. Tidak heran bila salah    seorang pendiri TNI, Jendral (Purn) Abdul Haris Nasution menyatakan,    "Di waktu proklamasi adalah lazim bagi kami di kalangan pemuda    menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, saat itu Kasman dirasakan sebagai tokoh  militer yang terdepan."

Rupanya, tim pemeriksa gagal memaksakan tuduhan 
tersebut, hingga Kasman dipindahkan ke penjara Bogor. Di kota hujan 
inilah ia dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek, 
bersama-sama dengan. K.H. Sholeh Iskandar. Tuduhan ini 
dibesar-besarkan oleh sebuah harian milik kelompok kiri, Warta Bogor, 
yang sekaligus menuduhnya sebagian Ketua Kelompok Empat yang berniat 
membunuh presiden. Tidak ketinggalan, Kasman juga dituduh 
menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak 
orang untuk memusuhi pemerintahan Sukarno. Karena itu, ia dituduh 
melanggar Penetapan Presiden No. 11/1963 dan No. 5/1963. Lantas 
turunlah vonis pengadilan pada 14 Agustus 1964, Kasman dihukum penjara 
selama 8 tahun.


Suatu hal yang menyedihkan adalah ketika mantan Ketua Pimpinan Pusat 
Muhammadiyah ini menghadapi hari-hari berat pada sidang-sidang di 
Pengadilan Negeri Bogor, berbagai pihak mengirimkan surat dan kawat 
kepada pengadilan itu agar menghukum Kasman dengan berat. Termasuk di 
antaranya adalah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), 
Sulastomo, yang mendesak agar "terdakwa Kasman Singodimedjo dijatuhi 
hukuman seberat-beratnya, karena jelas tindakan-tindakan terdakwa 
bersifat kontra revolusi," (Deliar Noer, 1987:420).


Terhadap keputusan pengadilan itu Kasman tidak menyerah, ia memutuskan untuk naik banding. Lantas, pengadilan memutuskan hukuman penjara   selama 2 tahun 6 bulan. Dengan perincian "kesalahan" sebagai berikut:   2 tahun 5 bulan untuk kegiatan politik tidak sah; dan 1 bulan untuk mengadakan rapat tanpa izin. Begitulah vonis Pengadilan Tinggi pada 13 
April 1966, di saat rezim Sukarno tidak berkuasa lagi. Akhirnya Kasman  mendekam di penjara untuk menjalani seluruh hukuman tersebut, karena    permohonan kasasinya ditolak. 

Pengalaman Soemarso Soemarsono 

Sekalipun Soemarsono berstatus sebagai wartawan harian Abadi dan 
mahasiswa Universitas Indonesia, namun para petugas yang 
"menjemputnya" di Surabaya, 9 Desember 1963, sama sekali tidak peduli. 
Ia dijebloskan ke penjara Kalisosok yang terkenal itu dan ditempatkan 
bersama para pencuri serta penipu dalam sel yang beratap jari-jari 
besi. 


Mengenai sel ini, ia bercerita,"... dari dalam (sel) saya dapat 
melihat langit. Di waktu siang sinar matahari masuk dan di waktu malam 
cahaya bintang tampak berkedipan di atas. Kenangan saya tak terlepas 
juga mengingat kurungan beruang yang ada di Kebun Binatang Wonokromo." 


Selayaknya "kandang beruang," maka: "Kalau malam hari, coco dan kecoak   pada keluar dari lubangnya, seperti berpesiar dan berdansa-dansa    layaknya. Biasanya saja jijik dengan binatang itu. Tetapi sekarang rasanya seperti berteman saja (1971:6)." 

Kemudian, ia dipindahkan ke   Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta. Ternyata, di tempat itu cukup    banyak anggota Masyumi yang ditahan, hingga di antara sesama tahanan    sering tercetus kelakar bahwa RTM itu kepanjangannya adalah Rumah    Tahanan Masyumi. Di tempat inilah ia bertemu dengan Mohammad Natsir,    Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, K.H. Sholeh Iskandar,    Ventje Sumual dan Dolf Runturambi.
 Awalnya, Soemarsono ditempatkan di sel yang gelap dan lembap. Ia harus    bertayamum dengan debu di dinding, karena tidak disediakan air. Malah untuk buang air kecil, ia harus "mencurahkannya" di dekat pintu. 

Saat itu, secara resmi ia didakwa melakukan kegiatan subversif yang 
membahayakan keamanan dan keselamatan negara. Secara tidak resmi, ia 
didesas-desuskan akan menggranat Presiden Sukarno. Tidak heran bila ia 
diperiksa terus menerus selama dua bulan dan diisolasi dari tahanan 
lain dalam ruangan kosong: tidak berbangku, berkursi, maupun berbalai. 
Mau tak mau, ia duduk dan di tidur di lantai yang dingin, hingga 
kerapkali masuk angin dan perut kembung. Pada hari Idul Fitri pun 
keluarganya tidak diperkenankan menengok.

Suatu ketika, Somarsono sakit. Ia dibawa ke rumah sakit untuk operasi 
bahu. Sebagai tahanan istimewa, ia ditempatkan di blok khusus yang 
dilingkungi tembok berkawat duri, dengan satu pintu kecil untuk keluar 
masuk dan dijaga oleh 4-6 tentara bersenjata lengkap. Tak ada orang 
yang ingin menjenguk, karena ruangan itu khusus untuk orang gila! 


"Masya Allah. Di alam bebas saja, dalam keadaan normal, saya sulit 
berdekatan dengan orang gila.... Tetapi, kini saya seorang diri dalam 
keadaan sakit, ditempatkan justru di tengah-tengah orang gila, yang 
kira-kira berjumlah 40 orang," demikianlah ungkap Soemarsono 
(1971:1984). 


Wajarlah bila ia sangat gembira ketika dipulangkan ke 
RTM. "Kali ini memasuki penjara rasanya seperti memasuki suatu gedung 
yang indah dalam suasana yang menyenangkan; seperti datang di sebuah 
hotel yang gratis," kenang Soemarsono. 
  
Namun penderitaan aktivis GPII ini belum berakhir. Di saat pergantian 
kekuasaan dari Orla menuju Orde Baru (Orba), ia dipindahkan lagi ke 
Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Keadaan ini tentu saja sangat 
memilukannya, karena yang ditahan dalam penjara itu sebenarnya 
hanyalah orang-orang yang terlibat dalam G.30.S/PKI. Padahal, sejak 
awal orang-orang GPII berusaha membendung dan melawan PKI, namun kini 
mereka sama-sama bertemu sebagai tahanan. 

Walaupun di dalam penjara, para kader PKI itu tetap berhasrat 
"mengganyang" lawan-lawannya. Kelompok Islam yang datang dari RTM, 
kerapkali mereka teror. Sambil berlari-lari, berteriak-teriak tak 
karuan, mereka datang bergerombol ke blok tahanan RTM. Lantas, 
pintu-pintu kamar dipukuli, digoyang-goyang seperti memaksa membuka 
pintu. Lagipula, mereka membawa tongkat pemukul dari kayu atau besi. 

Tentang RTC ini, Soemarsono menuturkan, "Pada waktu itu rasanya 
menyeramkan sekali.... Kami 30 orang dari RTM, berada di tengah-tengah 
pengalaman saya di Salemba ini lebih neraka lagi. Dari segi fisik dan 
mental kami benar-benar disiksa (1971:165)." 


Perubahan nasib bagi Soemarsono akhirnya datang juga. Ia dipindahkan 
ke rumah tahanan    Kejaksaan Agung di gang Keagungan, Jakarta. Di tempat inilah ia 
bertemu lagi "rekan-rekan sejawatnya" dari RTM. Kemudian, dengan 
berubahnya iklim politik, ditambah lagi usaha keras dari Lembaga 
Pembela Hak-Hak Azasi Manusia, yang anggotanya antara lain adalah: 
Aisjah Amini, Anwar Harjono dan Harjono Tjitrosubono, ia dibebaskan 
pada 16 Juni 1966. 
     
       Beberapa catatan tertinggal 


Dari pengalaman para tokoh Islam yang dipenjara, terdapat beberapa hal 
yang patut kita catat:Pertama, sekalipun mereka dipenjara tanpa alasan 
selama bertahun-tahun, namun mereka tidak pernah mendendam kepada 
pemerintah Sukarno. Alih-alih, mereka senantiasa memaafkan "dosa-dosa 
Sang Pemimpin Besar Revolusi" itu. Hamka misalnya, berulangkali 
menyatakan bahwa ia tidak punya rasa dendam. Bahkan, sambil berkelakar 
ia berkata, "Alhamdulillah saya ditahan, sehingga dapat menyelesaikan 
tafsir Al-Azhar." Sedangkan Mohammad Roem --yang juga sempat 
dipenjara oleh rezim Sukarno-- malah mati-matian membela Sang 
Proklamator itu, ketika terjadi perdebatan mengenai "Surat-surat 
Sukamiskin" pada 1981.


Di samping itu, dalam buku-buku yang mereka tulis -- seperti yang 
tercantum pada bagian berikut -- tidak tergambar perasaan murka, 
apalagi kutukan. Alih-alih, mereka selalu berusaha mendapatkan hikmah 
dari peristiwa pahit itu. Boleh jadi, demikianlah sikap seseorang yang 
beriman kepada Allah. Berbeda hanya dengan tokoh-tokoh golongan kiri, 
yang dipenjara akibat peristiwa G.30.S/PKI. Rasa marah dan dendam 
mereka, jelas tampak pada buku yang mereka tulis. Buku Pramudya Ananta 
Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), merupakan contoh yang baik 
mengenai hal ini. 

Kedua, kendati cukup banyak tokoh Islam yang dipenjara, namun sangat 
sedikit di antara mereka yang menuliskan pengalamannya secara utuh. 
Tidak banyak buku yang mengisahkan kehidupan dalam penjara, seperti 
karya M. Yunan Nasution, Kenang-kenangan di Belakang Tirai Besi di 
Zaman Rezim Orla
(1967); dan Soemarso Soemarsono, Pengalaman dari Tiga 
Pendjara
(1971). Namun demikian, sekelumit kisah kehidupan mereka 
dalam penjara, biasanya terserak dalam beberapa buku. Umpamanya karya 
Prof. M.R.H. Kasman Singodimejo, Renungan dari Tahanan (1967) dan 
Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimejo 75 Tahun (1982). Juga pada 
biografi Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang (1980), dan 
Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981). 

Sedikitnya buku semacam ini, tentu merugikan umat Islam karena 
pemahaman umat mengenai betapa beratnya tantangan dan perjuangan 
dakwah di akhir masa pemerintahan Sukarno menjadi tidak lengkap. 
Lagipula, para aktivis muda Islam masa kini akan kehilangan contoh 
mengenai keteguhan memegang prinsip dan sikap pantang menyerah seperti yang telah ditunjukkan pemuka Islam tersebut.

Yang juga memprihatinkan adalah buku-buku itu kini sulit didapatkan, 
karena penerbitnya belum mencetak ulang. Malah ada penerbit yang kini 
sama sekali tidak memiliki buku itu. "Buku saya dipinjam-pinjam orang 
entah ke mana," kata A.M. Fatwa, yang menerbitkan buku Pengalaman dari 
Tiga Pendjara
(1971). Boleh jadi, kenyataan ini menunjukkan betapa 
lemahnya perhatian umat Islam terhadap pentingnya menyimpan 
dokumentasi. 
               

Ketiga, seperti diutarakan Delier Noer (1987: 415) bahwa pemenjaraan 
dan penahanan terhadap tokoh Islam di zaman Orde Lama membawa akibat 
positif dan negatif. Di satu pihak masyarakat menjadi sadar bahwa 
pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin adalah penguasa 
yang zalim dan perlu ditumbangkan. Di pihak lain, masyarakat hidup 
dalam suasana ketakutan. Hampir-hampir tak ada keberanian lagi untuk 
berbeda pendapat dengan Sukarno, apalagi menentang kebijaksanaan 
politik Nasakomnya. 

Salah satu cermin ketakutan itu adalah saling menghindar ketika ada 
teman atau sahabat yang masuk penjara. Rumah tokoh Islam yang 
dipenjara, menjadi sepi dari tamu-tamu yang biasanya banyak 
berkunjung. Bila berkunjung saja sudah segan, apalagi ikut memikirkan 
masalah ekonomi yang dihadapi keluarga para tokoh itu. Padahal, 
sementara sang kepala keluarga berada dalam penjara, tentu istri dan 
anak-anak mereka mempunyai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, selain 
dari makan dan minum. Dari manakah mereka mendapatkan bantuan? Apakah    semuanya harus ditanggung keluarganya? Tampaknya, ini menunjukkan    tipisnya solidaritas dalam diri umat Islam. 

Kiranya, beberapa hal positif dari pendahulu kita, dapat dilanjutkan. 
Namun, lemahnya dokumentasi dan tipisnya solidaritas tersebut, 
seyogianya ditinggalkan. ***
   



No comments:

Post a Comment