Wednesday, June 10, 2015

“Menara Kudus, Kurban, Soto, dan Sate Kerbau: Toleransi dan Kerukunan dalam Islam [Kudus Minaret, Religious Offering, Soup and Carabao Satay: Tolerance and Harmony in Islami], Mimbar Ulama, a magazine published by Majelis Ulama Indonesia (Indonesian Ulema Council), July, 2012


Menara Kudus, Kurban, Soto, dan Sate Kerbau:     Toleransi dan Kerukunan dalam Islam

Pernahkah Anda mampir ke Kabupaten Kudus, Jawa Tengah? Kabupaten seluas 425,16 km persegi yang bersih dan apik ini harum namanya di kalangan ummat Islam. Di sinilah dahulu salah seorang wali songo (wali sembilan) yang disebut Sunan Kudus, menyebarkan agama Islam. Sejak masa hidupnya, sekitar tahun 1500-an Masehi (M) hingga kini, 500 tahun kemudian, warisan dakwahnya tetap terpelihara.

Warisan dakwah Sunan Kudus tergolong istimewa. Ia bukan hanya mewariskan seperangkat aturan syariah seperti para wali lainnya, namun meninggalkan dua pusaka lagi: pertama, perpaduan (akulturasi) budaya Hindu dan Islam; kedua, toleransi dan kerukunan beragama. Perpaduan budaya itu tampak pada arsitektur bangunan di kompleks mesjid Kudus. Sedangkan toleransi dan kerukunan beragama terlihat pada adat-istiadat warga Kudus yang “mengharamkan” daging sapi.


Menara Mesjid Kudus
Menara Kudus merupakan pelengkap kompleks bangunan mesjid Kudus, yang terletak di  Desa Kauman, Kecamatan Kudus Kota. Mesjid ini sesungguhnya bernama al-Aqsa al-Manar, namun lebih dikenal dengan nama mesjid Kudus.

Pengaruh budaya Hindu dapat dilihat dari bangunan bata pada gapura bentar, gapura paduraksa dan menara Kudus bagian kaki dan tubuh. Sedangkan budaya Islam dapat dilihat bangunan mesjid itu sendiri, meski sulit untuk mengetahui bentuk aslinya, lantaran sudah berulangkali diperbaiki dan tidak ada catatan tertulis mengenai perbaikan tersebut.

Konstruksi menara Kudus sama dengan bangunan candi Hindu, yang terdiri dari kaki, badan dan atap. Sedangkan struktur bangunannya terdiri dari bagian kaki, tubuh dan kepala. Bagian kaki dan tubuh menara tersusun dari bata. Lalu pada bagian kepala terdapat sebuah bangunan kayu berukuran sekitar 4 x 4 meter yang berlantai kayu. Bangunan kayu ini beratap tajug yang ditopang empat soko guru (tiang utama) di bagian tengah, dan 12 soko pendamping yang ada di sekelilingnya.

Tidak ada keterangan pasti siapa dan kapan kompleks mesjid ini dibangun. Juga tidak diperoleh keterangan yang kokoh secara ilmiah mengenai siapa sesungguhnya Sunan Kudus. Maklum, sumber sejarah yang tersedia tidak mencukupi. Para ahli sejarah dan arkeologi menggali informasi dari babad: karya sastra Jawa yang mengandung unsur sejarah. Sebagai karya sastra, maka khayalan dan kenyataan bercampur-baur di dalam babad. Sumber informasi lain yang dapat dipercaya adalah laporan pengelana asing dari Eropa atau China, namun sangat sedikit jumlahnya.

Lagipula, pada zaman itu tidak banyak orang yang mampu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal huruf Latin. Mereka menulis dengan aksara Jawa atau Arab. Hanya segelintir orang yang mengenal kertas dan pena. Dengan demikian, sudah pasti tidak ada toko buku seperti seperti sekarang. Umumnya, orang menulis di daun lontar, kulit hewan atau kain. Wajarlah bila keterangan tertulis tentang kehidupan di masa itu langka.  

Sekalipun demikian, orang berusaha memperkirakan kapan menara Kudus didirikan. Nah, di menara itu terdapat candra sengkala berbunyi gapura rusak ewahing jagad,  yang dapat diartikan tahun 1609 Jawa atau 1685 M. Berdasarkan keterangan ini,  orang menduga menara Kudus dibangun pada 1685 M.  

Candra sengkala adalah kata-kata atau simbol yang melambangkan angka. Kalau di zaman sekarang, mirip dengan kode buntut. Misalnya kata pohon berarti angka satu, kembang berarti angka sembilan, monyet berarti angka 23. Jadi, kalau di suatu gapura tertulis candra sengkala “pohon dan kembang dirabut monyet”, maka dapat diartikan gapura tersebut dibangun pada tahun 1923 Jawa atau 1999 M.
Mengapa orang menggunakan candra sengkala? Yah..., waktu itu orang Jawa belum banyak yang mengenal angka Arab (١,٢,٣) atau Latin (1,2,3 dst). Angka Arab dan Latin baru dipergunakan orang Jawa setelah peradaban Islam dan Eropa diserap dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi candra sengkala di menara itu rupanya bukan keterangan tentang tahun pembangunan menara Kudus. Sebab, seorang musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678 M sempat menyaksikan menara Kudus dan menyatakan kekagumannya. Dalam laporannya ia menulis, “menara raksasa [Kudus adalah] suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Kekaguman Hurdt ini dikutip de Graaf dan Pigeaud dalam karyanya yang terkenal, Kerajaaan-kerajaan Islam di Jawa Hurdt menyampaikan bahwa tahun 1678 M menara Kudus sudah berdiri kukuh. Dengan demikian, dugaan bahwa menara Kudus dibangun pada 1685 M, sudah pasti keliru.

Toh, meskipun kita tidak tahu dengan pasti kapan dan siapa yang membangun kompleks mesjid Kudus, kita tahu pasti bahwa orang-orang Islam di Kudus sejak 500 tahun lalu sangat menghargai budaya agama lain. Mereka juga memadukan budaya Hindu dengan budaya Islam. Mereka tidak merusak atau menghancurkan candi. Arsitektur candi Hindu yang indah dan berseni, dimanfaatkan sebagai menara dan mesjid: sungguh sebuah teladan “bangunan” toleransi dan kerukunan yang elok.

Kurban, Soto dan Sate Kerbau
Seperti terkisahkan dalam legenda dan karya sastra tradisional, Sunan Kudus adalah sosok yang tegas menerapkan syariah Islam. Ketegasan ini rupanya dibarengi dengan toleransi dan penghargaan kepada tradisi non-Islam yang dianut penduduk setempat ketika ia mula-mula berdakwah.
Sebagaimana diketahui, dalam agama Hindu, sapi adalah hewan suci. Demi menjaga perasaan orang yang beragama Hindu, Sunan Kudus menganjurkan kepada yang orang Hindu sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Berkat anjuran tersebut, sampai sekarang ummat Islam di Kudus tidak menyembelih sapi. Para makanan pun tidak menjual soto dan sate sapi, melainkan soto dan sate kerbau. Agaknya, berkat anjuran itu pula  banyak ditemukan penjual soto dan sate kerbau di Kudus. Boleh dikatakan, soto dan sate kerbau adalah ciri kota Kudus.


Selain itu, sampai sekarang warga Kudus tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban di hari Idul Adha. Sebagai gantinya, mereka menyembelih kerbau. Di Kabupaten Kudus, orang Hindu dan Budha sekarang tidak lebih dari 1.500 jiwa; sementara orang Islam sekitar 734.000 jiwa. Artinya, jumlah orang Hindu dan Budha hanya 0,2 persen dari orang Islam. Sungguhpun demikian, ummat Islam di Kudus tetap menghargai dan sangat toleran kepada mereka. Buah dari penghargaan dan toleransi itu, kiranya adalah terciptanya kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Kudus.*** (Edi Sudarjat

No comments:

Post a Comment