Wednesday, June 10, 2015

“Menara Kudus, Kurban, Soto, dan Sate Kerbau: Toleransi dan Kerukunan dalam Islam [Kudus Minaret, Religious Offering, Soup and Carabao Satay: Tolerance and Harmony in Islami], Mimbar Ulama, a magazine published by Majelis Ulama Indonesia (Indonesian Ulema Council), July, 2012


Menara Kudus, Kurban, Soto, dan Sate Kerbau:     Toleransi dan Kerukunan dalam Islam

Pernahkah Anda mampir ke Kabupaten Kudus, Jawa Tengah? Kabupaten seluas 425,16 km persegi yang bersih dan apik ini harum namanya di kalangan ummat Islam. Di sinilah dahulu salah seorang wali songo (wali sembilan) yang disebut Sunan Kudus, menyebarkan agama Islam. Sejak masa hidupnya, sekitar tahun 1500-an Masehi (M) hingga kini, 500 tahun kemudian, warisan dakwahnya tetap terpelihara.

Warisan dakwah Sunan Kudus tergolong istimewa. Ia bukan hanya mewariskan seperangkat aturan syariah seperti para wali lainnya, namun meninggalkan dua pusaka lagi: pertama, perpaduan (akulturasi) budaya Hindu dan Islam; kedua, toleransi dan kerukunan beragama. Perpaduan budaya itu tampak pada arsitektur bangunan di kompleks mesjid Kudus. Sedangkan toleransi dan kerukunan beragama terlihat pada adat-istiadat warga Kudus yang “mengharamkan” daging sapi.


Menara Mesjid Kudus
Menara Kudus merupakan pelengkap kompleks bangunan mesjid Kudus, yang terletak di  Desa Kauman, Kecamatan Kudus Kota. Mesjid ini sesungguhnya bernama al-Aqsa al-Manar, namun lebih dikenal dengan nama mesjid Kudus.

Pengaruh budaya Hindu dapat dilihat dari bangunan bata pada gapura bentar, gapura paduraksa dan menara Kudus bagian kaki dan tubuh. Sedangkan budaya Islam dapat dilihat bangunan mesjid itu sendiri, meski sulit untuk mengetahui bentuk aslinya, lantaran sudah berulangkali diperbaiki dan tidak ada catatan tertulis mengenai perbaikan tersebut.

Konstruksi menara Kudus sama dengan bangunan candi Hindu, yang terdiri dari kaki, badan dan atap. Sedangkan struktur bangunannya terdiri dari bagian kaki, tubuh dan kepala. Bagian kaki dan tubuh menara tersusun dari bata. Lalu pada bagian kepala terdapat sebuah bangunan kayu berukuran sekitar 4 x 4 meter yang berlantai kayu. Bangunan kayu ini beratap tajug yang ditopang empat soko guru (tiang utama) di bagian tengah, dan 12 soko pendamping yang ada di sekelilingnya.

Tidak ada keterangan pasti siapa dan kapan kompleks mesjid ini dibangun. Juga tidak diperoleh keterangan yang kokoh secara ilmiah mengenai siapa sesungguhnya Sunan Kudus. Maklum, sumber sejarah yang tersedia tidak mencukupi. Para ahli sejarah dan arkeologi menggali informasi dari babad: karya sastra Jawa yang mengandung unsur sejarah. Sebagai karya sastra, maka khayalan dan kenyataan bercampur-baur di dalam babad. Sumber informasi lain yang dapat dipercaya adalah laporan pengelana asing dari Eropa atau China, namun sangat sedikit jumlahnya.

Lagipula, pada zaman itu tidak banyak orang yang mampu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal huruf Latin. Mereka menulis dengan aksara Jawa atau Arab. Hanya segelintir orang yang mengenal kertas dan pena. Dengan demikian, sudah pasti tidak ada toko buku seperti seperti sekarang. Umumnya, orang menulis di daun lontar, kulit hewan atau kain. Wajarlah bila keterangan tertulis tentang kehidupan di masa itu langka.  

Sekalipun demikian, orang berusaha memperkirakan kapan menara Kudus didirikan. Nah, di menara itu terdapat candra sengkala berbunyi gapura rusak ewahing jagad,  yang dapat diartikan tahun 1609 Jawa atau 1685 M. Berdasarkan keterangan ini,  orang menduga menara Kudus dibangun pada 1685 M.  

Candra sengkala adalah kata-kata atau simbol yang melambangkan angka. Kalau di zaman sekarang, mirip dengan kode buntut. Misalnya kata pohon berarti angka satu, kembang berarti angka sembilan, monyet berarti angka 23. Jadi, kalau di suatu gapura tertulis candra sengkala “pohon dan kembang dirabut monyet”, maka dapat diartikan gapura tersebut dibangun pada tahun 1923 Jawa atau 1999 M.
Mengapa orang menggunakan candra sengkala? Yah..., waktu itu orang Jawa belum banyak yang mengenal angka Arab (١,٢,٣) atau Latin (1,2,3 dst). Angka Arab dan Latin baru dipergunakan orang Jawa setelah peradaban Islam dan Eropa diserap dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi candra sengkala di menara itu rupanya bukan keterangan tentang tahun pembangunan menara Kudus. Sebab, seorang musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678 M sempat menyaksikan menara Kudus dan menyatakan kekagumannya. Dalam laporannya ia menulis, “menara raksasa [Kudus adalah] suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Kekaguman Hurdt ini dikutip de Graaf dan Pigeaud dalam karyanya yang terkenal, Kerajaaan-kerajaan Islam di Jawa Hurdt menyampaikan bahwa tahun 1678 M menara Kudus sudah berdiri kukuh. Dengan demikian, dugaan bahwa menara Kudus dibangun pada 1685 M, sudah pasti keliru.

Toh, meskipun kita tidak tahu dengan pasti kapan dan siapa yang membangun kompleks mesjid Kudus, kita tahu pasti bahwa orang-orang Islam di Kudus sejak 500 tahun lalu sangat menghargai budaya agama lain. Mereka juga memadukan budaya Hindu dengan budaya Islam. Mereka tidak merusak atau menghancurkan candi. Arsitektur candi Hindu yang indah dan berseni, dimanfaatkan sebagai menara dan mesjid: sungguh sebuah teladan “bangunan” toleransi dan kerukunan yang elok.

Kurban, Soto dan Sate Kerbau
Seperti terkisahkan dalam legenda dan karya sastra tradisional, Sunan Kudus adalah sosok yang tegas menerapkan syariah Islam. Ketegasan ini rupanya dibarengi dengan toleransi dan penghargaan kepada tradisi non-Islam yang dianut penduduk setempat ketika ia mula-mula berdakwah.
Sebagaimana diketahui, dalam agama Hindu, sapi adalah hewan suci. Demi menjaga perasaan orang yang beragama Hindu, Sunan Kudus menganjurkan kepada yang orang Hindu sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Berkat anjuran tersebut, sampai sekarang ummat Islam di Kudus tidak menyembelih sapi. Para makanan pun tidak menjual soto dan sate sapi, melainkan soto dan sate kerbau. Agaknya, berkat anjuran itu pula  banyak ditemukan penjual soto dan sate kerbau di Kudus. Boleh dikatakan, soto dan sate kerbau adalah ciri kota Kudus.


Selain itu, sampai sekarang warga Kudus tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban di hari Idul Adha. Sebagai gantinya, mereka menyembelih kerbau. Di Kabupaten Kudus, orang Hindu dan Budha sekarang tidak lebih dari 1.500 jiwa; sementara orang Islam sekitar 734.000 jiwa. Artinya, jumlah orang Hindu dan Budha hanya 0,2 persen dari orang Islam. Sungguhpun demikian, ummat Islam di Kudus tetap menghargai dan sangat toleran kepada mereka. Buah dari penghargaan dan toleransi itu, kiranya adalah terciptanya kerukunan antarumat beragama di Kabupaten Kudus.*** (Edi Sudarjat

Tuesday, June 9, 2015

Factor causing the emergence of radical Islam: Preliminary Analysis

https://www.academia.edu/3370341/Factors_Causing_the_Emergence_of_Radical_Islam_A_Preliminary_Analysis




Saturday, June 6, 2015

Gerakan Reformasi Birokrasi, Kiprah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


[Aktor Demokrasi] “Perlawanan Petani Nipah” [Nipah Farmer’s Resistance]”, SAREC-ISAI research report, published in Arief Budiman & Olle Tornquist, Aktor-Aktor Demokrasi Indonesia [Democratic Actors in Indonesia], Jakarta: ISAI, 2001.


Prof. Arief Budiman, Ph.D. comment: 



(Kika) Arief Budiman, Edi S, M. Qodari, Bimo N. Sekundatmo





Pengajaran Sejarah: Masalah dan Pemecahannya




“Memahami Watak Barat Modern” (Understanding to the West Modern Nature), Suara Karya, December 16, 1994. Book review of Seyyed Hossein Nasr, Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Guidance to the Young Moslem) Bandung: Mizan, 1994


“Biografi Tulen MAW Brouwer” (Pure Biography of MAW Brouwer), Suara Karya, November 25th, 1994. Book review of Myra Sidharta, MAW Brouwer, Antara Dua Tanah Air: Perjalanan Seorang Pastor (MAW Brouwer, between two Fatherland: AFather’s Journey) Jakarta: Grasindo, 1994


Edi Sudarjat, “Biografi Tulen MAW Brouwer, Suara Karya, Jumat, 25 November 1994.

 

“Dalam bahasa Belanda proses pembuatan bir disebut brouwen; orangnya dinamakan Brouwer. Dari sinilah namaku berasal; nenek moyangku suka minum bir dan menjadi kaya karena bir. Itulah sebabnya akupun senang bir!” Demikian Brouwer menuturkan riwayat hidupnya sambil terbahak-bahak dan meneguk bir dari gelasnya” (hlm. 11)

Sesungguhnya di balik popularitasnya sebagai pastor dan psikolog kreatif, sosok manusia Brouwer dikenal juga sebagai seorang periang, penyenda gurau, dan pencerita kelas wahid yang berwawasan luas. Sebagai manusia, ia pun dapat berubah menjadi seorang yang murung, acap kali menggerutu dan kadang mudah tersinggung. Itulah sebagian gambaran pastor kelahiran Delft, 14 Mei 1923, yang diangkat Myra Sidharta dengan amat mengesankan.

Nama Brouwer, bagi kita, memang sudah tak asing lagi. Sejumlah artikelnya sering muncul di harian Kompas selama 20 tahun. Di dalam artikel itu ia menyelipkan kritik sosialnya yang tajam yang ternyata ciri khasnya itu disukai banyak pembaca.

 Tak heran jika saat wafatnya di Belanda, 19 Agustus 1991, banyak orang merasa kehilangan. Hampir semua media massa ibukota memuat artikel tentang kepergiannya menuju Sang Pencipta.

*  *  *

Tiga tahun setelah meninggalnya, Myra Sidharta, mantan dosennya di Fakultas Psikologi UI, yang kemudian menjadi rekan sekerja dan sahabatnya, mengangkat kehidupan Martinus Anthonius Weselinus Brouwer dalam bentuk biografi yang disajikan dengan lancara dan amat menarik.

Berbagai informasi, mulai dari wawancara langsung dengan Brouwer semasa hidupnya, kesan dan pandangan rekan-rekan sejawatnya, arsip-arsip kotapraja Delft guna menelusuri silsilah keluarga Brouwer, karya-karyanya yang tersimpan di perpustakaan, sampai ke surat-surat pribadi Brouwer dan keluarganya, dimanfaatkan Myra dengan baik.

Hasil kerja kerasnya itu, tampak jelas dengan keberhasilannya menguak perjalanan sosok pribadi Brouwer sejak masa kecil (Bab II) hingga hari-hari terakhirnya (Bab XI), tanpa meninggalkan muatan sosiokultural yang telah melahirkan dan membesarkannya. Gambaran ini lalu dilengkapi pula “Krisis-krisis dalam kehidupan Brouwer” (Epilog).

Kedekatan Myra dengan Brouwer ternyata tidak pula membuatnya kehilangan sikap obyektif. Ia tetap menjaga jarak dengan obyeknya.

Dengan empati yang cukup kuat, ia juga berhasil melukiskan konflik-konflik yang dihadapi pastor dari Ordo Fransiskan ini. Bahkan diungkapkan pula konflik Brouwer dengan dirinya. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Brouwer memilih bergabung dengan misi dan bertugas di tempat yang jauh dari kampung halamannya. Rupanya ada faktor lain, yaitu hasrat melepaskan diri dari “cengkeraman” ibunya yang sering memamerkan kesalehan dan kepastoran sang anak.

Myra Sidharta juga berhasil memaparkan rasa kesal dan kecewanya ketika mesti pensiun dari Unpad tanpa sempat menjadi guru besar. Sayang, lantaran kewarganegaraan Brouwer yang masih Belanda dan gelar doktor yang belum diraihnya, gelar guru besar tidak berhasil diperoleh. “Saya akan kembali menggembala” (hlm. 113), begitulah bunyi artikelnya sehubungan masa pensiunnya.

Perjuangan Brouwer melewati hari-hari terakhirnya juga digambarkan dengan baik. “Menurut sesama biarawannya, seluruh penampilannya mencerminkan keputusasaan… ia terus dilanda rasa takut akan kematian.” (hlm. 132).

Menjelang akhir hayatnya, ia menjadi pemurung, selalu menggerutu, mudah tersinggung, duduk termenung dan hanya memikirkan penyakitnya. Ia tak berdaya melepaskan diri dari depresi yang melanda batinnya.

Padahal Brouwer seorang psikolog. Pada waktu membuka klinik konsultasi psikologi di Bandung, kliniknya selalu dipenuhi orang karena ia dapat memberi jalan keluar yang tepat terhadap kesulitan yang dialami pasiennya. “Memang sulit untuk memberi solusi yang baik bagi seorang yang mengalami depresi. Pandangan mereka ditutup awan gelap dan mereka tidak dapat menemukan jalan keluar.” (hlm. 131).

Mesti diakui, berbagai usaha yang telah dilakukan Fr. Renald Brouwer—namanya di biara Fransiskan—tetaplah menampakannya sebagai seorang besar. Ia telah menyumbangkan begitu banyak kepada bangsa ini. Dan kita tetaplah akan mengenangnya dengan takzim, mengingat tidak sedikit karya yang telah dihasilkannya; artikel yang tersebut di media massa, buku filsafat, psikologi dan budaya; para sarjana hasil bimbingannya, serta klinik konsultasi yang dibukanya di sejumlah Rumah Sakit di Bandung. Itulah ungkapan rasa cintanya yang luar biasa terhadap bangsa Indonesia.

*  *  *

Dibanding buku sejenis, biografi ini jelas punya nilai lebih; ada keunggulan tersendiri. Ini buku biografi tulen yang berhasil mengungkapkan berbagai dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri obyeknya; bukan semacam hagiografi yang cenderung berisi pemujaan terhadap tokohnya.

Yang menarik, deskripsi mengeni kondisi poleksosbud yang terjadi di Kota Delft, yang mengagawali biografi ini, ternyata bukan sekedar ilustrasi, melainkan sebagai bahan yang justru membantu pemahaman kita mengenal wadah struktural tempat Brouwer dilahirkan dan dibesarkan. Pada gilirannya, membantu kita untuk memahami sikap, cara berpikir, dan pilihan-pilihan hidupnya yang sangat dipengaruhi berbagai faktor sosiokultural itu.

Kemampuan Myra menyelami kepribadian Brouwer, yang dalam metodologi sejarah disebut hermeneutika—memungkinannya memahami perubahan yang terjadi dalam diri obyeknya.

Dalam bab XI “Hari-hari Terakhir” misalnya, Myra mencermati adanya perubahan bentuk tulisan tangannya. “Tulisannya memberikan suatu petunjuk tentang keadaan batinnya; hurufnya makin lama makin kecil, baris-barisnya makin pendek; ia seolah-olah tak berani menyentuh pinggir kanan kertas dan sudah berhenti di tengah-tengah baris” (hlm. 131). Disiplin ilmu yang disebut graphologi ini berguna dalam penulisan riwayat hidup seseorang, yang dalam banyak buku biografi jarang dimanfaatkan penulisnya.

Myra menyimpulkan sahabatnya seperti ini: “Sejak kecil ia dikonfrontasi dengan banyak masalah—yang harus dilawan dan dilupakan—yang tidak pernah dialami manusia biasa… ia seorang yang problematis…” (hlm. 157).

Di luar persoalan itu, biografi yang disasjikan dengan bagus ini, sayang sekali kurang didukung kecermatan editor buku ini yang mestinya mampu membersihkan salah cetak.*** 

 

 

 

 

 

 

 

 


“Sejumput Petasan dari Soe Hok Gie [A pinch of firecracker from Soe Gie]”, TEMPO, November 4, 2001. A book review of John Maxwell, Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani [Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual] Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001).


Resensi, Ajip Rosidi et.all., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi [Sundaneese Encyclopedia: Nature, Human, and Culture, Including Cirebon’s and Betawi’s Culture], Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dan The Toyota Foundation, 2000. “Buah Cinta Sang Budayawan [The Outcome of Cultural Observer’s Love]”, TEMPO, March 4, 2001.




Tempo, 4 Maret 2001 hlm. 54-55

 Buah Cinta Sang Budayawan


Ajip Rosidi, dkk., Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, PT Dunia Pustaka Jawa, bekerja sama dengan The Toyota Foundation dan Yayasan kebudayaan Rancage, 2000. Tebal 714 hlm.


Inilah eksiklopedi etnis terlengkap pertama di Indonesia. Berisi sekitar 3500 lema, ia memaparkan segala rupa perihal Sunda. Tentu sja ensiklopedi ini masih memiliki beberapa kelemahan.

Dari 465 suku bangsa di Indonesia (M. Junus Melalatoa, 1995), ternyata baru etnis Sunda yang sudah memiliki ensiklopedi lengkap. Warga Sunda memang suku terbesar kedua di Indonesia, dengan jumlah sekitar 40 juta jiwa pada tahun 2000. Kehadiran ensiklopedi ini adalah hasil kerja keras tim redaksi dan pengagas utamanya: Ajip Rosidi, yang mengerahkan 40 orang, termasuk para penulis Belanda, Jepang, dan India.
Tanpa memeras otak dan keringat disertai kecintaan kepada budaya Sunda, niscaya ensiklopedi ini tak kan pernah terbit. Waktu pengerjaan yang semula diperkirakan lima tahun ternyata molor sampai hampir sepuluh tahun. Tim redaksi terbentur kenyataan bahwa ahli suatu bidang tidak banyak terlatih menulis, apalagi menulis eksiklopedi, yang memerlukan persiapan khusus. Akibatnya, hampir semua naskah yang masuk harus ditulis ulang atau disunting berat.
Persoalan lain adalah beberapa orang yang semula bersedia duduk sebagai anggota redaksi mengundurkan diri dengan berbagai sebab dan alasan. Dalam perjalanan penyusunan selama hampir satu dasawarsa itu, beberapa orang yang memberi bantuan tidak sempat melihat hasilnya. Mereka antara lain ialah H.K.S. Kostaman, Haryoto Kunto, dan Sayudi, yang telah lebih dulu meninggal dunia.
Toh, banting tulang mereka berbuah manis. Ensiklopedi yang memuat sekitar 3.500 lema ini dipuji pakar senior sastra dan budaya Indonesia dari Leiden, Prof. Dr. A. Teeuw.  “Saya sangat terkesan oleh kualitas ilmiah ensiklopedi ini, berdasarkan pengetahuan luas dan mendalam mengenai hal-hal yang dibahas. Ditulis informatif dan jelas, bahasa Indonesia yang dipergunakannya enak dibaca,” begitu komentarnya.
Acungan jempol datang pula dari Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Taufik Abdullah, yang mengatakan, “Sungguh suatu pekerjaan raksasa. Merupakan sumbagan besar bagi dunia ilmu.”
Tak dapat dimungkiri, tulisan mendalam, jernih, dan enak dibaca menjadi salah satu kelebihannya, terutama bila dibandingkan dengan ensiklopedi lain, semisal Ensiklopedi Nasional Indonesia (PT Cipta Adi Pustaka, 1988). Tema yang dikemukakan memang sangat luas. Diawali dengan lema Aam Amilia, seorang pengarang merangkap wartawan, diakhiri dengan lema Zainal Asikin Kusumah Atmaja, pensiunan hakim agung. Aneka ragam tradisi rakyat, religi, pantun, kesusastraan, peralatan sehari-hari, makanan, pencak silat, permainan anak-anak, sejarah, biografi singkat tokoh, majalah, koran, dan pelbagai manifestasi kebudayaan Sunda tercakup di dalamnya.
Banyak hal yang belum pernah kita dengar sebelumnya, misalnya Agrabintana, sebuah kerajaan yang pernah berdiri di Tanjungkidul—sekarang disebut Ujung Genteng, Surade, Sukabumi Selatan, suatu kerajaan yang jarang didengar orang. Ensiklopedi ini juga memaparkan aneka religi di tanah Sunda, seperti agama Jawa-Sunda yang diajarkan Madrais dari Cigugur, Kuningan, dan agama Sunda Wiwitan yang dianut komunitas Baduy di Kanekes Banten. Yang lebih unik lagi, pelbagai permainan anak-anak tradisional seperti pacici-cici putri, paciwit-ciwit lutung, dan oray-orayan, juga dimasukkan dalam entri.
Komposisi tokoh Sunda yang mencakup 497 tokoh, 274 (55,1 persen) di antaranya adalah seniman yang terdiri dari 110 sastrawan, 85 penyanyi dan penari, 35 pelukis, 31 orang pekerja dan pemain film dan teater, 12 orang dalang, dan 1 orang pematung. Sementara itu, tokoh lain yang berjumlah lumayan banyak adalah imuwan/akademisi, yang berjumlah 55 orang (11 persen), tokoh militer berjumlah 32 orang, ulama 35 orang, aktivis kemasyarakatan 31 orang, politisi 21 orang, dan seterusnya.
Menyimak data di atas, wajarlah bila muncul kesimpulan yang agak berbau spekulatif: warga Sunda mencapai puncak prestasi di bidang kesenian dan tercecer di bidang politik dan ekonomi.
Menurut Ajip Rosidi, saat peluncuran ensiklopedi ini, memang ada perasaan rendah diri di kalangan orang Sunda, karena pengalaman masa lampau mereka yang suram. Sejak kerajaan Sunda jatuh oleh pasukan gabungan Kesultanan Cirebon dan Banten pada 1579, orang Sunda Priangan  “pareum obor” (“kehilangan obor”). Tanah Sunda terkoyak-koyak di antara kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan Mataram Islam (sejak 1625). Perlahan tapi pasti, tanah Sunda jatuh ke genggaman orang Belanda. Dan dimulai eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan ekonomi dan demografi Sunda. Kepedihan orang Sunda bukan hanya datang dari penjajah Belanda, melainkan juga dari penguasa lokal mereka sendiri, seperti yang terungkap dalam novel kondang Max Havelaar dan disertasi sejarah Nina Herlina Lubis berjudul Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (1997).
Tak mengherankan bila menghadapi kondisi ini, salah satu jalan keluar yang diambil adalah menenggelamkan diri dalam kegiatan kesenian. Gejala utama serupa terjadi pula di keraton-keraton Mataram Islam.  Setelah Kerajaan Mataam terbelah dua dalam Perjanjian Giyanti pada 1755, lantas terbelah empat—dan wilayahnya makin sempit dicaplok Belanda—seni adiluhung keraton mencapai puncaknya.
Tak ada gading yang tak retak. Seperti diutarakan Ajip Rosidi, “Tentu saja kami sendiri sangat tidak puas dengan hasil yang kami sampaikan karena masih banyak segi manusia, lama dan budaya Sunda yang belum ditulis.”
Barangkali itu sebabnya dalam eksiklopedi ini hanya tercantum tiga olahragawan Sunda.  Kampiun lainnya, seperti almarhum Popo Hartopo, juara moto-cross tingkat Asia; Tonton Suprapto, juara balap sepeda tingkat Asia pula: Ricky Subagja dan Susy Susanti, keduanya mencapai puncak prestasi olah raga dunia, antara lain di All England dan Olimpiade Atlanta; tidak muncul. Kekurangan ain adalah tidak adanya lema  suku Naga, yang tinggal di Desa Negasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Mereka diakui memiliki sistem kepercayaan dan sistem norma yang khas bila dibandingkan dengan yang berlaku pada orang Sunda umumnya (Junus Melalatoa, 1995: 615-617).
Dapat ditemukan pula ketidak-konstenan data demografi suatu kabupaten, misalnya Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Masalah lain yang agak mengganggu adalah ketidakjelasan konsep etnisitas dan geografi Sunda. Siapakah orang Sunda? Apakah mereka yang mewarisi budaya Sunda, atau semata-mata karena ia lahir di tanah Sunda? Ketidakjelasan konsep ini mengakibatkan munculnya lema yang agak janggal.  Misalnya tercantumnya lema Eros Djarot, orang Jawa yang dilahirkan di Rangkasbitung, Slamet Rahardjo Djarot, yang dilahirkan di Serang, dan Teguh Karya, yang dilahirkan dengan nama Steve Lim Tjoan Hok di Pandeglang,  yang kemudian digolongkan sebagai tokoh Sunda.
Dalam antropologi mutakhir, kriteria suatu kelompok etnis lazimnya didasarkan pada budaya dominan dan pengakuan orang tersebut. Ketiga tokoh tadi boleh saja disebut orang Sunda, asalkan buaya Sunda tampak dominan dalam perilaku mereka sehari-hari, atau mereka mengakui dirinya sebagai orang sunda.
Betapapun, sekelumit kekurangan di atas hanyalah bak sebutir debu di sekeranjang permata. (Edi Sudarjat)






“Bangun Istana, Hancurkan Kota, Jangan Abaikan Wasiat Hadratus Syeikh KHHasjim Asj’ari” (Building a Palace, Damaging a City, Don’t Ignore the Last Will and Testament of Hadratus Syeikh KH Hasjim Asj’ari), article in Rakyat Merdeka,February 24, 2001



“Membantah Tesis Kaum Islam Modernis” (Disputing Modernis Islam’s Thesis), TEMPO, July 23, 2000. A book review of Latiful Khuluq, M.A., Fajar Kebangunan Ulama (The Dawn of Resurgence of Ulama) Yogyakarta: LKIS, 2000



“Kesaksian Cendekiawan Tulen (A Testimony of Pure Intellectual’s)”, Suara Karya,November 29, 1996. Book review of Deliar Noer, Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (I am a Part of Ummat, I am a part of Nation: DeliarNoer’s Autobiography), Bandung: Mizan, 1996)