Wednesday, December 14, 2022


https://www.wartatransparansi.com/2021/07/30/banjir-baliho-capres-ri-2024-menggali-kuburan-sendiri.html

“Banjir” Baliho Capres RI 2024, Menggali Kuburan Sendiri

Oleh: Edi Sudarjat, Analis Politik dan Media

Dalam (komunikasi) politik tiap hari adalah kampanye. Kampanye dilakukan tiada henti: baik di hari kerja maupun libur; baik terang-terangan maupun terselubung. Pada hari pemilihan (kepala desa, anggota legislatif, kepala daerah, presiden), hasil kampanye itu “dipanen”.

Siapa yang berhasil “menabung” citra positif sebagai pemimpin mumpuni dalam kampanye tiada henti, ia akan dipilih; yang “tabungannya kurang”, diabaikan. Inilah hukum alam yang sering dilupakan oleh para politisi. Alhasil, tidak terhitung hari-hari kampanye disia-siakan.

Menuju pemilihan presiden (Pilpres) 2024, sejumlah nama berancang-ancang maju. Artinya, semesti mereka berkampanye (terselubung) tiap hari.

Nama-nama yang terekam dalam berbagai survei politik sebagai calon presiden (capres) ialah: Agus H. Yudhoyono, Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Basuki T. Purnama, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmanyo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Tri Rismaharini.

Tentu merupakan mandat bagi pimpinan partai politik peraih suara terbesar dalam Pemilu, seperti Airlangga Hartarto dan Puan Maharani untuk maju sebagai capres atau calon wakil presiden (cawapres). Namun elektabilitas keduanya masih rendah: Airlangga (1%) dan Puan (2,9%); tertinggal jauh dari Ganjar (15,7%), Anies (14,6%), Prabowo (11%), dan Ridwan (10%). Demikian hasil survei lembaga penelitian Indikator Politik pada Mei silam.

Tim pencapresan—sebut saja demikian–Airlangga dan Puan memang sudah bergerak berupaya meningkatkan elektabilitas kedua tokoh itu. Dapat diduga tim pencapresan itu telah meminta masukan dari konsultan politik untuk merancang berbagai programnya.

Dari berbagai program mereka, yang tampak nyata ke hadapan publik adalah “membanjirnya” baliho Airlangga dan Puan di berbagai daerah, terutama di kota-kota dan pinggiran kota.

Tujuannya, tak lain untuk mengangkat pengenalan publik (popularitas) terhadap Airlangga dan Puan yang masih rendah. Rilis SMRC pada Maret 2021 menyebut hanya 26% publik mengenal Airlangga, sedangkan Puan sudah lumayan: 61%. Namun keduanya tertinggal jauh dari Prabowo (96%), Sandiaga (83%), dan Anies (81%).

Pada Juli 2021, Golkar secara resmi memerintahkan kader-kadernya memasang baliho Airlangga; sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak terang-terangan demikian.

Di sinilah kesalahan strategi kampanye terjadi alias capres tersebut “menggali kuburannya sendiri”. Pasalnya, “banjir” baliho itu tidak efektif (menghabiskan duit), kemungkinan besar malah kontra produktif (menghasilkan citra negatif).

Mengapa?

Karena baliho hanya efektif mengangkat popularitas, dengan syarat kondisi masyarakat sedang normal.

Padahal lebih dari setahun ini masyarakat Indonesia dan dunia jelas-jelas tidak normal lantaran pandemi Covid-19. Dalam sebulan terakhir, tingkat kasus positif dan kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia, beberapakali mencapai angka tertinggi di dunia! Pasien rumah sakit (RS) di berbagai daerah membludak; RS tak mampu lagi menampung pasien.

Lagipula, tidak sedikit masyarakat yang anjlok drastis pendapatannya di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah dua periode dijalankan pemerintah.

Alih-alih menghasilkan citra positif, boleh jadi “banjir” baliho itu justru menjengkelkan masyarakat. “Ah apa pula gambar-gambar besar ini, kita lagi susah malah dikasih gambar,” kira-kira begitu komentar orang.

“Banjir” baliho Puan berefek negatif telah terjadi di Surabaya dan Blitar beberapahari lalu. Baliho Puan Maharani dicorat-coret, justru di “kandang banteng”. Memang belum jelas apa sebabnya. Yang jelas, gejala ini perlu dipikirkan sungguh-sungguh oleh tim pencapresannya.

Sebenarnya, bagaimana strategi kampanye capres yang pas? Mari kita bahas pada kolom berikutnya. Sabar ya Cak.***

Tuesday, October 17, 2017

Prof Ahmad Sadali (1924-1987): Mahaguru Pelukis & Ulama

Tinggal dikiiit aja nih... Semoga bisa segera meluncur 😊
























Prabu Siliwangi: antara Mitos dan Realitas






A.P. Batubara: Menegakkan Pancasila bersama PDI Perjuangan








Kalau politik kita diisi tokoh-tokoh seperti Pak A.P. Batubara (1937-2017), niscaya tujuan kita berbangsa dan bernegara lebih cepat tercapai. Beliau baru saja meninggalkan kita, mewariskan keteladanan bagaikan cahaya di tengah kegelapan. Semoga akan lahir generasi penerus perjuangan beliau.
Tokoh senior PNI dan Sekjen PDI Abdul Madjid menggambarkannya sebagai, “A.P. Batubara itu orangnya konsekuen, tanpa pamrih. Dia duduk sebagai penasihat di Majelis Pertimbangan Partai PDI Perjuangan karena diminta, bukan dia yang mau, apalagi sampai menyogok. Dalam Pemilihan Umum 1999, dia menolak mencalonkan diri sebagai anggota DPR.”
Ia memang dikenang sebagai pejuang yang berani, konsekuen dan tanpa pamrih. Ia terus bergerak memperjuangkan keberadaan partai, meningkatkan suara partai dan menjalankan fungsi partai sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Di tengah konflik yang terjadi karena operasi khusus intelejen pemerintah Orde Baru, ia tampil menduduki kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan membentuk Pimpinan Pelaksana Harian DPP PDI. Tindakan ini dinilai benar-benar efektif dan berhasil memaksa kubu yang bersengketa lebih realistis melihat problema PDI yang sudah benar-benar darurat.
Selamat jalan Pak A.P.
Kami mencintaimu.

Tuesday, April 4, 2017

Sembilan Wali di Masa Kini, Resensi buku Seno Gumira Ajidarma, Sembilan Wali & Siti Jenar

https://duniasukab.com/katalog/non-fiksi/sembilan-wali-dan-siti-jenar/

Sembilan Wali di Masa Kini

Seno Gumira Ajidarma, Sembilan Wali & Siti Jenar, Jakarta: PT Intisari Mediatama, 2007. ix + 208 halaman.

Ziarah ke makam para wali atau tokoh keramat menjadi ritual agama yang penting bagi sebagian kaum Muslim di Indonesia. Penulis buku ini menggambarkan, “Sepanjang hari sepanjang musim sepanjang tahun, suatu ziarah terus menerus berlangsung selama 24 jam, membuat tanah Jawa jika dipandang dari satelit memperlihatkan prosesi tanpa henti dari ujung barat ke ujung timur dan kembali lagi. Para peziarah ini, bahkan ada yang berjalan kaki dari Jawa Barat ke Jawa Timur, dan nantinya akan kembali berjalan kali lagi.”

Di kompleks pemakaman para wali itu senantiasa tersedia buku-buku riwayat sang wali, yang dijual bersama kembang, minyak wangi, menyan, tasbih, dan kitab doa Majmu Syarif. Namun buku riwayat sang wali itu isinya adalah khayal campur mitos belaka, wajahnya tak sedap dipandang, tata letaknya amburadul, dan pencetakannya menyedihkan.

Dengan hadirnya buku ini, para penggemar peziarah boleh tersenyum lebar. Kini tersedia buku tentang kehidupan para wali yang informatif, dengan isi yang jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenaran –atau kebingungan– historisnya, memiliki tata letak yang sedap dipandang, dan dihiasi 137 foto yang menawan. Yang tak kalah penting, penulisnya adalah Seno Gumira Ajidarma, seorang penulis mumpuni yang ditimbuni penghargaan di bidang sastra, yang kemudian mencapai tingkat pendidikan tertinggi di dunia akademis: doktor.

Namun Seno menyatakan buku ini bukan kajian ilmiah, melainkan himpunan seri “artikel ringan” dari majalah Intisari. Berdasarkan pengalamannya ketika menyusun buku ini, Seno sampai pada kesimpulan bahwa bukan keberadaan historis para wali yang penting, melainkan keberadaan eksistensialnya. Karena itu tulisan dalam buku ini bersifat historik (historic), yakni mencari makna dari penafsiran subjektif yang berlangsung di sini dan sekarang dari suatu peristiwa sejarah; bukan melulu historis (historical), yakni usaha mencapai pengetahuan objektif pada masa lalu (hlm. viii). 

Tentu saja ini pilihan yang tepat, lantaran kebenaran historis –misalnya saja nama tulen seluruh wali– tidak dapat dipastikan. Bagi mereka yang menekuni ilmu sejarah, kesimpangsiuran historis ini bukan barang baru, tetapi di mata orang awam, kesimpangsiuran itu bisa jadi mengejutkan.

Mengingat riwayat historis para wali itu membuat pening kepala, Seno senantiasa menyuguhkan beberapa versi historis tentang mereka, sejauh penelusuran data yang ia dapatkan. 

Seno juga menelusuri aneka versi itu. Umpamanya, ia menelusuri empat lokasi yang disebut makam Sunan Bonang, yakni: (1) di belakang Masjid Agung Tuban; (2) di bukit di pantai Utara Jawa, antara Rembang dan Lasem; (3) di Tambak Keramat, Pulau Bawean; (4) di Singkal di Tepi Sungai Brantas, Kediri.

Paduan unsur historis dan historik mengenai para wali tersebut membuat buku ini nyaman dibaca. Secara historis misalnya, terdapat tiga orang yang disebut sebagai Sunan Kudus dan tidak satupun di antara mereka yang bisa dipastikan sebagai Sunan Kudus sejati. Toh secara historik, sampai hari ini kita temukan ciri khas Kota Kudus yakni banyak orang menjual soto kerbau dan sate kerbau. Inilah peninggalan wejangan Sunan Kudus, yang mewanti-wanti nenek moyang warga Kudus agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta. Soalnya, pada zaman itu banyak orang beragama Hindu, yang meyakini bahwa sapi adalah hewan suci. (hlm. 105).

Kiranya inilah buku yang dapat memuaskan dahaga pengetahuan mengenai riwayat para wali dan makamnya. Sedikit catatan yang dapat diberikan adalah, pertama, unsur historik yang dianggap begitu penting oleh penulis buku ini, ternyata mendapat porsi lebih kecil ketimbang unsur historisnya. Ada baiknya buku ini memasukkan penjelasan dari Jamhari mengenai arti penting ziarah –sebagai unsur historik– bagi kaum muslim. (Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah”, Studia Islamika, 8: 87-128, 2001).

Kedua, buku ini memperlakukan sumber sejarah tanpa mempertimbangkan otoritas penulisnya. Karya maha pakar sejarawan seperti de Graf dan Pigeaud, diperlakukan sejajar dengan dengan karya spekulatif Sumanto Al Qurtuby.

Ketiga, ada sumber yang dikutip dalam buku, tapi tidak tercantum dalam bibliografi, yakni Umar Hasyim, Sunan Muria, antara Fakta dan Legenda, 1993 (hlm 163).

Toh sebagai sumbangan pengetahuan dan bahan perbincangan yang saling mencerdaskan, demikian harapan Seno atas karyanya ini, tentu saja buku ini berhasil melampauinya.***

(Edi Sudarjat)





Monday, March 14, 2016

TENTARA INDIA INGGRIS MEMIHAK DAN MENYEBERANG KE RI


TENTARA INDIA INGGRIS MEMIHAK DAN MENYEBERANG KE RI 

Di antara tentara Inggris yang bertugas ke Indonesia, terdapat Brigade India ke-36. Mereka adalah orang India dari Rawalpindi (kemudian wilayah ini menjadi bagian negara Pakistan) yang berperang untuk Kerajaan Inggris. Rawalpindi diduduki Inggris sejak tahun 1849 dan Inggris membangun wilayah ini sebagai markas tentara mereka. Orang India dapat bergabung sebagai anggota pasukan Inggris. Kepala Staf Brigade India yang ditempatkan di Bogor ialah Mayor Sjahwar Khan. 

Tentara India, lebih-lebih yang beragama Islam, terus-terang menunjukkan simpatinya terhadap bangsa Indonesia. Dengan terang-terangan mereka memperlihatkan kebenciannya kepada Belanda. Soalnya, orang India yang tinggal di Afrika Selatan, bertahun-tahun lamanya dihina dan ditindas oleh orang-orang putih keturunan Belanda di sana. 

Pasukan-pasukan India seringkali mengarahkan tembakan ke atas, tidak mau menembak pejuang RI. Tak jarang mereka memberikan senjata-senjata, sekalipun sedikit jumlahnya. Sebagian dari mereka ada yang melarikan diri dari kesatuannya, untuk bergabung dengan pejuang kita. Penyebrangan mereka diketahui ke pihak RI umumnya direstui komandannya, kendati tidak terang-terangan. Beberapa yang “hijrah” itu ada yang bergabung dengan Batalyon O Tirtayasa Siliwangi, seperti Miahan Khan dan Abdul Ghofur. 

Panglima Siliwangi A.H. Nasution menyaksikan langsung pemihakan tentara India tersebut. Ia menuturkan, pada Oktober 1945, ia melihat satu kelompok pasukan kita bersenjata beberapa pucuk bedil menghadang konvoi Inggris yang dikawal prajurit-prajurit India. Mereka membangun rintangan dan menembaki musuh. Lantaran mereka belum terlatih bertempur, tanpa diketahui, posisi mereka telah dikepung pasukan India.

Namun, perwira India itu tidak menembak, malah berpidato pendek, seperti kultum (kuliah tujuh menit di pengajian) dan membubarkan anak-anak muda kita. Si perwira itu berpesan agar jangan melawan prajurit-prajurit India, karena mereka bersimpati kepada Republik. Tak lupa pula perwira itu menganjurkan supaya anak-anak berlatih dahulu sebelum bertempur sungguh-sungguh. 

Seorang tentara India Muslim bahkan pernah berpidato di depan corong radio Bogor: 
“Saya sudah 5 tahun masuk tentara Inggris. Inggris berkata, bahwa kita harus berperang membasmi fasis Italia, Jerman, dan Jepang, tetapi terbukti kita disuruh membunuh saudaraku-saudaraku sendiri bangsa Indonesia yang beragama Islam. 

Kalau bangsa Indonesia kita bunuh, matinya syahid, tetapi kamu hai saudara-saudaraku prajurit India yang kucintai, kalau kamu mati, apakah arti matimu itu? 

Saya sekarang sudah di tengah-tengah bangsa Indonesia yang baik budi. Saudara-saudaraku, tinggalkanlah tangsi dan bergabunglah dengan saudara-saudaramu bangsa Indonesia. Kamu akan diterima dengan baik, diberi pakaian, makanan dipelihara dengan sebaik-baiknya, sebelum kamu dapat jalan pulang ke India”.
*** 
Sumber: A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid II, hlm. 31 dan 322; Edi Sudarjat, Bogor Masa Revolusi (1945-1950), Sholeh Iskandar & Batalyon O, Tirtayasa, Siliwangi.

Monday, March 7, 2016

Jenderal Urip inspeksi "pagar bambu"



Letjen Oerip SOEmohardjo:
Memeriksa “Pagar Bambu”

Pada awal April 1946, Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara (MBT) Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo menginspeksi batalyon-batalyon pasukan TRI yang hanya bersenjata bambu runcing di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, didampingi Panglima Divisi III Priangan Kolonel Abdul Haris Nasution.
Ketika Jenderal Oerip menginspeksi pasukan, maka pasukan itu meneriakkan, “hormat senjata” secara militer dengan bambu runcing. Jenderal Oerip adalah tentara profesional Hindia Belanda berpangkat Mayor dan merupakan salah seorang Indo

nesia yang paling tinggi pangkatnya dalam KNIL. Ia tahu benar bahwa pasukan bermodal bambu runcing akan menjadi mangsa senjata api musuh yang modern dan lengkap, tetapi ia mengagumi semangat juang pasukannya. Ia menyambut “hormat senjata” itu dengan khidmat, lalu bergurau sambil berbisik kepada Nasution, “Nas, kamu suruh saya memeriksa pagar bambu.”

Sumber:
A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 1, hlm. 217.
Edi Sudarjat, BOGOR MASA REVOLUSI 1945-1950, Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi (Jakarta, Komunitas Bambu, 2015), hlm, 19.


Saturday, November 21, 2015

Republika, Resensi Bogor Masa Revolusi (1945-1950), Sholeh Iskandar dan Batalyon O, Siliwangi



Rubrik        :   Resensi Buku
Data buku   :   Edi Sudarjat, Bogor Masa Revolusi 1945-1950, Sholeh Iskandar dan Batalyon O Siliwangi, Depok: Komunitas Bambu, 2015. (xxiv + 182 hlm; 14 x 21 cm)
Judul          :   Bogor Masa Revolusi (1945-1950): Buku Sejarah yang Menggugah dan Menyenangkan


Tidak banyak buku sejarah seperti ini: penting, menarik, menyenangkan, sekaligus ilmiah.  Penting karena buku ini mengisahkan perjuangan rakyat Bogor di masa revolusi (1945-1950): sebuah topik langka. Sejauh ini hanya ada dua buku dengan topik sejenis, tetapi tidak disajikan untuk umum, melainkan untuk memenuhi keperluan dinas pemerintahan di Kabupaten Bogor.

Menarik karena dihiasi foto-foto langka yang ekslusif dan menampilkan cukup banyak riwayat tokoh lokal di Bogor. Selama ini para tokoh itu hanya diketahui masyarakat sebagai nama jalan, seperti Jl. KH Sholeh Iskandar, Jl. KH Abdullah bin Nuh, Jl. Kapten H Dasuki Bakri, dan Jl. H. Ace Tabrani.

Khusus KH Sholeh Iskandar, sesungguhnya ia bukan tokoh lokal, melainkan nasional, dengan pencapaian internasional. Tak heran bila sejak tahun 1995 ia diusulkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sebagai pahlawan nasional, bersama M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, KH Noer Alie dan Kasman Singodimedjo. Gelar pahlawan nasional itu telah dianugerahkan pemerintah kepada KH Noer Alie pada 2006, M. Natsir pada 2008, dan Sjafruddin Prawiranegara pada 2011. KH Sholeh Iskandar dan Kasman Singodimedjo belum memperoleh anugerah tersebut, kendati bagi umat Islam, keduanya sejak lama dipandang sebagai pahlawan.

Lebih jauh, buku ini disebut menyenangkan, karena disajikan dengan bahasa yang enak dibaca—tidak bikin kepala kita puyeng—dan menampilkan sisipan kisah-kisah yang manusiawi dalam perjuangan. Misalnya: 
(1) sejumlah tentara India-Inggris Muslim yang bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI); 
(2) Mayor A.E. Kawilarang yang naik pangkat hanya dalam waktu 10 menit. Belakangan tahun kemudian Kawilarang menjadi pendiri pasukan elite Indonesia yang kini dinamai Kopassus, dan; 
(3) komentar dari Komandan Markas Besar Tentara Letjen. Urip Sumoharjo ketika menginspeksi satu batalyon pasukan di Sumedang yang semuanya hanya bersenjatakan bambu runcing; sehingga ia berbisik kepada Panglima Divisi Siliwangi A.H. Nasution, “Nas..., kamu suruh saya memeriksa pagar bambu?”   

Di samping itu, kadar ilmiah buku ini tampak dari ketaatan penulisnya mematuhi metode penulisan sejarah, seraya menampilkan arsip-arsip dari Indonesia dan Belanda yang tidak mudah diperoleh. 
*  *  *
Wajarlah bila acungan jempol terhadap penulis dan buku ini datang dari sejarawan muda JJ Rijal.  Melalui facebook-nya, Rijal menulis, “[Edi Sudarjat] senior saya yang dulu mahasiswa sejarah di FSUI (kini FIB UI) dan terutama cemerlang dalam sejarah pergerakan nasional sampai revolusi Indonesia. Ia senior dari kelompok Islam yang kalau menulis mengingatkan saya pada almarhum Deliar Noer. Sangat berwibawa karena kekuatan analisis dan datanya, tetapi menarik juga karena Kang Edi, begitu saya memanggilnya, memiliki gaya narasi sastera.

Bukan saja berkisah, tetapi juga menunjukkan ekspresi total untuk memasuki dan memahami alam pikiran zaman bersiap serta perasaan tokoh-tokohnya yang elit maupun alit, sebut saja kisah laskar rakyat. Seperti biasa kekuatannya dalam data pustaka dan arsip diperkaya oleh wawancara yang luas yang menjadi basis sebuah sejarah lisan sebagai sumber yang memungkinkan suara dan kisah yang tidak tercatat bahkan dihapuskan, dapat tampil kembali.

Alhasil buku ini bukan saja sapuan-sapuan besar, tetapi juga petit histoire atau sejarah kecil berkelindan bersuara, bercerita sejarah. Apalagi dilengkapinya pula dengan sejumlah foto-foto dari arsip koran, majalah sezaman, dan teristimewa foto koleksi pribadi orang-orang yang terlibat revolusi Bogor itu. Sungguh buku kecil yang menggugah dan menggembirakan...”
* * *
Buku ini terdiri dari dua bab, pertama, Sekilas tentang Berdirinya TNI & Batalyon O Tirtayasa Siliwangi, dan; kedua, Perjuangan Rakyat Bogor di Masa Revolusi.

Bab pertama mengantarkan pembaca di zaman sekarang memahami zaman revolusi, berikut dinamika yang terjadi waktu itu. Dengan demikian, pembaca akan memahami bahwa perjuangan di masa itu dilakukan oleh segenap rakyat, termasuk para pejuang perempuan, bukan melulu oleh tentara dan elit politik.

Bab kedua memaparkan perjalanan revolusi di Bogor, berikut puluhan pimpinan pejuang yang terlibat di dalamnya. Tidak banyak yang tahu bahwa pernah terjadi kudeta di Bogor yang dilancarkan oleh Ki Nariya, namun tidak berlangsung lama karena berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan TNI dan laskar.

Akhirnya, sekilas paparan tentang isi buku ini semoga dapat menggugah Anda untuk menelusuri baris demi baris fakta sejarah, berikut foto-fotonya yang memikat yang dituangkan dalam buku tersebut.***