Tuesday, June 23, 2015

Resensi: Asal-usul Konflik Etnis Madura-Dayak



REPUBLIKA - Minggu, 30 Desember 2001     

Asal-usul Konflik Etnis Madura-Dayak

Inilah disertasi yang paling sering disebut orang ketika membicarakan konflik etnis Madura dan Dayak di Kalimantan Barat (Kalbar). Sejatinya, penelitian almarhum Hendro bukan membahas konflik etnis, melainkan migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar. Namun selain memaparkan latar belakang, faktor-faktor pendorong dan penarik migrasi, ia juga meneliti hubungan dan pandangan orang Madura terhadap suku lainnya di Kalbar.

Buku yang diterbitkan oleh ISAI (Isntitut Studi Arus Informasi) ini menjelaskan hubungan dan pandangan orang Madura terhadap orang Bugis, Melayu, Cina, dan Dayak. Tak alpa pula ia menelaah penyebab konflik antara etnis Madura dan Dayak yang berlangsung sebelum tahun 1984 --saat disertasi ini ditulis. Pada bagian inilah ia menyumbangkan pengetahuan yang sangat berharga.

Hendro menjaring informasi lewat pengumpulan sumber primer dan sekunder, serta menyebar 400 kuesioner tipe pilihan kepada para migran asal Madura, ditambah wawancara terhadap puluhan informan kunci. Ia menggunakan konsep yang kini marak dibicarakan orang, yakni prasangka, stereotipe, etnosentrisme, konflik, konsiliasi, asimilasi dan permusuhan terbuka. Kalaupun ada kelemahan dalam disertasi ini adalah: ia tidak menggunakan sumber informasi sezaman pada periode yang ia teliti, semisal arsip, koran, dan majalah.

Berdasarkan data dan pengamatan Hendro, migrasi swakarsa orang Madura ke Kalbar telah berlangsung lama, tepatnya sejak 1902. Kebanyakan mereka berasal dari dua kabupaten di bagian barat pulau garam itu, yakni Bangkalan dan Sampang. Mengapa? Pada dua kabupaten inilah penduduknya paling banyak (hlm. 50).

Penduduk Madura memang padat. Seperti diurai dalam disertasi Huub de Jonge (1989: 21), sejak 1815 sampai 1940 penduduk Madura malah lebih padat dari pulau Jawa. Artinya sampai 1940 Madura adalah pulau terpadat penduduknya di Indonesia. Kepadatan penduduk yang tinggi ini berakibat pada sempitnya pemilikan tanah: rata-rata 0,3 ha per orang (hlm. 57). Faktor pendorong migrasi lainnya adalah tanah di Madura tergolong gersang.

Kepadatan penduduk, tanah gersang, keberanian dan kebiasaan bermigrasi, ditambah satu pendukung berlangsungnya migrasi yang juga penting, yakni tersedianya armada kapal layar Madura yang mampu menjangkau wilayah jauh, sampai ke Semenanjung Malaya.

Adapun Kalbar menjadi daerah tujuan migrasi lantaran kepadatan penduduknya rendah. Pada 1980 hanya 17 jiwa per km persegi. Kalbar jelas membutuhkan pekerja untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infra struktur perekonomiannya. Dan kebutuhan ini, terutama pekerja kasar, diisi orang Madura.

Para juragan kapal yang sering bolak-balik ke Kalbarlah yang mula-mula membawa mereka ke sana. Bila calon migran tidak punya ongkos, juragan kapal bersedia menanggungnya lebih dahulu, dengan perjanjian akan dilunasi setelah mereka bekerja di Kalbar. Para migran ini dipikat lewat "janji surga" betapa gampangnya mencari kekayaan di tanah seberang. Pemeo yang kondang saat itu ialah, "Sejengkal memotong akar pinang, mendapat uang 50 ketip."

Ternyata mulut manis juragan kapal itu 'berbisa.' Sesampainya di Kalbar para migran tersebut 'dijual' layaknya perbudakan terselubung! Zaman penuh kepedihan dan penderitaan ini -- yang sangat jarang diceritakan kepada anak cucunya -- disebut 'Periode Perintisan' (1902-1942). Setelah itu disambung "Periode Surut" (1942-1950) lantaran masuknya Jepang dan meletusnya revolusi kemerdekaan.

Setelah bertahun-tahun membanting tulang akhirnya para migran itu tiba pada 'Periode Keberhasilan' (1950-1980). Pada masa ini mereka hidup layak. Mereka memiliki rumah dan kebun, bahkan menguasai sektor-sektor ekonomi informal tertentu, semisal penarik becak, penambang sampan, dan pekerja jalan darat (hlm. 84).

Apa yang membuat mereka berhasil? Hendro melihat sejumlah faktor, antara lain, pertama, mereka memiliki etos kerja dan jiwa wirausaha yang kuat sehingga sanggup bekerja keras, menderita, dan hidup hemat. Etos kerja ini didorong rasa malu (todus) yang tercermin dalam pepatah Ango'an potea tolang, e tebang pote mata (lebih baik putih tulang, daripada putih mata). Maknanya adalah lebih baik mati daripada gagal dalam kehidupan di rantau (hlm. 81).

Kedua, solidaritas sosial mereka sangat tinggi. Banyak migran Madura ke Kalbar tanpa membawa modal usaha sepeser pun. Mereka yakin, keluarga atau teman-temannya di rantau akan membantu. Kombinasi solidaritas dan kerja keras itu membuat mereka menguasai sektor-sektor perdagangan tertentu, sehingga orang-orang non Madura yang lebih dulu bergerak di bidang itu terdesak, bahkan terlempar keluar.

Belakangan, soal ini menjadi salah satu faktor penyebab meletusnya konflik etnis Madura melawan Melayu di Sambas, Kalbar. Pasalnya, migran Madura acap merebut kesempatan kerja dan pemilikan barang melalui kekerasan atau intimidasi --tidak lagi melalui jalan yang sah. (Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, "Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis", Antropologi Indonesia, Th XXIII, No. 58, 1999, hlm.41)

Lantas, faktor apa saja yang menimbulkan konflik? Hendro mencatat, pertama, sifat dan kelakuan dari 'tanah air' (rasa kesukuan atau ethnic urbanism) di Madura dibawa serta bermigrasi. Adat carok dan solidaritas kuat -meski acap membabi buta-- mereka bawa ke Kalbar. Akibatnya pertengkaran antar individu segera menjelma menjadi pertengkaran antar kelompok. Perkelahian antar kelompok kontan berkobar menjadi perang suku.

Kedua, pola pemukiman reng Madure kebanyakan pola kelompok, bukan pola sisipan. Ini membuat proses asimilasi dengan warga setempat terhalang.

Ketiga, tingkat pendidikan para migran sangat rendah. Otomatis mereka sulit mengunyah-nguyah informasi, beradaptasi, dan hanya mampu menguasai sektor formal. Dari 400 responden penelitian Hendro, 79 persen di antaranya tidak sekolah/buta huruf dan 10 persen lagi tidak tamat SD.

Hubungan etnis Madura-Dayak kurang harmonis antara lain karena faktor-faktor tersebut di atas. Sifat keras orang Madura, juga terdapat pada orang Dayak. Tingkat pendidikan dan posisi ekonomi kedua suku ini hampir sejajar: sama-sama rendah dan mengisi sektor informal. Sementara agama dan adat mereka berbeda. Di sisi lain hubungan etnis Madura-Bugis di Kalbar rukun lantaran faktor kesamaan agama.

Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada kedua suku itu menambah kekurangharmonisan. Orang Madura menggunakan bahasa Indonesia dialek Madura yang kurang sempurna. Sedangkan orang Dayak berbahasa Indonesia aksen Dayak yang juga kurang sempurna. Intonasi meledak-ledak sebagai pencerminan dari sifat etnis Madura yang keras, mudah menimbulkan salah paham.

Toh, kekurangharmonisan ini tidak berarti kedua suku itu tidak melakukan kontak sosial. Hubungan sosial mereka diwarnai sikap prasangka dan menjaga jarak. Yang menggembirakan bahwa di beberapa kampung, seperti di Sungai Ambawang dan Marga Mulia, terjadi perkawinan antara orang Madura dan Dayak. Hendro berharap, seandainya perkawinan macam ini makin banyak, lambat laun kekurangharmonisan dalam pergaulan sosial mereka akan berkurang (hlm. 140).

Ternyata harapan mulia penulis buku ini sekarang tinggal kenangan belaka. Setelah disertasi ini ditulis, konflik Madura-Dayak malah memuncak dan berlarut-larut hingga kini. Betapapun demikian, buku ini menjadi penting lantaran mampu menganalisis faktor-faktor penyebab konflik dan membuka jalan untuk rekonsiliasi.

Edi Sudarjat, Peneliti pada Centre for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS) Jakarta

No comments:

Post a Comment