Tempo, 4 Maret 2001 hlm. 54-55
Buah Cinta Sang Budayawan
Ajip
Rosidi, dkk., Ensiklopedi Sunda: Alam,
Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, PT Dunia Pustaka
Jawa, bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan kebudayaan Rancage,
2000. Tebal 714 hlm.
Inilah eksiklopedi etnis terlengkap
pertama di Indonesia. Berisi sekitar 3500 lema, ia memaparkan segala rupa
perihal Sunda. Tentu sja ensiklopedi ini masih memiliki beberapa kelemahan.
Dari 465 suku bangsa di Indonesia (M. Junus
Melalatoa, 1995), ternyata baru etnis Sunda yang sudah memiliki ensiklopedi
lengkap. Warga Sunda memang suku terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah
sekitar 40 juta jiwa pada tahun 2000. Kehadiran ensiklopedi ini adalah hasil
kerja keras tim redaksi dan pengagas utamanya: Ajip Rosidi, yang mengerahkan 40
orang, termasuk para penulis Belanda, Jepang, dan India.
Tanpa memeras otak dan keringat disertai
kecintaan kepada budaya Sunda, niscaya ensiklopedi ini tak kan pernah terbit.
Waktu pengerjaan yang semula diperkirakan lima tahun ternyata molor sampai
hampir sepuluh tahun. Tim redaksi terbentur kenyataan bahwa ahli suatu bidang
tidak banyak terlatih menulis, apalagi menulis eksiklopedi, yang memerlukan
persiapan khusus. Akibatnya, hampir semua naskah yang masuk harus ditulis ulang
atau disunting berat.
Persoalan lain adalah beberapa orang yang
semula bersedia duduk sebagai anggota redaksi mengundurkan diri dengan berbagai
sebab dan alasan. Dalam perjalanan penyusunan selama hampir satu dasawarsa itu,
beberapa orang yang memberi bantuan tidak sempat melihat hasilnya. Mereka
antara lain ialah H.K.S. Kostaman, Haryoto Kunto, dan Sayudi, yang telah lebih
dulu meninggal dunia.
Toh, banting tulang mereka berbuah manis.
Ensiklopedi yang memuat sekitar 3.500 lema ini dipuji pakar senior sastra dan
budaya Indonesia dari Leiden, Prof. Dr. A. Teeuw. “Saya sangat terkesan oleh kualitas ilmiah
ensiklopedi ini, berdasarkan pengetahuan luas dan mendalam mengenai hal-hal
yang dibahas. Ditulis informatif dan jelas, bahasa Indonesia yang
dipergunakannya enak dibaca,” begitu komentarnya.
Acungan jempol datang pula dari Ketua Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah, yang mengatakan,
“Sungguh suatu pekerjaan raksasa. Merupakan sumbagan besar bagi dunia ilmu.”
Tak dapat dimungkiri, tulisan mendalam,
jernih, dan enak dibaca menjadi salah satu kelebihannya, terutama bila
dibandingkan dengan ensiklopedi lain, semisal Ensiklopedi Nasional Indonesia (PT Cipta Adi Pustaka, 1988). Tema
yang dikemukakan memang sangat luas. Diawali dengan lema Aam Amilia, seorang
pengarang merangkap wartawan, diakhiri dengan lema Zainal Asikin Kusumah
Atmaja, pensiunan hakim agung. Aneka ragam tradisi rakyat, religi, pantun,
kesusastraan, peralatan sehari-hari, makanan, pencak silat, permainan
anak-anak, sejarah, biografi singkat tokoh, majalah, koran, dan pelbagai
manifestasi kebudayaan Sunda tercakup di dalamnya.
Banyak hal yang belum pernah kita dengar
sebelumnya, misalnya Agrabintana, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di
Tanjungkidul—sekarang disebut Ujung Genteng, Surade, Sukabumi Selatan, suatu
kerajaan yang jarang didengar orang. Ensiklopedi ini juga memaparkan aneka
religi di tanah Sunda, seperti agama Jawa-Sunda yang diajarkan Madrais dari
Cigugur, Kuningan, dan agama Sunda Wiwitan yang dianut komunitas Baduy di
Kanekes Banten. Yang lebih unik lagi, pelbagai permainan anak-anak tradisional
seperti pacici-cici putri, paciwit-ciwit
lutung, dan oray-orayan, juga
dimasukkan dalam entri.
Komposisi tokoh Sunda yang mencakup 497
tokoh, 274 (55,1 persen) di antaranya adalah seniman yang terdiri dari 110
sastrawan, 85 penyanyi dan penari, 35 pelukis, 31 orang pekerja dan pemain film
dan teater, 12 orang dalang, dan 1 orang pematung. Sementara itu, tokoh lain
yang berjumlah lumayan banyak adalah imuwan/akademisi, yang berjumlah 55 orang (11
persen), tokoh militer berjumlah 32 orang, ulama 35 orang, aktivis
kemasyarakatan 31 orang, politisi 21 orang, dan seterusnya.
Menyimak data di atas, wajarlah bila muncul
kesimpulan yang agak berbau spekulatif: warga Sunda mencapai puncak prestasi di
bidang kesenian dan tercecer di bidang politik dan ekonomi.
Menurut Ajip Rosidi, saat peluncuran
ensiklopedi ini, memang ada perasaan rendah diri di kalangan orang Sunda,
karena pengalaman masa lampau mereka yang suram. Sejak kerajaan Sunda jatuh
oleh pasukan gabungan Kesultanan Cirebon dan Banten pada 1579, orang Sunda
Priangan “pareum obor” (“kehilangan obor”). Tanah Sunda terkoyak-koyak di
antara kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan Mataram Islam (sejak 1625).
Perlahan tapi pasti, tanah Sunda jatuh ke genggaman orang Belanda. Dan dimulai
eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan ekonomi dan demografi Sunda.
Kepedihan orang Sunda bukan hanya datang dari penjajah Belanda, melainkan juga
dari penguasa lokal mereka sendiri, seperti yang terungkap dalam novel kondang Max Havelaar dan disertasi sejarah Nina
Herlina Lubis berjudul Kehidupan Kaum
Menak Priangan 1800-1942 (1997).
Tak mengherankan bila menghadapi kondisi ini,
salah satu jalan keluar yang diambil adalah menenggelamkan diri dalam kegiatan
kesenian. Gejala utama serupa terjadi pula di keraton-keraton Mataram
Islam. Setelah Kerajaan Mataam terbelah
dua dalam Perjanjian Giyanti pada 1755, lantas terbelah empat—dan wilayahnya makin
sempit dicaplok Belanda—seni adiluhung keraton mencapai puncaknya.
Tak ada gading yang tak retak. Seperti
diutarakan Ajip Rosidi, “Tentu saja kami sendiri sangat tidak puas dengan hasil
yang kami sampaikan karena masih banyak segi manusia, lama dan budaya Sunda
yang belum ditulis.”
Barangkali itu sebabnya dalam eksiklopedi ini
hanya tercantum tiga olahragawan Sunda.
Kampiun lainnya, seperti almarhum Popo Hartopo, juara moto-cross tingkat Asia; Tonton
Suprapto, juara balap sepeda tingkat Asia pula: Ricky Subagja dan Susy Susanti,
keduanya mencapai puncak prestasi olah raga dunia, antara lain di All England
dan Olimpiade Atlanta; tidak muncul. Kekurangan ain adalah tidak adanya
lema suku Naga, yang tinggal di Desa
Negasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Mereka diakui memiliki sistem kepercayaan
dan sistem norma yang khas bila dibandingkan dengan yang berlaku pada orang
Sunda umumnya (Junus Melalatoa, 1995: 615-617).
Dapat ditemukan pula ketidak-konstenan data
demografi suatu kabupaten, misalnya Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Masalah
lain yang agak mengganggu adalah ketidakjelasan konsep etnisitas dan geografi Sunda.
Siapakah orang Sunda? Apakah mereka yang mewarisi budaya Sunda, atau
semata-mata karena ia lahir di tanah Sunda? Ketidakjelasan konsep ini
mengakibatkan munculnya lema yang agak janggal.
Misalnya tercantumnya lema Eros Djarot, orang Jawa yang dilahirkan di
Rangkasbitung, Slamet Rahardjo Djarot, yang dilahirkan di Serang, dan Teguh
Karya, yang dilahirkan dengan nama Steve Lim Tjoan Hok di Pandeglang, yang kemudian digolongkan sebagai tokoh
Sunda.
Dalam antropologi mutakhir, kriteria suatu
kelompok etnis lazimnya didasarkan pada budaya dominan dan pengakuan orang
tersebut. Ketiga tokoh tadi boleh saja disebut orang Sunda, asalkan buaya Sunda
tampak dominan dalam perilaku mereka sehari-hari, atau mereka mengakui dirinya
sebagai orang sunda.
Betapapun, sekelumit kekurangan di atas
hanyalah bak sebutir debu di sekeranjang permata. (Edi Sudarjat)
No comments:
Post a Comment