Saturday, November 21, 2015

Republika, Resensi Bogor Masa Revolusi (1945-1950), Sholeh Iskandar dan Batalyon O, Siliwangi



Rubrik        :   Resensi Buku
Data buku   :   Edi Sudarjat, Bogor Masa Revolusi 1945-1950, Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi, Depok: Komunitas Bambu, 2015. (xxiv + 182 hlm; 14 x 21 cm)
Judul          :   Bogor Masa Revolusi (1945-1950): Buku Sejarah yang Menggugah dan Menyenangkan


Tidak banyak buku sejarah seperti ini: penting, menarik, menyenangkan, sekaligus ilmiah.  Penting karena buku ini mengisahkan perjuangan rakyat Bogor di masa revolusi (1945-1950): sebuah topik langka. Sejauh ini hanya ada dua buku dengan topik sejenis, tetapi tidak disajikan untuk umum, melainkan untuk memenuhi keperluan dinas pemerintahan di Kabupaten Bogor.

Menarik karena dihiasi foto-foto langka yang ekslusif dan menampilkan cukup banyak riwayat tokoh lokal di Bogor. Selama ini para tokoh itu hanya diketahui masyarakat sebagai nama jalan, seperti Jl. KH Sholeh Iskandar, Jl. KH Abdullah bin Nuh, Jl. Kapten H Dasuki Bakri, dan Jl. H. Ace Tabrani.

Khusus KH Sholeh Iskandar, sesungguhnya ia bukan tokoh lokal, melainkan nasional, dengan pencapaian internasional. Tak heran bila sejak tahun 1995 ia diusulkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sebagai pahlawan nasional, bersama M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, KH Noer Alie dan Kasman Singodimedjo. Gelar pahlawan nasional itu telah dianugerahkan pemerintah kepada KH Noer Alie pada 2006, M. Natsir pada 2008, dan Sjafruddin Prawiranegara pada 2011. KH Sholeh Iskandar dan Kasman Singodimedjo belum memperoleh anugerah tersebut, kendati bagi umat Islam, keduanya sejak lama dipandang sebagai pahlawan.

Lebih jauh, buku ini disebut menyenangkan, karena disajikan dengan bahasa yang enak dibaca—tidak bikin kepala kita puyeng—dan menampilkan sisipan kisah-kisah yang manusiawi dalam perjuangan. Misalnya: 
(1) sejumlah tentara India-Inggris Muslim yang bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI); 
(2) Mayor A.E. Kawilarang yang naik pangkat hanya dalam waktu 10 menit. Belakangan tahun kemudian Kawilarang menjadi pendiri pasukan elite Indonesia yang kini dinamai Kopassus, dan; 
(3) komentar dari Komandan Markas Besar Tentara Letjen. Urip Sumoharjo ketika menginspeksi satu batalyon pasukan di Sumedang yang semuanya hanya bersenjatakan bambu runcing; sehingga ia berbisik kepada Panglima Divisi Siliwangi A.H. Nasution, “Nas..., kamu suruh saya memeriksa pagar bambu?”   

Di samping itu, kadar ilmiah buku ini tampak dari ketaatan penulisnya mematuhi metode penulisan sejarah, seraya menampilkan arsip-arsip dari Indonesia dan Belanda yang tidak mudah diperoleh. 
*  *  *
Wajarlah bila acungan jempol terhadap penulis dan buku ini datang dari sejarawan muda JJ Rijal.  Melalui facebook-nya, Rijal menulis, “[Edi Sudarjat] senior saya yang dulu mahasiswa sejarah di FSUI (kini FIB UI) dan terutama cemerlang dalam sejarah pergerakan nasional sampai revolusi Indonesia. Ia senior dari kelompok Islam yang kalau menulis mengingatkan saya pada almarhum Deliar Noer. Sangat berwibawa karena kekuatan analisis dan datanya, tetapi menarik juga karena Kang Edi, begitu saya memanggilnya, memiliki gaya narasi sastera.

Bukan saja berkisah, tetapi juga menunjukkan ekspresi total untuk memasuki dan memahami alam pikiran zaman bersiap serta perasaan tokoh-tokohnya yang elit maupun alit, sebut saja kisah laskar rakyat. Seperti biasa kekuatannya dalam data pustaka dan arsip diperkaya oleh wawancara yang luas yang menjadi basis sebuah sejarah lisan sebagai sumber yang memungkinkan suara dan kisah yang tidak tercatat bahkan dihapuskan, dapat tampil kembali.

Alhasil buku ini bukan saja sapuan-sapuan besar, tetapi juga petit histoire atau sejarah kecil berkelindan bersuara, bercerita sejarah. Apalagi dilengkapinya pula dengan sejumlah foto-foto dari arsip koran, majalah sezaman, dan teristimewa foto koleksi pribadi orang-orang yang terlibat revolusi Bogor itu. Sungguh buku kecil yang menggugah dan menggembirakan...”
* * *
Buku ini terdiri dari dua bab, pertama, Sekilas tentang Berdirinya TNI & Batalyon O Tirtayasa Siliwangi, dan; kedua, Perjuangan Rakyat Bogor di Masa Revolusi.

Bab pertama mengantarkan pembaca di zaman sekarang memahami zaman revolusi, berikut dinamika yang terjadi waktu itu. Dengan demikian, pembaca akan memahami bahwa perjuangan di masa itu dilakukan oleh segenap rakyat, termasuk para pejuang perempuan, bukan melulu oleh tentara dan elit politik.

Bab kedua memaparkan perjalanan revolusi di Bogor, berikut puluhan pimpinan pejuang yang terlibat di dalamnya. Tidak banyak yang tahu bahwa pernah terjadi kudeta di Bogor yang dilancarkan oleh Ki Nariya, namun tidak berlangsung lama karena berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan TNI dan laskar.

Akhirnya, sekilas paparan tentang isi buku ini semoga dapat menggugah Anda untuk menelusuri baris demi baris fakta sejarah, berikut foto-fotonya yang memikat yang dituangkan dalam buku tersebut.***

Friday, August 7, 2015

Paparan Bedah Buku Citeureup






















Bedah Buku: Citeureup Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan




Peringati HUT, Indocement Gelar Bedah Buku
http://koranbogor.com/peringati-hut-indocement-gelar-bedah-buku/

KORANBOGOR.com, BOGOR – Kepedulian PT. Indocement Tunggal Prakasa (ITP) Citeureup Kabupaten Bogor melalui dana Corporate Sosial Responsibility Departemen yang digulirkan melalui 5 Pilarpengembangan masyarakat yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, social budaya agama & olahraga serta keamanan patut mendapat acungan jempol.
Menurut Direktur Eksekutif Indocment Kuky Permana, saat ini CSR Indocement sudah berada tahap creating shared value untuk msayarakat di wilayah binaan dan diharapkan dapat terbentuk generasi yang lebih berkualitas dalam mencapai masyarakat mandiri yang berkelanjutan. Hal itu dikatakan Kuky dalam bedah buku Citeureup yang ditulis Anto Dwiastoro di Gedung Serbaguna Indocement, Kamis (6/7).
Acara bedah buku ini menghadirkan sejarawan nasional, Edi Sudrajat, Direktur Research Center for Institutiona Develpopment Unversitas Indonesia , Triarko Nurlambang, MA, Ph.D, dan penulis buku Citeureup Anto Dwiastoro,dengan moderator wartawan senior Kompas, Anton Wisnu Nugroho.
 Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan HUT Indocement yang ke 40 tahun. “Dengan bedah buku ini diharapkan masayarakat memahami kondisi Citeureup bahwa pengembangan masyarakat di wilayah Indocement sudah tidak lagi berada dalam kondisi philantrophy (kedermawanan) tapi sudah menjajaki suatu tahapan menuju masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan,”tegasnya.
Sementara itu Corporate Secretary, Pigo Pramusakti yang membuka acara tersebut mengatakan bahwa Indocment yang didirikan 40 tahun lalu, sudah mengalami 3 dekade, 10 tahun pertama sudah mengubah kebijakan dari impor menjadi ekspor, decade kedua nasionalisasi berupa penyerahan operasional ke para putra bangsa, dekede ke tiga menjadi perusahan multinasional dan memberi kontribusi kepada masyakat (people) dan planet melalui dana CSR.
Kegiatan bedah buku tersebut dihadiri Camat Citeureup, Ketua MUI Citeureup, Ketua KNPI Citeureup serta pemerhati budaya lokal hingga nasional. Yang menarik acara ini diisi oleh Orkes Keroncong Tugu yang merupakan generasi Mayor Yance, sosok yang erat kaitannya dengan isi buku tersebut. Buku ekslusif yang dikarang Anto Dwiastoro dan dibiayai sepenuhnya oleh CSR Indocement ini bekerjasama dengan Yayasan Tapak Citeureup, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Sebelumnya dilakukan peluncuran Buku Citeureup pada Selasa (4/8) di Rumah Pintar Desa Tajur Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. (dang HP). 

Tuesday, July 7, 2015

KH Sholeh Iskandar: Pejuang Bereputasi Internasional


KH R Abdullah bin Nuh: Sang Ulama Pejuang



KH. RADEN Abdullah bin Nuh:
Sang Ulama, Penyair dan
Pejuang Kemerdekaan RI


“Jika tidak ada kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun Kiai Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakry, rasanya saya tidak akan bisa berbahasa Arab,” ujar Prof. Dr. Machasin, MA pada tahun 2004. “Waktu saya kuliah, belum ada kamus Indonesia-Arab, yang ada kamus Arab-Melayu Mahmud Yunus. Tapi bahasa Melayu kan membingungkan,” sambung Prof. Machasin, yang juga pernah menjabat Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI.

Demikianlah arti penting kamus yang disusun Abdullah bin Nuh & Oemar Bakry. Kamus ini  pertama kali diterbitkan 1959, tebalnya 330 halaman dan dihiasi gambar ilustrasi 28 halaman. Pada 1990-an, kamus ini masih dicetak ulang.

Siapapun yang menyusun kamus, pastilah ia orang yang tekun dan terpelajar serta mencintai ilmu. Soalnya menyusun kamus tiga bahasa bukan pekerjaan gampang, diperlukan ketekunan, ketelitian, dan ilmu yang luas; lagipula pada dasawarsa 1950-an, honornya tidak seberapa besar. 

Sejak kecil, Abdullah bin Nuh memang dikenal sebagai pecinta ilmu, tekun dan jenius. Dalam usia 13 tahun, ia mampu menggubah syair berbahasa Arab. Rupanya bahasa Arab bukan hal asing bagi dirinya. Di usia balita, ia dibawa keluarganya bermukim di Makkah selama dua tahun. Ia tinggal bersama Nyi Raden Kalifah Respati, nenek dari ayahnya yang kaya raya dari Cianjur dan ingin meninggal di Makkah. Pengalamannya tinggal di sana cukup meninggalkan kesan khusus. Ia seringkali bercerita pada keluarganya tentang pedagang-pedagang makanan pagi di Makkah yang menjajakan barang dagangan sambil berseru El Batato ya Nas. “Kalau di Indonesia, tak ubahnya seperti pedagang-pedagang yang ada di Yogya yang menjajakan dagangannya sambil berseru Gudege nggih den…. Gudege nggih den,tuturnya kepada keluarga.

Abdullah bin Nuh menimba ilmu pertama kali di  pesantren keluarganya, I‘anatut Talibil Muslimin di Cianjur, dilanjutkan ke Madrasah Syamailul Huda, Pekalongan, Jawa Tengah; lalu mengikuti gurunya ke Surabaya, Jawa Timur, untuk mendirikan Hadramaut School (1922-1926). Tidak tangung-tanggung, ia belajar lebih jauh lagi ke Jamiatul Azhar, Kairo, Mesir (1926-1928).

Sepulangnya dari Kairo, ia tingal di Ciwaringin, Bogor untuk mengajar Madrasah Islamiyah, lalu pulang ke Cianjur untuk mengajar di pesantren keluarganya (1930). Tak lama kemudian ia dinikahkan dengan R. Mariyah binti R. Haji Abdullah. Saat itu ia pulang-pergi Cianjur-Bogor untuk mengajar di madrasah dan sekolah menengah umum MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Tentu bukan perkara mudah dapat mengajar di sekolah dengan sistem pendidikan Belanda seperti MULO.

Di masa itu, ia aktif menyebarkan semangat nasionalisme anti penjajahan melalui ceramah dan pengajaran di majelis taklim, pesantren dan di sekolah-sekolah.  Ia bersahabat dengan para ulama di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, antara lain dengan KH Ahmad Sanusi dari Cantayan, Sukabumi, yang sangat terkenal waktu itu. KH Ahmad Sanusi sempat dibuang ke Tanah Tinggi, Batavia Centrum selama enam tahun (1928-1934).

Sama halnya dengan Abdullah bin Nuh, KH Sanusi juga seorang yang tekun, jenius, dan pejuang kemerdekaan. KH Ahmad Sanusi menulis 480 (empat ratus delapan puluh!) karya tulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia.  Ia juga mendirikan organisasi agama dan pergerakan nasional Al-Ittihadiyyatul Islamiyyah (1930) yang kemudian berfusi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) serta dipilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945.

Pistol dan Tasbih
Dalam perjalanan berikutnya, Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, lalu Jepang menjalankan kebijakan politik yang berbeda dengan Belanda. Demi meraih dukungan dari bangsa Indonesia, Jepang berjanji akan memberi kemerdekaan. Demi meraih dukungan itu pula, Jepang merekrut banyak orang Indonesia dan tokoh ummat Islam untuk menjalankan pemerintahan dan menempati jabatan tinggi. Jepang kekurangan pegawai untuk mengelola birokrasi, karena kapal mereka yang membawa aparat birokrasi dari negerinya ditenggelamkan pasukan sekutu dengan senjata torpedo.  

KH Hasjim Asj’ari, hadratus syaikh Nahdlatul Ulama misalnya, diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama  (Shumubu) yang kegiatan sehari-hari dilaksanakan putranya KH Wahid Hasjim. Sedangkan KH Ahmad Sanusi diangkat sebagai wakil residen Bogor (Fuku Shucokan), yang membawahi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi.

Para tokoh Islam ditunjuk mengikuti pelatihan militer Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor (sekarang menjadi Pusat Pendidikan Zeni). Di antaranya ialah Soedirman, yang kelak menjadi Panglima Besar TNI; Kasman Singodimedjo yang kelak menjadi ketua Mahkamah Agung pertama RI; dan Abdullah bin Nuh, yang ditunjuk sebagai komandan batalyon (Daidanco) untuk wilayah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, bermarkas di Ujung Genteng-Jampang Kulon, Sukabumi.  

Saat kemerdekaan tiba, Abdullah bin Nuh ditunjuk sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR)—cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI)--Sukabumi dan ketua Partai Masyumi se-Keresidenan Bogor. Penampilan Abdullah bin Nuh sebagai komandan dituturkan oleh rekan seperjuangannya, KH Dadun Abdul Qohhar. “Mama’ Abdullah bin Nuh sering terlihat naik kuda, dengan pistol di pinggang sambil memegang tasbih di tangan,” kata KH Dadun Abdul Qohhar. Sungguh sebuah kombinasi menarik: pistol dan tasbih. 

Dari komandan tentara, KH Abdullah bin Nuh diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): lembaga legislatif sebelum ada Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika Jakarta diduduki tentara Sekutu, ia ikut hijrah bersama pemerintah RI ke Yogyakarta. Di kota gudeg ini, ia ditunjuk sebagai kepala seksi siaran bahasa Arab di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogya, sekaligus koresponden Kantor Berita APB (Arabian Press Board). Melalui siaran berbahasa Arab inilah kemerdekaan Indonesia diketahui dan didukung bangsa-bangsa Arab. Di Yogya, ia ditunjuk sebagai anggota Dewan Guru dan Senat University Islam Indonesia (UII).

Namun Yogyakarta kemudian diduduki Belanda pada Agresi Militer II, Desember 1948.  Bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia menyingkir ke pedalaman dan ikut bergerilya. Di kala tinggal di Argosari, ia dinikahkan dengan Mursyidah binti H. Abdullah Sayuti di Kebarongan, Banyumas, pada 5 juni 1949.

Ilmuwan yang Mumpuni
Usai revolusi, Abdullah bin Nuh tinggal di Jakarta (1950-1970). Dunia pendidikan kembali memanggilnya. Ia mengajar di perguruan tinggi terkemuka, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada 1960-1967, tanpa meninggalkan mengajar di sejumlah pengajian serta majelis taklim. Ia juga menjabat kepala seksi bahasa Arab RRI Jakarta (1950-1964) dan menjadi pimpinan majalah Syunul Indonesia edisi bahasa Arab yang diterbitkan Departemen Penerangan. Sebagai ilmuwan, tak lupa pula ia  mendirikan Islamic Research Institute. 

Rekan-rekan dan mantan muridnya di FSUI mengenangnya sebagai dosen yang kaya ilmu, bertutur lemah-lembut dan mampu mengajar dengan terang-benderang, sebagaimana ia menulis dan menerjemahkan berbagai buku. Abdullah bin Nuh menerjemahkan karya Imam Al-Ghazali Pembebas dari Kesesatan (Al-Munqizu min adh-dhalal) setebal 79 halaman pada 1961, dengan menambahkan keterangan sekitar 200 catatan kaki. Keterangan tersebut begitu jelas dan rinci sehingga non-muslim pun dapat mengerti isi buku tersebut. Kendati diterjemahkan lebih dari 50 tahun silam, bahasa yang digunakannya nyaris tak ketinggalan zaman. Para pembaca di masa kini tetap dapat menikmati terjemahan itu.     

Abdullah bin Nuh memang dikenal sebagai ahli dan mencintai tasawuf Al-Ghazali. Tak heran bila ia mendirikan majelis taklim di Kota Paris, Bogor, yang dinamai Al-Ghazali pada 1968. Majelis ini kemudian berkembang menjadi pesantren dan sekolah. Setelah Al-Ghazali berdiri, ia menetap di Bogor sejak 1971 hingga akhir hayatnya tiba pada 26 Oktober 1987.

Namun pemerintah Orde Baru merintangi kegiatan dan pengembangan Pesantren Al-Ghazali karena  KH Abdullah bin Nuh tidak mendukung Golkar dalam seluruh Pemilihan Umum. Bahkan pada Pemilu 1982, ia sempat ditahan pemerintah sekitar dua pekan lamanya. “Saya yang menjemputnya pulang dari Korem di Bogor,” kata H. Ujang Damanhuri, pengurus Partai Persatuan Pembangunan Leuwiliang, Bogor.  

Di Kota Hujan itu, bersama rekan-rekan seperjuangannya sejak zaman revolusi, yakni,  KH Sholeh Iskandar, KH Noer Alie, KH Choer Affandi, KH Abdullah Syafi’i, dkk., ia mendirikan organisasi Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat pada 1972; lalu mendirikan majelis taklim Al-Ihya di Pasir Jaya, Bogor.

Sepanjang hayatnya, KH Abdullah bin Nuh menulis 28 buku dan menerjemahkan 8 buku, yang meliputi bidang bahasa (kamus), sastra, sejarah, tasawuf, dan fikih. Salah satu syairnya, “Persaudaraan Islam”, yang ditulisnya ketika mengajar di Hadramaut School tahun 1925, begitu terkenal hingga “diabadikan” para penggemarnya di dunia maya dan dapat ditemui dengan mudah melalui mesin pencari kata Google. Puisi ini dilukis di salah satu ruangan di Istana Raja Yordania.
Belasan tahun setelah kepergiannya, Pemerintah Kabupaten Cianjur mengusulkan KH Abdullah bin Nuh sebagai pahlawan nasional pada 2010.
***

Sumber:
1.   Abdullah bin Nuh & Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggeris (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1991).
2.   A. Dwi Pamudji (et.al), 60 Tahun Universitas Islam Indonesia Berkiprah dalam Pendidikan Nasional (Jakarta: Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, 2004)             
3.   Ika Nurmaya, K.H.R. Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Beberapa Pemikirannya (Skripsi Jurusan Asia Barat, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1992.
4.   Wawancara dengan K.H. Dadun Abdul Qohhar di Bogor, Maret 2004
5.   Wawancara dengan Prof. Machasin, Oktober 2008 di Jakarta.
6.   Wawancara dengan H. Ujang Damanhuri, di Warung Saptu, Cibungbulang, Bogor,17 Februari 2015

Sunday, July 5, 2015

JJ Rizal tentang Bogor Masa Revolusi



Jj Rizal
 menambahkan 3 foto baru.

Buku baru @komunitasbambu Bogor Masa Revolusi 1945-1950: Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi karya senior saya, Edi Sudarjat. Ia dulu seperti saya adalah mahasiswa sejarah di FSUI (kini FIB UI) dan terutama cemerlang dalam sejarah pergerakan nasional sampai revolusi Indonesia. Ia senior dari kelompok Islam yang kalau menulis mengingatkan saya pada alamarhum pak Deliar Noer. Sangat berwibawa karena kekuatan analisis dan datanya, tetapi menarik juga karena kang Edi, begitu saya memanggilnya, memiliki gaya narasi sastera. Sebagai mahasiswa ia termasuk yang banyak mendapat ruang menulis di Koran Republika pada masa-masa emasnya tahun 1990an yang melahirkan serta memanggungkan banyak intelektual Islam Indonesia.
Tahun lalu saya diundang dia untuk mengikuti presentasi risetnya tentang revolusi di Bogor yang di dalamnya memainkan peran penting intelektual tentara religius, Sholeh Iskandar. Seperti biasa selalu senang mendegarnya karena bukan saja berkisah, tetapi juga menunjukkan ekspresi total untuk memasuki dan memahami alam pikiran zaman bersiap serta perasaan tokoh-tokohnya bukan saja yang elit tetapi juga yang alit, sebut saja kisah laskar rakyat. Seperti biasa kekuatannya dalam data pustaka dan arsip diperkaya oleh wawancara yang luas yang menjadi basis sebuah sejarah lisan sebagai sumber yang memungkinkan suara dan kisah yang tidak tercatat bahkan dihapuskan tampil.
Alhasil buku bukan saja sapuan-sapuan besar tetapi juga petit histoire atau sejarah kecil berkelindan bersuara, bercerita sejarah. Apalagi dilengkapinya pula dengan sejumlah foto-foto dari arsip koran, majalah sezaman dan teristimewa foto koleksi pribadi orang-orang yang terlibat revolusi di Bogor itu. Sungguh buku kecil yang menggugah itu menggembirakan sekali bisa saya bantu penerbitannya, buku sejarah yang membacanya berasa mendapat pahala, kalo ga percaya silakan pesan ke pemasaran@komunitasbambu.com






Wednesday, June 24, 2015

"Hanura: Bakal Besar atau Gurem?" Koran Tempo, 22 Agustus 2008

Hanura: Bakal Besar atau Gurem?


Koran Tempo, 22 Agustus 2008
Edi Sudarjat, peneliti di Indonesian Research and Development Institute
Belakangan ini sering kita dengar pertanyaan berapa suara yang akan diraih Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)? Apakah Hanura akan menjadi partai besar yang mampu menerobos ke jajaran tujuh partai besar yang menguasai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat?
Pertanyaan di atas, berikut perhitungan orang bahwa Hanura akan menjadi partai besar, merupakan hal yang wajar. Pertimbangan orang adalah, pertama, Hanura dipimpin tokoh ternama, Wiranto, mantan Panglima TNI serta Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan. Dalam jagat politik di Indonesia, ketokohan atau kepemimpinan memang mampu menyedot suara pemilih. Demikian yang terungkap dalam penelitian mengenai perilaku pemilih (Liddle dan Mujani, 2007).
Kedua, ketika Wiranto maju menjadi calon presiden resmi dari Partai Golkar berpasangan dengan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden 2004, Wiranto sukses mendulang 22,15 persen suara. Cukup banyak orang yang berpikir, perolehan suara tersebut merupakan modal penting untuk bertarung dalam Pemilu 2009. Kemudian orang menggunakan matematika sederhana (yang sebenarnya menyesatkan) sebagai berikut: jika Wiranto berhasil mengumpulkan suara setengah dari suaranya di waktu pemilihan presiden dulu, Hanura bakal meraih 11 persen suara. Artinya, Hanura akan bertengger di posisi ketiga, setelah Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang pada Pemilu 2004 meraih 21,6 persen dan 18 persen suara.
Ketiga, Hanura berhasil menarik sejumlah tokoh masyarakat dan pengurus dari partai politik lainnya ke dalam jajaran pengurusnya. Keempat, para pengurus Hanura tampaknya memiliki dompet cukup tebal. Hal ini terlihat dari kantor-kantor Hanura di kota-kota besar di Indonesia, yang cukup megah dan terletak di jalan-jalan utama. Kegiatan Hanura juga berlangsung cukup meriah.
*
Berbeda dengan pertimbangan kebanyakan orang seperti di atas, kita akan menganalisis seberapa besar kemungkinan perolehan suara Hanura berdasarkan dua kali survei nasional Indonesian Research and Development Institute (IRDI), yang dilakukan pada Maret 2008 dan Juli 2008. Responden survei ini berjumlah 2.600 orang--jumlah responden terbesar dalam survei politik di Indonesia--yang tersebar secara proporsional di 33 provinsi dan di 260 desa/kelurahan. Responden adalah penduduk Indonesia berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah dan diwawancarai oleh pewawancara yang terlatih. Proporsi responden laki-laki berbanding perempuan adalah 50 : 50; proporsi pedesaan berbanding perkotaan 57,3 persen : 42,7 persen, dengan tingkat kepercayaan (significant level) 95 persen dan sampling error ± 1,9 persen.
Dari survei nasional IRDI pada Juli 2008, diketahui bahwa mayoritas responden (84,8 persen) tidak mengenal partai baru; yang mengenal hanya 15,2 persen. Yang menarik, partai baru yang paling mereka kenal adalah Hanura: 11,4 persen. Angka pengenalan ini meningkat dibanding survei IRDI pada Maret 2008. Saat itu Hanura dikenal 7 persen responden. Dengan demikian, kerja keras Hanura memperkenalkan dan mempopulerkan dirinya tergolong baik.
Dibanding lusinan partai baru lainnya, tingkat pengenalan orang atas Hanura sangat tinggi. Partai baru lainnya cuma dikenal segelintir responden, dengan perincian sebagai berikut: Gerindra dikenal 1,14 persen responden; Partai Kebangkitan Nasional Ulama dikenal 0,71 persen responden; Partai Demokrasi Pembaruan 0,51 persen; Partai Peduli Rakyat Nasional 0,39 persen; Partai Matahari Bangsa 0,24 persen; Partai Karya Perjuangan 0,08 persen; Partai Patriot 0,08 persen; Partai Republikan 0,08 persen; Partai Buruh 0,08 persen; dan Partai Demokrat Sejahtera 0,08 persen.
Berbeda dengan popularitasnya yang tinggi, tingkat kedekatan responden dengan Hanura sangat rendah, hanya 1,74 persen. Apalagi tingkat keterpilihan (elektabilitas) Hanura, benar-benar sangat rendah: 0,36 persen. Elektabilitas ini diukur dengan pertanyaan, "Jika pemilihan umum dilakukan hari ini, partai manakah yang akan Anda pilih?" Pada survei IRDI Juli 2008, responden yang memilih PDIP 26,3 persen; yang memilih Golkar 24,6 persen; Partai Demokrat (PD) 11,2 persen; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 9,12; dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 persen. Posisi berikutnya ditempati Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4 persen; Partai Amanat Nasional (PAN) 3,27 persen; Partai Bulan Bintang 0,5 persen; Partai Bintang Reformasi 0,38 persen; dan Hanura 0,36 persen.
Dengan demikian, jika pemilu dilakukan pada Juli 2008, Hanura akan memperoleh suara sekitar 0,36 persen. Untuk menyamai PAN, yang menempati urutan ketujuh pada Pemilu 2004 dan urutan ketujuh pada survei nasional IRDI Juli 2008 dengan elektabilitas 3,27 persen, Hanura mesti menggenjot elektabilitasnya dari 0,36 persen mencapai 3,27 persen. Artinya, Hanura harus meningkatkan elektabilitasnya sembilan kali lipat lebih atau 908 persen!
Mengingat Pemilu 2009 akan dilaksanakan sembilan bulan lagi, mampukah Hanura mendongkrak elektabilitas sekurang-kurangnya 908 persen dalam waktu sembilan bulan? Rasanya benar-benar sulit. Peningkatan elektabilitas ini, selain melalui kampanye, bisa dengan menyedot suara partai lain. Misalnya Hanura menyedot suara dari pemilih Golkar, mengingat Wiranto dulu kandidat presiden dari Golkar. Harapan lainnya adalah Hanura menampung suara yang lari dari PD. Sebagai partai baru, PD belum memiliki basis massa yang kukuh.
Namun, menyedot suara yang lari dari Golkar tidak mudah dilakukan. Soalnya, pemilih Golkar loyalitasnya sangat tinggi, 79,25 persen. Artinya, responden yang memilih Golkar pada Pemilu 2004 dan pada Juli 2008 telah memutuskan akan memilih Golkar lagi pada 2009 berjumlah 79,25 persen. Menyedot suara dari PD lebih mudah dilakukan lantaran loyalitas pemilih PD tidak begitu tinggi, yakni 44,3 persen.
Masalahnya, Hanura mesti berebut dengan partai-partai lain untuk memikat pemilih PD. Bersamaan dengan itu, mesti diasumsikan bahwa sampai Pemilu 2009 pengurus PD tidak banyak berbuat untuk menarik kembali pemilihnya. Rasanya asumsi ini juga sulit berlaku, mengingat menjelang pemilu seluruh partai pasti bergerak lebih cepat dan lebih lincah.
Alhasil, jika tidak ada momentum politik yang menguntungkan Hanura dalam sembilan bulan ke depan dan kondisi tetap stabil seperti sekarang, dapat diduga Hanura tidak akan mampu menerobos ke posisi tujuh partai besar.***




Resensi: Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles

UMMAT, 21 Desember 1998
Biografi Tokoh NU: Permata yang Belum Dipoles
Buku ini berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU. Toh, beberapa faktanya mesti dikoreksi

Saifullah Ma’shum, (ed.), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, Bandung: 1998); 395 hlm.

K
iranya tak melesetlah apa yang dikatakan KH A. Mustofa Bisri dalam kata pengantarnya bahwa buku ini sudah lama dinanti dan sering diusulkan oleh banyak warga Nahdlatul Ulama (NU)  di berbagai kesempatan. Soalnya, sambung Kiai Mustofa Bisri, tradisi menulis sejarah kehidupan para tokohnya tak berkembang di kalangan pesantren NU.
 Walhasi, kondisi ini boleh dibilang memprihatinkan, mengingat NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia—dengan 30 juta anggota—dan telah berusia 72 tahun.
Mengapa hanya 26 tokoh? Bukankan NU memiliki ratusan tokoh lagi yang pantas dikenang riwayat hidupnya?
Pihak Yayasan Saifuddin Zuhri menjelaskan, jumlah 26 tokoh ini tak lain merupakan hasil kompromi tiga hal: (1) sejauhmana keberhasilan menghimpun informasi; (2) adanya keterbatasan waktu penelitian; (3) keterbatasan daya dukung lain yang diperlukan untuk penulisan.
Lalu, dirumuskan bahwa mereka yang memenuhi kriteria tokoh ialah para kiai yang pernah menjadi pengurus syuriah, mutasyar atau jabatan struktural lain dalam NU pada tingkat nasional atau lokal. Juga mereka yang memimpin pesatren dan kini sudah wafat.
Boleh dibiliang buku ini relatif berhasil melukiskan aneka ragam sosok kiai NU, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah meninggalkan jejak penting dalam dakwah dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hampir seluruh tokoh kiai dalam buku ini giat menenang penjajahan Belanda, sekaligus aktif dalam revolusi fisik.
Keberhasilan itu rupanya karena tim penulisnya mampu memaparkan riwayat sejumlah kiai yang kurang begitu terdengar namanya di luar tubuh NU, semisal Hasan Gipo, KH Abas, KH Thohr Bakri, dan KH Abdullah Ubaid. Jadi, bukan cuma memuat deretan nama kondang, seperti Kiai Cholil, KH R. Asnawi, KH Mas’shum, H Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri, KH Wahab Chasbullah, dan KH Wahid Hasyim.
Lewat riwayat ringkas mereka, terlihat pula dinamika internal NU dalam menghadapi perubahan zaman, suatu hal yang jarang ditelaah dalam buku lain tentang NU yang kebanyakan menyorot sisi politiknya. Simaklah riwayat KH Thohir Bakri. Pada dasawarsa 1930-an, ia adalah aktivis muda yang giat memikirkan pembentukan organisasi pemuda NU. Berkat ketekunannyalah NU kemudian memiliki barisan pemuda yang cukup dikenal: Ansoru Nahdlatoel Olema (ANO)—kini GP Ansor.
Toh, dalam perjalanan pembentukan ANO, Thohir sempat “bertabrakan” dengan para ulama sepuh yang mengharamkan drumband dan dasi yang justru merupakan atribut kebanggaan para pemuda. Alsannya, dasi menyerupai (tasyabbuh) orang kafir (Belanda). Akibatnya, persoalan ini menjadi sumber ketegangan empat kali muktamar NU, dari muktamar ke-12 (1937) sampai ke-15 (1940). Barulah pada muktamar ke-15, drumband dan dasi diperbolehkan. Ini pun melalui sidang yang alot dan melakukan voting (hlm. 252). Tentu perdebatan keras ini hanya pencerminan dinamika NU dalam menghadapi perubahan da bidang lain yang tak kalah pentingnya.  
Ditinjau dari metodologi sejarah, buku ini termasuk kategori biografi sumber, yaitu biografi pertama yang ditulis mengenai seorang tokoh. Dengan demikian, penulisnya tidak wajib membuat perbandingan dengan biografi lain dan tidak perlu membuat analisis atau deskripsi interpretatif. Yang penting adalah mengemukakan sebanyak mungkin fakta mengenai keidupan tokohnya yang disajikan dengan menarik.
Tentu dalam mengemukakan fakta tersebut, akurasi dan kelengkapan data dasar merupakan syarat yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Nah, dua hal inilah titik lemah buku Karisma Ulama. Sejumlah fakta dasar buku ini kurang lengkap dan tanpa standarisasi, malah ada yang keliru agak fatal. Misalnya, sejumlah kiai disebutkan nama istri dan anaknya, tapi ada pula yang “terlupakan”.  Berikutnya dalam riwayat KH Bisri Mustofa—ayahanda KH Mustofa Bisri—dituliskan ia sakit mata dan memerlukan kornea untuk pengobatan (hlm. 325). Kenyataannya yang sakit bukan KH Bisri, melainkan istrinya, Ny. Ma’rufah binti Cholil.
Mengingat langkanya biografi tokoh NU, sebenarnya kehadiran buku ini bak permata pengetahuan mengenai sejarah organisasi Islam terbesar di Nusantara itu. Sayang permata ini mesti dipoles lagi agar berkilau.*** (Edi Sudarjat)