Saturday, June 6, 2015

“Kemenangan Islam Kultural?” (Islamic Cultural Victory?), Kompas, April 7 , 1996. Book review of M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, SebuahKajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Islamic Thinking and IslamicAction in Indonesia, An Examine of Muslim Intellectuals New Order Politics) Jakarta:Paramadina, 1995.


Kompas, 7 April 1996
Kemenangan “Islam Kultural”?

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Paramadina, Jakarta: 1995); xiii + 353 hlm.

D
ari sejumlah buku tentang Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang terbit belakangan ini, boleh dikatakan buku ini termasuk yang serius. Alasannya buku yang lumayan tebal ini berasal dari tesis untuk meraih gelar magister pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI). Lagipula penulisnya, M. Syafi’i Anwar, adalah seorang wartawan intelektual yang telah lama mengamati tingkah laku politik umat islam. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Panji Masyarakat (1986-1988), Wakil Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Quran (1990-1994), dan kini menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi majalah Ummat.
Karya mantan Wakil Direktur Pelaksana Lembaga Studi Agama dan Filsafat (1989-1993) ini berudaha memetakan dan menganalisis politik terhadap hubungan antara Islam dan birokrasi Orde Baru (Orba) dalam kurun waktu 1996-1993. Secara garis besar hubungan ini dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, periode awal Orba sampai 1970-an. Saat itu pemerintah bersifat hegemonis terhadap Islam. Dengan ciri kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalangan masyarakat. Waktu itu umat Islam bersikap reaktif dan banyak menolak konsep modernisasi yang diajukan pemerintah. Akibanya, terjadi ketegangan serta konflik antara kedua belah pihak.
Periode kedua berlangsung pada dasawarsa 1980-an yang ditandai dengan hubungan resiprokal. Yakni hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik dan pemahanan antara kedua belah pihak. Saat inilah muncul kelas menengah santri baru yang berperan aktif dalam pembangunan. Sehingga ketegangan antara kedua belah pihak mulai mencair.
Sedangkan periode ketiga berlangsung pada dekade 1990-an. Saat itu, berkat peranan kelas menengah santri baru tersebut, hubungan antara Islam dan Orba semakin serasi. Ini ditandai dengan makin tanggapnya birokrasi Orba kepada Islam dan yang paling mendapat perhatian adalah persetujuan dan dukungan pemerintah terhadap ICMI.
*  *  *
DALAM pandangan cendekiawan muslim yang pernah menuntut ilmu di The School of Journalism, Columbia University, New York, AS (1988-1989) ini terjadinya kemesraan antara pemerintah dan Islam itu merupakan hasil usaha kelas menengah santri baru, sebuah kelas yang tumbuh pesat karena keberhasilan pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Adapun kelas ini bercirinya: (1) bersikap pragmatis dalam menyuarakan aspirasi politiknya; (2) memiliki pandangan keagamaan yang substansialis; (3) ikatan primordial tidak kuat; (4) perhatian perjuangan pada “Islam Kultural”, dan; (4) kepemimpinan yang dikembangkannya bersifat intelektual.
Ciri “Islam Kultural” yang melekat pada kelas menengah santri baru itu juga membuat mereka meninggalkan ide negara Islam—salah satu ide pokok kelompok “Islam politik”—yang di masa lalu dimotori partai Masyumi. Tak ketinggalan, mereka berupaya membumikan gagasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam bahasa populer, rasional, kontekstual, serta jauh dari semangat “ideologi” yang ekstrem (hlm. 129).
Kemudian, sebagian anggota kelas ini yang berada dalam birokrasi berhasil melakukan “perubahan dari dalam”. Mereka mempengaruhi alam pikiran birokrasi terhadap Islam yang dulunya didominasi kalangan priyayi. Sehingga terjadilah proses “santrinisasi priyayi”, yang pada dekade 1980-an terkenal dengan sebutan “Islamisasi birokrasi”. Inilah pertanda kemenangan ide “Islam kultural” ketimbang Islam politik” yang berorientasi langsung pada pusat kekuasaan.
*  *  *
KEBERHASILAN “Islam kultural” menurut putra angkat Buya Hamka ini, tidak terlepas dari semakin diterimanya ide-ide pembaruan Islam yang disuarakan Nurcholis Madjid sejak 1970-an. Sayang, dalam uraian pentingnya ide pembaruan ini, Syafi’i Anwar kurang teliti. Dikatakannya pada,

“Pidato pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish menyampaikan pidto berjudul, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sebuah pidato yang bersejarah, tapi juga kontroversial dan menjadi pemicu bagi perdebatan dan polemik yang panjang.” (hlm. 49).

Dalam kenyataannya, pidato itu tidak mendapatkan perhatian besar di media massa. Peristiwa 3 Januari 1970 itu hanya diliput harian Abadi dalam berita kecil. Sementara koran lainnya, semisal Kompas, Pedoman, Indonesia Raya, harian Kami, dan Pemandangan, sejak Januari sampai Maret 1970 tidak menggubris pidato maupun ide pembaruan tersebut.
Sesungguhnya, perhatian besar kepada kelompok pembaruan itu terjadi setelah majalah Tempo menurunkannya dalam laporan utama berjudul, Pembaharu ’70 pada Sebuah Tebing (Tempo, 29 Djuli 1972; 44-48). Majalah inilah yang menulis, “...apa jang kemudian diutjapkan Nurcholish pada 3 Djanuari 1970 yang bersedjarah itu djuga bermula dari sana: Andjuran pada perlunya sekularisasi.” Setelah itu Nurcholish tambah berkibar setelah ia diundang membacakan pidato oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada 28 Oktober 1972.  Selepas pidato ini, barulah ia mendapatkan tanggapan cukup besar.
Tampaknya, kekurangtelitian Syafi’i itu—yang secara metodologis disebut anakronisme—terjadi karena ia tidak meneliti secara langsung sumber primernya, namun hanya bersandar pada sumber sekunder. Dan bila kita lihat daftar pustaka buku ini, ia memang tidak meneliti koran para tahun 1970.
Di samping itu, kesimpulan buku ini bahwa telah terjadi pergeseran pemikiran dan orientasi perjuangan kalangan Islam dari format “Islam politik” menjadi “Islam kultural”, tampaknya perlu dipertanyakan. Bukankah ada tesis terkenal dari sejarawan politik terkemuka Hary J. Benda, bahwa apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan kekuasaan lain, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Dan siapapun yang mencoba menggunakan Islam untuk tujuan politiknya, akan dimanfaatkan politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan mereka (Hary J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, 1980: 10).
Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan bahwa “Islam kultural” pun memiliki tujuannya sendiri, selain dari orientasi yang telah disebutkan di atas. dan sangat besar pula kemungkinannya “Islam kultural” itu akan kembali berubah menjadi “Islam politik”.***  (Edi S. Joesoef, alumnus Jurusan Sejarah FSUI dan Guru SMA Taman Islam, Bogor)  


No comments:

Post a Comment