Kompas, 7 April 1996
Kemenangan “Islam Kultural”?
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Sebuah kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Paramadina, Jakarta: 1995); xiii + 353 hlm.
D
|
ari sejumlah
buku tentang Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang terbit belakangan
ini, boleh dikatakan buku ini termasuk yang serius. Alasannya buku yang lumayan
tebal ini berasal dari tesis untuk meraih gelar magister pada Program Studi
Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI). Lagipula penulisnya, M. Syafi’i Anwar,
adalah seorang wartawan intelektual yang telah lama mengamati tingkah laku
politik umat islam. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Panji Masyarakat (1986-1988), Wakil
Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Quran
(1990-1994), dan kini menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi majalah Ummat.
Karya mantan
Wakil Direktur Pelaksana Lembaga Studi Agama dan Filsafat (1989-1993) ini
berudaha memetakan dan menganalisis politik terhadap hubungan antara Islam dan
birokrasi Orde Baru (Orba) dalam kurun waktu 1996-1993. Secara garis besar
hubungan ini dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, periode awal Orba
sampai 1970-an. Saat itu pemerintah bersifat hegemonis terhadap Islam. Dengan ciri
kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial
politik di kalangan masyarakat. Waktu itu umat Islam bersikap reaktif dan
banyak menolak konsep modernisasi yang diajukan pemerintah. Akibanya, terjadi
ketegangan serta konflik antara kedua belah pihak.
Periode kedua
berlangsung pada dasawarsa 1980-an yang ditandai dengan hubungan resiprokal. Yakni
hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik dan
pemahanan antara kedua belah pihak. Saat inilah muncul kelas menengah santri
baru yang berperan aktif dalam pembangunan. Sehingga ketegangan antara kedua
belah pihak mulai mencair.
Sedangkan periode
ketiga berlangsung pada dekade 1990-an. Saat itu, berkat peranan kelas menengah
santri baru tersebut, hubungan antara Islam dan Orba semakin serasi. Ini ditandai
dengan makin tanggapnya birokrasi Orba kepada Islam dan yang paling mendapat
perhatian adalah persetujuan dan dukungan pemerintah terhadap ICMI.
* * *
DALAM pandangan
cendekiawan muslim yang pernah menuntut ilmu di The School of Journalism, Columbia
University, New York, AS (1988-1989) ini terjadinya kemesraan antara pemerintah
dan Islam itu merupakan hasil usaha kelas menengah santri baru, sebuah kelas yang
tumbuh pesat karena keberhasilan pemerintah dalam pemerataan pendidikan. Adapun
kelas ini bercirinya: (1) bersikap pragmatis dalam menyuarakan aspirasi
politiknya; (2) memiliki pandangan keagamaan yang substansialis; (3) ikatan
primordial tidak kuat; (4) perhatian perjuangan pada “Islam Kultural”, dan; (4)
kepemimpinan yang dikembangkannya bersifat intelektual.
Ciri “Islam
Kultural” yang melekat pada kelas menengah santri baru itu juga membuat mereka
meninggalkan ide negara Islam—salah satu ide pokok kelompok “Islam politik”—yang
di masa lalu dimotori partai Masyumi. Tak ketinggalan, mereka berupaya
membumikan gagasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan dalam bahasa
populer, rasional, kontekstual, serta jauh dari semangat “ideologi” yang
ekstrem (hlm. 129).
Kemudian,
sebagian anggota kelas ini yang berada dalam birokrasi berhasil melakukan “perubahan
dari dalam”. Mereka mempengaruhi alam pikiran birokrasi terhadap Islam yang
dulunya didominasi kalangan priyayi. Sehingga terjadilah proses “santrinisasi
priyayi”, yang pada dekade 1980-an terkenal dengan sebutan “Islamisasi
birokrasi”. Inilah pertanda kemenangan ide “Islam kultural” ketimbang Islam
politik” yang berorientasi langsung pada pusat kekuasaan.
* * *
KEBERHASILAN “Islam kultural”
menurut putra angkat Buya Hamka ini, tidak terlepas dari semakin diterimanya
ide-ide pembaruan Islam yang disuarakan Nurcholis Madjid sejak 1970-an. Sayang,
dalam uraian pentingnya ide pembaruan ini, Syafi’i Anwar kurang teliti.
Dikatakannya pada,
“Pidato pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre,
Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish menyampaikan pidto berjudul, Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sebuah pidato yang
bersejarah, tapi juga kontroversial dan menjadi pemicu bagi perdebatan dan
polemik yang panjang.” (hlm. 49).
Dalam kenyataannya,
pidato itu tidak mendapatkan perhatian besar di media massa. Peristiwa 3 Januari
1970 itu hanya diliput harian Abadi
dalam berita kecil. Sementara koran lainnya, semisal Kompas, Pedoman, Indonesia
Raya, harian Kami, dan Pemandangan, sejak Januari sampai Maret
1970 tidak menggubris pidato maupun ide pembaruan tersebut.
Sesungguhnya,
perhatian besar kepada kelompok pembaruan itu terjadi setelah majalah Tempo menurunkannya
dalam laporan utama berjudul, Pembaharu ’70
pada Sebuah Tebing (Tempo, 29
Djuli 1972; 44-48). Majalah inilah yang menulis, “...apa jang kemudian
diutjapkan Nurcholish pada 3 Djanuari 1970 yang bersedjarah itu djuga bermula
dari sana: Andjuran pada perlunya sekularisasi.” Setelah itu Nurcholish tambah
berkibar setelah ia diundang membacakan pidato oleh Dewan Kesenian Jakarta di
Taman Ismail Marzuki pada 28 Oktober 1972. Selepas pidato ini, barulah ia mendapatkan
tanggapan cukup besar.
Tampaknya,
kekurangtelitian Syafi’i itu—yang secara metodologis disebut anakronisme—terjadi
karena ia tidak meneliti secara langsung sumber primernya, namun hanya
bersandar pada sumber sekunder. Dan bila kita lihat daftar pustaka buku ini, ia
memang tidak meneliti koran para tahun 1970.
Di samping
itu, kesimpulan buku ini bahwa telah terjadi pergeseran pemikiran dan orientasi
perjuangan kalangan Islam dari format “Islam politik” menjadi “Islam kultural”,
tampaknya perlu dipertanyakan. Bukankah ada tesis terkenal dari sejarawan
politik terkemuka Hary J. Benda, bahwa apapun politik terhadap Islam yang
dilancarkan kekuasaan lain, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin
dikejar kekuasaan tersebut. Dan siapapun yang mencoba menggunakan Islam untuk
tujuan politiknya, akan dimanfaatkan politisi Islam untuk mencapai tujuan yang
sangat berbeda dengan tujuan mereka (Hary J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, 1980: 10).
Dengan demikian,
sangat terbuka kemungkinan bahwa “Islam kultural” pun memiliki tujuannya
sendiri, selain dari orientasi yang telah disebutkan di atas. dan sangat besar
pula kemungkinannya “Islam kultural” itu akan kembali berubah menjadi “Islam politik”.***
(Edi S. Joesoef, alumnus Jurusan
Sejarah FSUI dan Guru SMA Taman Islam, Bogor)
No comments:
Post a Comment