Saturday, June 6, 2015

Resensi, Ajip Rosidi et.all., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi [Sundaneese Encyclopedia: Nature, Human, and Culture, Including Cirebon’s and Betawi’s Culture], Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dan The Toyota Foundation, 2000. “Buah Cinta Sang Budayawan [The Outcome of Cultural Observer’s Love]”, TEMPO, March 4, 2001.




Tempo, 4 Maret 2001 hlm. 54-55

 Buah Cinta Sang Budayawan


Ajip Rosidi, dkk., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, PT Dunia Pustaka Jawa, bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan kebudayaan Rancage, 2000. Tebal 714 hlm.


Inilah eksiklopedi etnis terlengkap pertama di Indonesia. Berisi sekitar 3500 lema, ia memaparkan segala rupa perihal Sunda. Tentu sja ensiklopedi ini masih memiliki beberapa kelemahan.

Dari 465 suku bangsa di Indonesia (M. Junus Melalatoa, 1995), ternyata baru etnis Sunda yang sudah memiliki ensiklopedi lengkap. Warga Sunda memang suku terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah sekitar 40 juta jiwa pada tahun 2000. Kehadiran ensiklopedi ini adalah hasil kerja keras tim redaksi dan pengagas utamanya: Ajip Rosidi, yang mengerahkan 40 orang, termasuk para penulis Belanda, Jepang, dan India.
Tanpa memeras otak dan keringat disertai kecintaan kepada budaya Sunda, niscaya ensiklopedi ini tak kan pernah terbit. Waktu pengerjaan yang semula diperkirakan lima tahun ternyata molor sampai hampir sepuluh tahun. Tim redaksi terbentur kenyataan bahwa ahli suatu bidang tidak banyak terlatih menulis, apalagi menulis eksiklopedi, yang memerlukan persiapan khusus. Akibatnya, hampir semua naskah yang masuk harus ditulis ulang atau disunting berat.
Persoalan lain adalah beberapa orang yang semula bersedia duduk sebagai anggota redaksi mengundurkan diri dengan berbagai sebab dan alasan. Dalam perjalanan penyusunan selama hampir satu dasawarsa itu, beberapa orang yang memberi bantuan tidak sempat melihat hasilnya. Mereka antara lain ialah H.K.S. Kostaman, Haryoto Kunto, dan Sayudi, yang telah lebih dulu meninggal dunia.
Toh, banting tulang mereka berbuah manis. Ensiklopedi yang memuat sekitar 3.500 lema ini dipuji pakar senior sastra dan budaya Indonesia dari Leiden, Prof. Dr. A. Teeuw.  “Saya sangat terkesan oleh kualitas ilmiah ensiklopedi ini, berdasarkan pengetahuan luas dan mendalam mengenai hal-hal yang dibahas. Ditulis informatif dan jelas, bahasa Indonesia yang dipergunakannya enak dibaca,” begitu komentarnya.
Acungan jempol datang pula dari Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah, yang mengatakan, “Sungguh suatu pekerjaan raksasa. Merupakan sumbagan besar bagi dunia ilmu.”
Tak dapat dimungkiri, tulisan mendalam, jernih, dan enak dibaca menjadi salah satu kelebihannya, terutama bila dibandingkan dengan ensiklopedi lain, semisal Ensiklopedi Nasional Indonesia (PT Cipta Adi Pustaka, 1988). Tema yang dikemukakan memang sangat luas. Diawali dengan lema Aam Amilia, seorang pengarang merangkap wartawan, diakhiri dengan lema Zainal Asikin Kusumah Atmaja, pensiunan hakim agung. Aneka ragam tradisi rakyat, religi, pantun, kesusastraan, peralatan sehari-hari, makanan, pencak silat, permainan anak-anak, sejarah, biografi singkat tokoh, majalah, koran, dan pelbagai manifestasi kebudayaan Sunda tercakup di dalamnya.
Banyak hal yang belum pernah kita dengar sebelumnya, misalnya Agrabintana, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Tanjungkidul—sekarang disebut Ujung Genteng, Surade, Sukabumi Selatan, suatu kerajaan yang jarang didengar orang. Ensiklopedi ini juga memaparkan aneka religi di tanah Sunda, seperti agama Jawa-Sunda yang diajarkan Madrais dari Cigugur, Kuningan, dan agama Sunda Wiwitan yang dianut komunitas Baduy di Kanekes Banten. Yang lebih unik lagi, pelbagai permainan anak-anak tradisional seperti pacici-cici putri, paciwit-ciwit lutung, dan oray-orayan, juga dimasukkan dalam entri.
Komposisi tokoh Sunda yang mencakup 497 tokoh, 274 (55,1 persen) di antaranya adalah seniman yang terdiri dari 110 sastrawan, 85 penyanyi dan penari, 35 pelukis, 31 orang pekerja dan pemain film dan teater, 12 orang dalang, dan 1 orang pematung. Sementara itu, tokoh lain yang berjumlah lumayan banyak adalah imuwan/akademisi, yang berjumlah 55 orang (11 persen), tokoh militer berjumlah 32 orang, ulama 35 orang, aktivis kemasyarakatan 31 orang, politisi 21 orang, dan seterusnya.
Menyimak data di atas, wajarlah bila muncul kesimpulan yang agak berbau spekulatif: warga Sunda mencapai puncak prestasi di bidang kesenian dan tercecer di bidang politik dan ekonomi.
Menurut Ajip Rosidi, saat peluncuran ensiklopedi ini, memang ada perasaan rendah diri di kalangan orang Sunda, karena pengalaman masa lampau mereka yang suram. Sejak kerajaan Sunda jatuh oleh pasukan gabungan Kesultanan Cirebon dan Banten pada 1579, orang Sunda Priangan  “pareum obor” (“kehilangan obor”). Tanah Sunda terkoyak-koyak di antara kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan Mataram Islam (sejak 1625). Perlahan tapi pasti, tanah Sunda jatuh ke genggaman orang Belanda. Dan dimulai eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan ekonomi dan demografi Sunda. Kepedihan orang Sunda bukan hanya datang dari penjajah Belanda, melainkan juga dari penguasa lokal mereka sendiri, seperti yang terungkap dalam novel kondang Max Havelaar dan disertasi sejarah Nina Herlina Lubis berjudul Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (1997).
Tak mengherankan bila menghadapi kondisi ini, salah satu jalan keluar yang diambil adalah menenggelamkan diri dalam kegiatan kesenian. Gejala utama serupa terjadi pula di keraton-keraton Mataram Islam.  Setelah Kerajaan Mataam terbelah dua dalam Perjanjian Giyanti pada 1755, lantas terbelah empat—dan wilayahnya makin sempit dicaplok Belanda—seni adiluhung keraton mencapai puncaknya.
Tak ada gading yang tak retak. Seperti diutarakan Ajip Rosidi, “Tentu saja kami sendiri sangat tidak puas dengan hasil yang kami sampaikan karena masih banyak segi manusia, lama dan budaya Sunda yang belum ditulis.”
Barangkali itu sebabnya dalam eksiklopedi ini hanya tercantum tiga olahragawan Sunda.  Kampiun lainnya, seperti almarhum Popo Hartopo, juara moto-cross tingkat Asia; Tonton Suprapto, juara balap sepeda tingkat Asia pula: Ricky Subagja dan Susy Susanti, keduanya mencapai puncak prestasi olah raga dunia, antara lain di All England dan Olimpiade Atlanta; tidak muncul. Kekurangan ain adalah tidak adanya lema  suku Naga, yang tinggal di Desa Negasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Mereka diakui memiliki sistem kepercayaan dan sistem norma yang khas bila dibandingkan dengan yang berlaku pada orang Sunda umumnya (Junus Melalatoa, 1995: 615-617).
Dapat ditemukan pula ketidak-konstenan data demografi suatu kabupaten, misalnya Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Masalah lain yang agak mengganggu adalah ketidakjelasan konsep etnisitas dan geografi Sunda. Siapakah orang Sunda? Apakah mereka yang mewarisi budaya Sunda, atau semata-mata karena ia lahir di tanah Sunda? Ketidakjelasan konsep ini mengakibatkan munculnya lema yang agak janggal.  Misalnya tercantumnya lema Eros Djarot, orang Jawa yang dilahirkan di Rangkasbitung, Slamet Rahardjo Djarot, yang dilahirkan di Serang, dan Teguh Karya, yang dilahirkan dengan nama Steve Lim Tjoan Hok di Pandeglang,  yang kemudian digolongkan sebagai tokoh Sunda.
Dalam antropologi mutakhir, kriteria suatu kelompok etnis lazimnya didasarkan pada budaya dominan dan pengakuan orang tersebut. Ketiga tokoh tadi boleh saja disebut orang Sunda, asalkan buaya Sunda tampak dominan dalam perilaku mereka sehari-hari, atau mereka mengakui dirinya sebagai orang sunda.
Betapapun, sekelumit kekurangan di atas hanyalah bak sebutir debu di sekeranjang permata. (Edi Sudarjat)






No comments:

Post a Comment