https://www.wartatransparansi.com/2021/07/30/banjir-baliho-capres-ri-2024-menggali-kuburan-sendiri.html
“Banjir” Baliho Capres RI 2024, Menggali Kuburan Sendiri
Oleh: Edi Sudarjat, Analis Politik dan Media
Dalam (komunikasi)
politik tiap hari adalah kampanye. Kampanye dilakukan tiada henti: baik di hari
kerja maupun libur; baik terang-terangan maupun terselubung. Pada hari
pemilihan (kepala desa, anggota legislatif, kepala daerah, presiden), hasil
kampanye itu “dipanen”.
Siapa
yang berhasil “menabung” citra positif sebagai pemimpin mumpuni dalam kampanye
tiada henti, ia akan dipilih; yang “tabungannya kurang”, diabaikan. Inilah
hukum alam yang sering dilupakan oleh para politisi. Alhasil, tidak terhitung
hari-hari kampanye disia-siakan.
Menuju
pemilihan presiden (Pilpres) 2024, sejumlah nama berancang-ancang maju.
Artinya, semesti mereka berkampanye (terselubung) tiap hari.
Nama-nama
yang terekam dalam berbagai survei politik sebagai calon presiden (capres)
ialah: Agus H. Yudhoyono, Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Basuki T.
Purnama, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmanyo, Prabowo Subianto, Puan Maharani,
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Tri Rismaharini.
Tentu
merupakan mandat bagi pimpinan partai politik peraih suara terbesar dalam
Pemilu, seperti Airlangga Hartarto dan Puan Maharani untuk maju sebagai capres
atau calon wakil presiden (cawapres). Namun elektabilitas keduanya masih
rendah: Airlangga (1%) dan Puan (2,9%); tertinggal jauh dari Ganjar (15,7%),
Anies (14,6%), Prabowo (11%), dan Ridwan (10%). Demikian hasil survei lembaga
penelitian Indikator Politik pada Mei silam.
Tim
pencapresan—sebut saja demikian–Airlangga dan Puan memang sudah bergerak
berupaya meningkatkan elektabilitas kedua tokoh itu. Dapat diduga tim
pencapresan itu telah meminta masukan dari konsultan politik untuk merancang
berbagai programnya.
Dari
berbagai program mereka, yang tampak nyata ke hadapan publik adalah
“membanjirnya” baliho Airlangga dan Puan di berbagai daerah, terutama di
kota-kota dan pinggiran kota.
Tujuannya,
tak lain untuk mengangkat pengenalan publik (popularitas) terhadap Airlangga
dan Puan yang masih rendah. Rilis SMRC pada Maret 2021 menyebut hanya 26%
publik mengenal Airlangga, sedangkan Puan sudah lumayan: 61%. Namun keduanya
tertinggal jauh dari Prabowo (96%), Sandiaga (83%), dan Anies (81%).
Pada
Juli 2021, Golkar secara resmi memerintahkan kader-kadernya memasang baliho
Airlangga; sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak
terang-terangan demikian.
Di
sinilah kesalahan strategi kampanye terjadi alias capres tersebut “menggali
kuburannya sendiri”. Pasalnya, “banjir” baliho itu tidak efektif (menghabiskan
duit), kemungkinan besar malah kontra produktif (menghasilkan citra negatif).
Mengapa?
Karena
baliho hanya efektif mengangkat popularitas, dengan syarat kondisi masyarakat
sedang normal.
Padahal
lebih dari setahun ini masyarakat Indonesia dan dunia jelas-jelas tidak normal
lantaran pandemi Covid-19. Dalam sebulan terakhir, tingkat kasus positif dan
kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia, beberapakali mencapai angka
tertinggi di dunia! Pasien rumah sakit (RS) di berbagai daerah membludak; RS
tak mampu lagi menampung pasien.
Lagipula,
tidak sedikit masyarakat yang anjlok drastis pendapatannya di masa
Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah dua periode
dijalankan pemerintah.
Alih-alih
menghasilkan citra positif, boleh jadi “banjir” baliho itu justru menjengkelkan
masyarakat. “Ah apa pula gambar-gambar besar ini, kita lagi susah malah dikasih
gambar,” kira-kira begitu komentar orang.
“Banjir”
baliho Puan berefek negatif telah terjadi di Surabaya dan Blitar beberapahari
lalu. Baliho Puan Maharani dicorat-coret, justru di “kandang banteng”. Memang
belum jelas apa sebabnya. Yang jelas, gejala ini perlu dipikirkan
sungguh-sungguh oleh tim pencapresannya.
Sebenarnya,
bagaimana strategi kampanye capres yang pas? Mari kita bahas pada kolom
berikutnya. Sabar ya Cak.***